Seminggu telah berlalu.
Dan meskipun awan mendung telah berganti dengan langit biru yang cerah, Sicheng berserta hatinya yang rapuh tetap berada di titik yang sama.
Kesedihan, kemarahan, dan kekecewaannya tak sirna sedikitpun.
Bayang-bayang muram pujaan hatinya yang tengah dicumbui orang lain masih terbingkai apik dalam benaknya.
Seperti setangkai elok bunga mawar yang duri tajamnya menusuk perih ke dalam hatinya.
Sicheng tak bisa memungkiri jika hal itu menjadi faktor utama perusak perasaan dan mood-nya selama ini.
Ancaman jelas dari seorang Lucas Dominic yang turut serta dalam kisah rumit percintaannya, seolah mempersulit keadaan.
Kehadirannya seolah memperjelas betapa rawan posisi dan harapannya kini.
Rentang hati dan asa untuk kembali memiliki Kun kedalam hidup dan pelukannya seakan mulai sirna perlahan-lahan, seperti lentera yang mulai meredup tertelan kegelapan.
Sicheng mengusap wajahnya.
Sudah seminggu lamanya ia melakoni peranan sebagai mayat hidup yang tak makan dan hanya mengisi perutnya dengan berbagai jenis minuman beralkohol saja.
Berbotol-botol wiski, dan bir sudah bosan di minumnya. Dan semua itu di lakukan hanya demi satu tujuan, yakni menghapuskan rasa sakit di hatinya akibat perjuangan cinta untuk Kun.
Apa yang salah, dari keinginannya untuk memperjuangkan Kun lagi?
Mengapa pertunangan sialan itu harus ada, jika ini hanya menjadi penghalang langkanya saja?
Sicheng terlambat.
Ia jauh terlambat untuk menyadari bahwa ternyata konflik silsilah keluarga itu bisa membawa dampak sebesar ini pada kehidupannya.
Tak pernah ia kira, jika pertunangannya pun akan ikut di rubah oleh kegilaan keluarga itu.
Walaupun Sicheng pernah teringat pada sebuah resiko yakni; kehilangan Kun. Ia tidak pernah benar-benar memikirkannya.
Ia pikir ini tidak akan terjadi.
Dan sekarang saat nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang dapat dilakukannya lagi selain terus berjuang dan mengeraskan hati walaupun kemenangan belum tentu akan dipihakkan Tuhan padanya.
Karena jika itu untuk Kun, mati pun Sicheng tak apa.
Tapi mari kembali lagi pada kenyataan, bahwa urusan dunia tidak pernah semudah itu.
Jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi dan setelah semalaman suntuk terjaga, Sicheng baru akan mendapatkan rasa kantuknya tapi suara berdering dari ponsel pintarnya malah menggangunya.
Dengan sekuat tenaga ia berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat bukan main. Tangan lemasnya, berusaha menjangkau nakas untuk meraih ponsel yang berkelap-kelip ganas menyilaukan mata.
Sicheng melihat sisa waktu dari pengatur alarm di ponselnya. Ia hanya punya waktu sekitar tiga jam untuk bersiap-siap dan menghapuskan segala bentuk kekacauan dari wajahnya sebelum memenuhi perintah ayahnya--menepati pertemuan bersama klien yang telah ia janjikan entah dari kapan--dan saat matanya menangkap nama Jaemin, ia hampir mengumpat kasar.
Ingin rasanya ia mencekik koki berengsek itu. Bukan apa-apa. Hanya saja apa dia tidak tahu bahwa Sicheng telah bersusah payah melawan insomnia mendadaknya, sedang ia hanya punya waktu beberapa menit saja untuk merilekskan tubuhnya.
Bahkan matahari sedang dalam perjalanan menuju puncaknya. Apa si koki itu tidak punya pekerjaan lain untuk dilakukan, dan malah memutuskan untuk menggangu harinya yang berantakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
LUCK AND WIN [✓]
FanfictionDamai dan indahnya kehidupan Kun tiba-tiba hancur, karena sang kakak yakni Taeyong yang bersikeras mengungkapkan kebenaran bahwa Kun bukanlah anak kandung keluarga Eliezer. Seolah singgasananya direnggut paksa Kun nyaris tak bisa bertahan melawan ke...