63

180 36 49
                                    

Semuanya baru berjalan di sekitar tiga puluh menit. Tapi kebersamaan tak mengenakkan ini sudah terasa seperti berabad lamanya.

Batinnya bertolak belakang. Menolak kuat untuk berada di sisi seseorang yang sedang tertunduk lesu di sampingnya dengan semburat kabut duka dalam mata.

Tak ia pungkiri jika sikapnya kini sangatlah jauh dari adab tatakrama, pun karena hatinya yang tak bisa diajak berkompromi perihal menasihati keras tabiatnya akan arogansi sikap yang begitu dingin dan menyinggung.

Terlebih itu adalah tunangannya sendiri.

Kecemasan tak bisa bertemu dengan seseorang yang teramat dirindukan, menjadi penyebab utama dari kekesalan hati juga mood buruknya.

Sikap tak suka sangat nampak terlihat. Semuanya terlalu jelas. Bahkan dirinya sendiri pun menyadari--betapa dirinya begitu menyebalkan.

Tapi kembali lagi, ini masih soal perihal hati. Hatinya yang rapuh dan belum rela melepaskan.

Jadi siapa yang mesti disalahkan?

Perlahan mobil menepi. Pada keramaian lalu lintas masih dalam jebakan yang sama yakni lampu merah.

Masih tanpa percakapan. Tempat tujuan mereka sudah terlihat di ujung pandangan. Tak ada yang berani memulai. Semuanya terlalu kaku sedangkan Sicheng sendiri terlalu sibuk menginginkan agar semua ini cepat berakhir.

Sebegitu tak nyamannya ia. Tak menyadari bahwa dirinya pun telah berhasil membuat Ten tak nyaman dengan statusnya sendiri.

Pertunangan macam apakah itu, jika untuk bertegur sapa pun mereka enggan melakukan?

Sicheng mensejajarkan mobilnya kepada arah yang tepat. Tak ingin lagi ia membuang waktu lebih lama. Jika Ten sudah diantarnya dengan selamat maka tugasnya dianggap selesai.

Karena memang harusnya seperti itu bukan?

Tepat pada saat lampu hijau menyala, Sicheng melajukan mobilnya kembali. Sedikit berbelok tajam, menyusul sebuah mobil di arah depan.

Kentara sekali kalau ia sudah tak tahan berlama-lama.

Terlebih ia mengejar waktu tercepatnya.

Akan menyesal rasanya jika hari ini ia kembali gagal menemui Kun.

Sekalipun di pertemuan terakhir mereka, ia harus menelan kekesalan yang disebabkan kelihaian seorang Lucas Dominic.

Kini semua itu tak lagi jadi masalah. Karena rindunya sudah kepalang besar untuk terus digenggam hati.

Ten berdeham pelan saat mobil berhenti melaju. Lima menit lebih cepat dan Ten justru kebingungan harus mengatakan apa pada Sicheng.

Sabuk dilepaskan sendiri, jangankan berinisiatif membukakan pintu mobil untuknya, sekedar mengatakan bahwa mereka sudah sampai pun Sicheng tak mau.

Ia hanya diam. Seperti anak kecil yang sedang merajuk. Ten menatapnya maklum, meskipun di hati ada sedikit sesak menghampiri.

Tak ada hal lebih yang ia lakukan. Kotak berisikan baju pesanannya ia raih dengan kedua tangannya. Bersama ponsel dalam genggaman, ia membuka pintu mobil dan berkata,

"terimakasih tumpangannya."

Singkat padat dan jelas. Ten tak peduli. Ia terlanjur merasa muak dan kesal pada tingkat kekerasan kepala Sicheng yang begitu akut.

Meskipun ia tahu bahwa pertunangan ini sama sekali tak diinginkan oleh pria itu. Tapi hatinya sekarang menuntut sedikit hak.

Sadar bahwa untuk mencintainya Ten yakin Sicheng takkan bisa, apa untuk bersikap lembut pun Sicheng tak mampu?

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang