2

534 74 15
                                    

Sudah menjadi kebiasaan lama. Setiap kali hatinya merasakan sedih, kecewa, ataupun marah Xiaojun akan melampiaskannya pada gitar lalu mengubah kesakitannya menjadi alunan nada.

Bermula saat ia mengalami kehilangan pertama kali, caranya mengekpresikan sesuatu turut berubah. Saat dirasa dunianya tak lagi sama, ia kian memilih untuk bungkam dan belajar mengubur semua rasanya sendirian. Menurutnya, tak semua orang dapat di percaya untuk menanggung beban bersama.

Tak terkecuali tentang Lucas. Meskipun Lucas itu kakaknya yang jelas pula berusia lebih tua darinya, tak dapat di pungkiri jika ia sering di buat cemas pada keadaan kakaknya yang lumayan mengkhawatirkan.

Bukan tanpa sebab Xiaojun berpendapat demikian, yang jadi titik fokusnya disini bukanlah soal keadaan materi, ataupun kesuksesan karir.

Xiaojun cukup perasaan untuk bersikap peka kalau nyatanya Lucas tidaklah sebahagia yang terlihat di permukaan. Memang kesuksesannya begitu gemilang, hingga sanggup menyaingi eksistensi sang ayah.

Tapi sesungguhnya, hidup pria itu terlihat hampa dan seperti tak terarah. Nyaris hilang arah tujuannya.

"Petikan gitar yang buruk. Ku sarankan kau berhenti memainkannya sebelum semua senarnya ikut rusak."

Menghentikan petikannya Xiaojun lantas bicara, "Ku pikir kau tidak mendengarnya."

Terdengar suara tawa dari sampingnya, "Bahkan beruang yang sedang hibernasi pun, akan terbangun jika mendengar permainanmu."

"Kau berlebihan, Yangyang."

Yangyang tersenyum senang saat melihat Xiaojun menaruh gitarnya. "Hei, aku hanya bercanda. Seburuk-buruknya petikan gitarmu alunan melodi buatanmu tetap enak di dengar. Tak usah berhenti, lanjutkan saja."

Yangyang mengibaskan tangan, sejurus kemudian ia di buat heran saat melihat Xiaojun yang tak kunjung menyentuh lagi gitarnya. "Xiaojun, kau baik-baik saja kan? Tidak biasanya kau jadi perasa seperti ini."

Yangyang mengutarakan keheranannya. Di hadapannya, Xiaojun tetap bungkam. Dari ekspresinya dapat Yangyang baca ada sirat—ketidakinginan bercerita—yang sukses membuat Yangyang mengerang frustasi.

"Kalau kau begini terus, ku pastikan semua masalahmu tidak akan pernah menemukan jalan keluar."

"Ini bukan masalahku."

Yangyang menyaut dengan tak sabar. "Lalu masalah siapa?"

"Lucas..."

"Lucas... Lucas, siapa?"

"Kakakku."

Ketimbang merasa terkejut dengan fakta bahwa ternyata teman yang ia kira anak tunggal ini memiliki seorang kakak, ia lebih mendahulukan rasa penasarannya,

"Kenapa memangnya dengan kakakmu?"

Yangyang hanya bisa menanyakan itu. Terlalu lancang rasanya jika ia menanyai terlalu banyak hal sekaligus.

Untuk sepersekian detik, Yangyang melihat keraguan di mata Xiaojun. Meski begitu, Yangyang tetap menunggu dengan sabar.

"Janji, kau tidak akan menertawakanku?"

Pertanyaan konyol macam apa itu?

Yangyang bertanya pada diri sendiri, saat pertanyaan kekanakan meluncur dari mulut Xiaojun. Ia bukan anak kecil lagi, yang harus berjanji di atas jari kelingking yang saling bertaut, saat hendak menceritakan sesuatu.

"Sepertinya aku tidak memiliki alasan untuk menertawakan masalah orang lain, terlebih teman sendiri. Cepat ceritakan."

"Kakakku patah hati. Kekasihnya berselingkuh, lalu kakakku memutuskan hubungannya."

Meskipun mulai terlihat jelas, tapi Yangyang belum berani berkomentar ia tahu cerita Xiaojun belum selesai.

"Aku menawarkan untuk mencarikan pengganti, tapi ia menolak. Ia bilang bisa mencarinya sendiri jika ia ingin, tapi aku tahu itu hanya bualan semata," Xiaojun menghela nafas panjang. Kelelahan jelas terlihat di wajah tampannya dan Yangyang menyayangkan itu.

"Ia mengalihkan perhatian dengan bilang kalau ia ingin fokus pada pekerjaan, tapi matanya tidak mengatakan hal serupa. Dia jelas lelah, dan nampak tak hidup. Kebahagiaan yang ia rangkai selama ini, tak pernah sampai ke hatinya."

Mendengar penuturan terjujur dari Xiaojun, alih-alih merasa prihatin Yangyang justru merasa lucu. Ia ingin menertawakan sifat naif Xiaojun. Terang-terangan merasa khawatir pada Lucas padahal dirinya pun tak kalah menyedihkan. Hidup dalam keterpurukan akan rasa bersalah, bukankah itu sama saja?

"Lalu bagaimana keadaan kakakmu sekarang?"

Xiaojun menatap mata Yangyang sebentar sebelum kembali menurunkan pandangan. "Terlihat dingin dan kaku di permukaan. Seolah baik tapi nyatanya tidak."

Percis sepertimu...

Yangyang berteriak gemas dalam hati, "Apa dia menolak makan?"

Xiaojun menggeleng pelan, "Setidaknya tadi dia sempat memakan bubur buatanku..."

"Maaf," Yangyang mengerutkan dahi ada hal dalam ucapan Xiaojun yang membuatnya tak senang.

"Maksudku bubur buatanmu." Xiaojun memperbaiki perkataannya, dan berhasil mengundang anggukan puas dari Yangyang.

"Kalau begitu kondisinya tidak seberapa buruk. Itu masih wajar setidaknya dia tidak menunjukkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Tak usah khawatir, dia akan pulih seiring waktu berjalan."

"Kau yakin?"

Mengangguk, "Tentu. Itu siklus yang wajar. Cukup biarkan kakakmu sendiri agar ia bisa tenang. Kau hanya perlu mengawasi, itupun tidak berlebih dan terang-terangan. Dia sudah dewasa, sekiranya ia akan sanggup menemukan jalan keluar untuk masalahnya sendiri. Sebagai adiknya, kau cukup berdoa dan memberikan dukungan penuh."

"Kau paham?" Yangyang melanjutkan.

"Bagaimana kau bisa seyakin itu? Sedang aku merasa pesimis."

Tersenyum, Yangyang kemudian mendekat. Duduk di hadapan Xiaojun, lalu menangkup wajahnya dengan kedua tangan.

Hangat Xiaojun rasakan saat kedua telapak tangan itu menyentuh kulitnya, nyaman dirasa sebelum berganti menjadi geli akibat sentuhan ringan jemari yang menyusuri wajahnya.

Yangyang mengamati wajah Xiaojun lekat. Sembari jemarinya terus menyusuri tanpa henti.

"Penuturanmu barusan yang membuatku yakin kalau kakakmu tidak selemah yang kau pikirkan. Dia hanya belum menemukan titik kebahagiaannya, tidak sepertimu yang bahkan masih sering ragu pada diri sendiri. Tidakkah kau merasa kalau kau perlu bercermin? Aku bahkan berani bertaruh, dalam waktu dekat kakakmu akan segera menunjukkan taringnya. Lihat saja, sepertinya dia termasuk jenis orang yang berani mengambil resiko demi kepuasannya."

Dengan itu Xiaojun berpikir untuk pertama kali, "Separah itukah aku?"

Dan anggukan mantap dari Yangyang, seolah memperburuk segalanya.




















Vote & comment kuy ❤😌☕

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang