37

254 39 45
                                    

Sampai bulan telah berada di peraduan. Sicheng masih berdiam diri berselimut kehancuran mendalam.

Apa yang menjadi mimpi buruknya kini telah jadi kenyataan.

Sebuah cincin yang di harapkan tetap bersedia di kenakan oleh cintanya, justru malah di kembalikan padanya.

Cincin dalam genggamannya, rasa dinginnya seolah tengah menertawakan.

Sicheng beserta cerita patah hatinya. Di bawah sinar purnama, ia merana sendirian.

                            ***

Tetesan air yang berjatuhan dari tubuhnya membasahi lantai. Sicheng tengah berdiri, menatap cermin yang memantulkan bayangan tubuh separuh telanjangnya.

Tengah menelusuri sebelah pipinya, yang kini terasa lebih baik karena bantuan kesejukan air hasil mandinya barusan.

Bekas tamparan ayahnya masih terasa jelas. Begitu perih dan panas, berdenyut nyeri acap kali Sicheng menggerakkan wajahnya walau hanya untuk membuka mulut.

Ini hanyalah di sebabkan lantaran dirinya menolak untuk melanjutkan perjodohan itu dengan Ten. Alasannya sepele, ia sudah terlanjur cinta dengan Kun. Dan hatinya tak mau di goyahkan lagi.

Jelaslah membuat sang ayah murka. Lantaran malu yang akan di tanggung kelak, belum lagi amukan keluarga Eliezer dengan Taeyong sebagai dalangnya.

Ayahnya tetap bersikeras. Berpegang teguh pada dalih, bahwa seorang pria harus menepati janjinya. Dan itu terkhususkan untuk Sicheng juga.

Persetan dengan cintanya pada Kun. Ayahnya tidak mau mendengar apapun ratapan Sicheng. Ia hanya ingin putera semata wayangnya menikah dengan si bungsu Eliezer. Sesuai dengan garis perjodohan yang sudah ada.

Masalah cinta. Menurutnya, itu bisa datang belakangan waktu.

Dan Sicheng hanya mendengus geli mendengarnya.

                           ***

Sepasang cincin itu. Tampak berpendar cantik di bawah cahaya bulan.

Terlepas dari kehancuran hati, juga kesedihan yang sudah ia lampiaskan. Nyatanya, sebuah ambisi tetap tumbuh di dasar egoisnya.

Cintanya belum menggapai puncak penghayatan. Belum sempat pula ia dan Kun menikmati semua indahnya romansa, perpisahan telah lebih dulu menghampiri keduanya.

Ada rasa tak rela. Yang sangat besar hingga membuat hatinya bergejolak penuh kekecewaan.

Bayangan ketidakmungkinan akan Kun yang berhasil ia miliki, berkelebatan dalam benak.

Kenyataannya Sicheng masih berharap dan masih mencinta.

Walaupun hari pernikahan kian mendekat, walaupun Ten sedikitnya telah menunjukkan tatapan jatuh cinta. Semua itu belum terasa belum cukup untuk meleburkan kekerasan hatinya.

Cinta adalah hal baru untuknya.

Dan Kun.

Adalah yang pertama kali mengenalkannya pada cinta, juga yang pertama kali membuatnya jatuh cinta.

Jadi wajar saja, jika ia berkata bahwa Kun telah membawa pergi separuh cinta, dan hatinya.

Sehingga rasanya, sosok seperti Ten bagai tak memiliki tempat juga kesempatan.

Kalaupun nanti mereka bersatu. Sicheng takkan sanggup memberikan seluruh jiwanya pada Ten. Biarlah ia begini. Bersandiwara demi sisa cinta dalam hatinya.

Lagi dan lagi. Ia kembali mengeraskan nafsu.

Biarkan Ten memiliki raganya. Karena cintanya tetap milik Kun seorang.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang