79

131 26 9
                                    

Waktunya kian sempit.

Batas di antara sisi egois dan beban tanggung jawab, saling beradu menghimpit jiwanya yang lelah menaruh harap.

Pada akhirnya, semuanya berkahir sia-sia.

Cerita akhirnya sudah jelas. Menyesal sekali rasanya ia hidup di dunia, jika hanya berujung menjadi boneka tali perjanjian keluarga. Ia tak diberi kesempatan, ataupun pilihan. Semuanya sudah ditetapkan, seakan ia tak punya hak atas kehidupannya sendiri.

Kiranya, seperti itulah cara pandangnya saat ini. Ia sudah terlanjur hampa dan kehabisan harapan. Gejolak bahagia, seakan jadi kenangan saja.

"Tuan Alexander,"

Suara itu mengaburkan lamunannya. Sejenak terhenti, untuk menghampiri seorang pelayan yang tersenyum sopan padanya.

"Pesanan anda sudah siap, Tuan. Anda bisa menunggu di sebelah sana."

Telapak tangan si pelayan, menunjuk arah di samping Sicheng. Di mana terdapat ruang duduk yang di khususkan bagi pelanggan yang hendak mengambil pesanan.

Tanpa sebait kata, Sicheng langsung berjalan menuju ruangan tersebut dengan langkah lunglai. Samasekali tak terlihat bahwa dirinyalah sang calon mempelai. Ia tampak seperti seorangpun asisten yang mengambilkan cincin milik majikannya. Wajah suram itu, sangat tak cocok dengan aura manis pernikahan.

Sesampainya di sana, cepat Sicheng mengedarkan pandangan. Meneliti setiap sudut ruangan, tujuannya agar ia bisa menemukan sudut yang tepat untuk menyendiri. Teramat enggan rasanya, bila ada orang lain yang menanyakan soal keperluannya. Meskipun jelas, tak akan mungkin ia kemari—bahkan semua orang pun begitu—jika tidak punya urusan dengan rencana pernikahan.

Pernikahan dengan satu pihak yang mencinta sedang yang satunya sibuk mencintai yang lain. Miris.

"Sicheng, kau kah itu?"

Baru sekitar satu detik Sicheng mendudukkan tubuhnya, sebuah panggilan langsung mengusik ketenangannya. Enggan dan hampir kesal. Tapi ia sadar tatakrama, terlebih ia berada di tempat umum yang rawan untuk reputasi dan pencitraan.

"Sicheng?"

Lagi, suara itu memanggil. Sementara Sicheng masih setia menunduk, dalam hati merasa heran sebab seperti pernah mendengar suara ini di suatu tempat.

Dengan alasan itulah ia menaikkan pandangannya. Meskipun, datar adalah kata yang paling pantas mendeskripsikan wajahnya yang segelap awan hitam. Ia tak bisa untuk tidak terkejut, kecuali jika orang yang berdiri dengan senyuman hangat itu tidak pernah menjadi bagian dari kisahnya.

"Ah, benar ternyata," gelagatnya menunjukan sikap ramah dan bersahabat, berlawanan dengannya yang dingin tak tersentuh, "kau sedang mengambil pesanan juga?"

Pertanyaan itu tak langsung berbalas. Ada pembahasan sensitif yang tak sengaja tersentuh, membuatnya bisu untuk berucap.

Dalam beberapa menit hanya kesunyian saja yang berkuasa. Selagi Sicheng berusaha menetralkan gelenyar sesak dalam dada. Raut penuh kesedihan itu, tak juga membuat Hendery mengerti, bahwa telah terjadi sesuatu pada kehidupan pria di depannya.

***

"Kukira, kalian sudah menikah. Padahal, kalian terlihat cocok."

Pernyataan itu, melatarbelakangi segala rasa terkejutnya pada kisah yang baru saja diutarakan. Masih dalam area toko perhiasan. Mereka duduk berhadapan, bersama secangkir macchiato yang mengepulkan uap harum, sembari mendengarkan kabar baru lewat percakapan ringan berbumbu curahan hati.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang