84

129 28 33
                                    

Tubuh pegal yang berbuah kegugupan. Bukan kebahagiaan seperti yang ada dalam kisah filosofi. Sekarang Kun menyesali keputusannya untuk tidur. Jika pada akhirnya, punggungnya akan sesakit ditancapi duri-duri tajam, lalu dipatahkan menjadi dua.

Berlebihan tapi memang begitulah kenyataannya. Belum lagi, ia harus menahan diri untuk tidak meringis atau mengeluh. Ekspresi wajah menunjukkan senyum terbaik.

Terpaksa melakukannya selama ritual makan tadi. Pengorbanan terbaik demi si calon ayah mertua. Kesan pertama menentukan jalan lanjutan. Kun bertekad kuat, tak mau dianggap cengeng, sebab ada nama besar Eliezer yang menaunginya.

Tak tahu malu. Jika ia mengecewakan ekspetasi Steven Dominic yang telah memberinya penyambutan baik. Senyum teduh dan pelukan hangat yang tak pernah ia khayalkan datang dengan cuma-cuma.

Rangkulan dan sapaan khas seorang ayah, tanpa ragu menariknya ke dalam kehangatan sebuah keluarga. Sempat membuatnya heran dan kebingungan. Karena menurut kabar yang dibawakan angin selama ini, sosok Steven Dominic bukanlah tipikal manusia yang akan memberimu senyuman hangat berselimut kelembutan hati di pertemuan perdana.

Tapi kali ini semua itu terbantahkan, dengan catatan kecil; keterkejutan luar biasa dari kedua putera kandungnya yakni Lucas dan Xiaojun yang tak bagus untuk dideskripsikan.

Seakan jarak tak lagi jadi masalah. Pun seolah mereka sudah lama saling mengenal dan seakan restu telah dikantongi sejak jauh hari. Kun tak mendapati kendala serius menghadapi Steven pertama kali.

Padahal seingat Kun ia tak melakukan apapun. Hanya senyuman penuh rasa hormat biasa, dengan kegugupan yang disembunyikan rapat-rapat dalam dada. Tapi tatapan Steven saat membukakan pintu untuknya tadi terlampau dipenuhi sejuta makna akan sebuah rahasia hati terbesar.

"Kun, tolong ambilkan strawberry di keranjang."

Panggilan bernada permintaan menyadarkan lamunan. Dengan sigap Kun mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk menemukan si keranjang strawberry yang dimaksud.

Omong-omong mereka sedang berada di dapur. Dengan tujuan utama membuat panekuk es krim, dengan irisan strawberry sebagai pelengkap.

Ini bukanlah strategi mencari muka, Kun hanya membantu tepat ketika sang calon ayah mertua hendak melangkah ke dapur. Mengabulkan permintaan tak tahu diri dari kedua anaknya yang masih belum kenyang dan malah asik meributkan football di televisi.

Oke. Kun masih kebingungan dengan segala peruntungan tak disangka ini. Akan keramahtamahan Steven Dominic. Hal yang mendasari semua kehangatan ini, itulah yang Kun pertanyakan.

Jika semua ini disebabkan oleh nama besar Eliezer, ia sungguh kecewa tanpa ampun. Bukan itu yang ia harapkan. Kun ingin dilihat sebagai dirinya sendiri. Bukan diperlakukan manis karena nama baik keluarga.

Menyerahkan keranjang strawberry dalam diam, Kun berdiri canggung di samping Steven yang mulai mencuci si buah merah tanpa niatan untuk membuka mulut—takut salah berbicara.

Tapi Steven juga menyadari kegugupan dan keheranan dari sang calon menantu. Dalam hati ia tersenyum. Merasa lucu sekaligus gemas pada tingkahnya. Bukan tanpa alasan ia dibuat jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat Kun. Senyuman dan lesung pipi itu, sangat tak asing dalam memorinya yang tersimpan apik bagai arsip hati.

Senyuman dan tatapan itu mengingatkannya pada seseorang yang mengisi seluruh relung hatinya. Itu adalah masa lalu, masa di mana ia masih jadi Steven muda yang baru diserang panah cinta.

Tak ada yang tahu, bahwa kini kenangan itu akan muncul dalam diri calon menantunya. Seolah Tuhan sengaja mengingatkannya, agar tak melulu keras menyikapi kehidupan. Agar ia sadar, bahwa ia masih bisa menikmati semua itu walau dalam insan yang berbeda. Mungkin Tuhan tak tega membiarkannya menua dalam duka kehilangan cinta sebelum sempat memiliki.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang