Kelabu menyelimuti langit ketika Kun menatap pagi.
Tak mengherankan, karena musim penghujan sudah memasuki waktunya.
Suasana mendung seakan memberi kesan kehampaan yang menyeramkan. Kun sempat bergidik saat angin dingin yang biasanya memberi kesan kesejukan menyentuh kulitnya.
Cuaca sedang tak bagus. Ia merapatkan kembali jendela, yang biasanya ia biarkan terbuka. Lalu kembali pada ruangan dimana Sicheng tengah berada.
Pria itu tengah duduk sendirian, dibalik sebuah piano yang terletak di ruang keluarga.
Alunan You are the reason memenuhi seluruh ruang pendengarannya. Seolah permainan itu sengaja di tujukan untuknya.
Mendengarnya, membuat Kun kembali teringat pada pertengkaran mereka kemarin malam. Saat dirinya ingin melepaskan cinta Sicheng untuk kesekian kalinya karena keraguan yang kembali menyiksa.
Walau tak berlangsung lama, bayang-bayang pertengkarannya masih membekas kuat dalam benak.
Berkali pria itu menggenggam tangannya demi meyakinkan kalau cinta yang ia miliki telah habis dan tak tersisa sedikitpun untuk orang lain selain dirinya.
Terkadang, ia mengutuk dirinya yang begitu bodoh untuk tetap meragu pada cinta sekuat itu.
Karena tanpa pembuktian nyata pun, sesungguhnya Kun tetap percaya.
Tapi hati tetaplah hati, yang terkadang senang meragu dan bimbang.
"Sudah yakin padaku?"
Alunan pianonya terhenti, satu tekanan nada menggema memekakkan telinga. Kun menghampiri, berdiam di sisi tanpa kata terucap. Dalam hati tengah meresapi kebimbangan tak kunjung reda.
"Aku masih ragu, waktu terus berjalan. Dan Taeyong tetap pada tujuannya. Apa kau tidak merasa waktu kian mencekik?"
Itu jujur. Dari dasar lubuk hatinya. Tentang kegelisahannya menyaksikan jarum pasir kehidupan yang terus mengikis harapan.
"Sekeras apapun kita bertahan. Kita tetap akan berakhir."
Lagi. Kun mengingatkannya lagi pada kepahitan. Padahal kemarin adalah hari manis, dimana dalam sekejap ia sempat lupa pada kenyataan yang selalu lebih kejam bagai siksaan.
Kemarin tinggal kemarin. Kini telah berganti hari, meninggalkan kenangan. Kemarin masih di rasanya aroma manis romansa berbumbu cinta.
Mereka sempat tertawa, bahkan saling mencumbu, tapi kini hanya karena satu kabar, atmosfer di sekelilingnya mendadak berubah.
"Memangnya apa yang perlu kau khawatirkan dari kabar itu? Jaemin hanya bilang kalau Taeyong sedang dalam perjalanan pulang, bukankah seharusnya itu tidak mempengaruhi kita?"
Sicheng tak mau menatap. Terlalu enggan jika kata menyerah yang kembali ia dapatkan.
"Apa sekali saja kau tidak bisa memikirkan kekhawatiranku? Apa pernah kau berpikir satu kemungkinan buruk, dimana Taeyong membawa pulang adiknya. Penggantiku..."
Sicheng tahu air mata itu akan kembali turun. Sesungguhnya ia tak rela, tapi kekerasan hatinya mengalahkan segala. Sicheng hanya ingin Kun bertahan. Itu saja.
"Aku begini karena memikirkanmu. Kalau kau ingin aku melakukan sesuatu katakan saja. Asal jangan memintaku untuk meninggalkanmu."
Satu penegasan akhir, yang di harapkan bisa membuat dia mengerti. Bahwa dirinya pun tengah tersiksa dengan luka yang sama.
"Kalaupun kau bersikeras, aku yang tetap akan meninggalkanmu cepat atau lambat. Taeyong takkan membiarkanku menghalau impiannya."
Kun hampir menyerah. Sekeras apapun ia mencinta, hatinya terlanjur lelah tertimpa cobaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUCK AND WIN [✓]
FanfictionDamai dan indahnya kehidupan Kun tiba-tiba hancur, karena sang kakak yakni Taeyong yang bersikeras mengungkapkan kebenaran bahwa Kun bukanlah anak kandung keluarga Eliezer. Seolah singgasananya direnggut paksa Kun nyaris tak bisa bertahan melawan ke...