86

124 24 6
                                    

Malam larut menyisakan kedinginan. Nyeri perlahan merambat pada hati yang pupus harapannya. Gelapnya langit malam, seolah mampu menelan segala kerisauan hati. Taeyong masih termenung. Memikirkan segala hal yang telah terjadi.

Ramainya dunia di sekitar, tetap tak mampu mengusik dunia lamunan. Kelam jiwanya kala ia menyadari, betapa jauhnya ia telah melangkah pergi. Hanya karena sebuah cinta yang tak pasti, ia rela mengorbankan diri.

Terbakar sudah segala gejolak asmara dalam dada yang semula menggebu dengan dahsyatnya. Seiring air mata yang kembali membasahi jejaknya, ia tegaskan sudah tak ada lagi alasan baginya untuk mencoba. Semua telah ia lakukan. Kalaupun, ia berusaha lagi, itu pembodohan namanya.

Segala kenangan masam saat ribuan penolakan itu menghujani batinnya, kembali membayangi. Semua memori menyakitkan tentang bagaimana lihainya Yuta meniduri wanita-wanita itu terasa memukul hatinya dengan telak.

Dalam sunyi ia dapati air mata menetes lagi. Seakan kelabu tak pernah lelah, menghantui suramnya kisah cinta. Seakan hatinya pun tak pernah lelah menangisi sang bajingan cinta.

Berpikir ia kemudian, menilai keputusannya sendiri. Dalam mencintai dan menaruh perasaan sepihak yang malah membutakan matanya.

Walaupun aku mengorbankan  segalanya ...

Semuanya tetap tak berguna. Yuta, tetap tak mau melihatku.

Miris kala ia menyadari semua. Betapa bodohnya ia, ketika batin teringat pada apa yang telah ia korbankan. Demi semua kesempurnaan yang disanjung ini. Kendati membahagiakan, kenyataan justru melawannya dengan kepahitan tak berujung.

Cepat saja semua bayang-bayang kebengisannya pada Kun muncul dalam benak. Menghantamnya dengan makian tak bernada, meneriakkan dengan lantang bahwa dirinyalah sang antagonis di sini.

Pelukis luka dan tangisan. Lara merana bagi adik kecilnya yang semula begitu ia sayangi. Penyebab semua kekacauan dan perselisihan. Pemecah di antara keluarga yang semula begitu rukun dan damai.

Selaras dengan itu. Tak tanggung-tanggung kelebat bayangan wajah penuh tangis Ten yang menangisi perbuatan hina Sicheng ikut berhamburan masuk, menusuk hatinya bertubi-tubi.

Dicengkeramnya setir itu dengan kuat. Hati bagai diremas hingga tak berbentuk. Sekejam itukah dirinya selama ini? Hanya karena obsesi yang membutakan, ia bisa melukiskan luka di sana-sini tanpa kesulitan sedikitpun.

Mudah saja membuat semua oranga di sekitarmu kecewa dan sakit. Sebab penyesalan selalu datang belakangan. Dan Taeyong mengalaminya sekarang.

Semua ini karena aku. Karena ambisiku ...

Perih tak lagi dapat dipikul jiwa yang lelah. Ingin rasanya ia memutar waktu, menuju masa di mana ia masih bisa menyadarkan diri bahwa cintanya tak pernah bisa diharapkan.

Sekarang ia mulai memahami, akibat fatal dari ambisi dan obsesi yang tak terkendali. Kebodohannya dalam mengendalikan rasa frustrasi dan kecewa yang merajam.

Segala rancangan kesempurnaan ini, tak merubah apapun. Semua ambisi ini tak menghasilkan apapun, selain kesakitan bagi hati adiknya, luka bagi semua orang di sekelilingnya, juga penyesalan bagi jiwanya sendiri.

Patutkah ia berbangga diri, ketika ia berhasil menyandang gelar sebagai pencipta duka nestapa? Kalaupun ia masih bisa dimaafkan, rasanya bumi tak pantas untuk dipijak orang penuh dosa sepertinya.

Orang-orang yang seharusnya, paling ia sayangi. Kini, justru berubah menjadi korbannya. Mendapati diri, salah dalam melangkah. Kendati, ia meraih cinta justru petaka lah yang menghampirinya.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang