33

256 44 51
                                    

"Masih marah padaku?"

Sicheng bertanya lirih, dengan hembusan nafasnya pada leher yang menggelitik.

Selalu seperti itu. Pria ini tak pernah berhenti membuai dan melambungkan perasaan Kun hingga ke langit. Di setiap kata dan sentuhan ringan yang di berikan, seolah Sicheng selalu berusaha membuat Kun terpaku dan terlena karena pesonanya.

Seakan tak pernah mengizinkan Kun untuk berpaling dan melupakannya.

Gelengan pelan dari Kun dan itu membuat ujung-ujung rambut Sicheng menusuk leher dan sedikit tengkuknya. "Aku tidak pernah marah padamu ngomong-ngomong."

Melepaskan pelukannya. Sicheng bergeser untuk duduk di sisi Kun, "Aku membuatmu menangis. Kemarin, juga semalam."

Kun meliriknya sebentar, sebelum kembali memfokuskan diri pada Piano di hadapan. "Bukan karenamu, itu karena kita bertengkar."

Sicheng tersenyum. Kun tak melihatnya. "Jangan pernah berkeinginan untuk pergi lagi."

Entah itu pernyataan, atau permohonan. Kun benar-benar tak bisa menarik satu garis pemisah di antaranya. Terasa begitu samar, tapi ia tahu Sicheng sungguh merana karenanya.

Dan Kun. Adalah penyebab kemeranaan itu.

"Aku..."

"Taeyong sudah kembali."

Belum sempat Kun mengungkapkan penyesalannya, sebuah kata yang terlontar dari arah di belakangnya tak lebih terdengar bagai petir yang menyambar.

Jaemin berdiri kaku. Raut wajahnya sulit di terka. Nyaris seperti samudera yang begitu dalam untuk di selami.

Baru saja Kun seperti mendengar kalau hukuman mati akan segera di terimanya, dan sang algojo baru saja tiba.

Waktu terus mengikis. Ia melirik Sicheng yang menatapnya dengan tatapan penuh luka. Ada bayangan dirinya dalam mata itu. Kun tahu Sicheng akan segera terenggut.

Berusaha menyembunyikan nada bicaranya yang sedikit bergetar. Kun tetap berkata, "Dimana dia sekarang? Biar aku yang menjemputnya,"

Bunuh dirikah ia? Takkan tumbangkah dirinya jika sebuah tombak ia hujamkan pada jantungnya sendiri.

Sebuah genggaman kuat terasa menyengat pada tangannya. Meliriknya. Sicheng sudah siap berdiri dari tempat, "Jangan berlaga kuat. Biar aku yang menyambutnya."

Sicheng bahkan terlalu tahu dan rasa pedih saat melihat mata pujaannya mulai berkabut. Biarkan ia yang menghadapi ini. Ia hanya berjaga-jaga, mencegah sesuatu yang tak di harapkan terlihat oleh Kun.

Meskipun ini memang di khususkan untuknya. Tapi Sicheng tak sampai hati kalau harus membiarkannya menyambut kehancuran sendirian.

Biarkan Sicheng ikut hancur bersamanya.

Seiring dengan langkah pastinya menuju pintu, ia membayangkan pasti ada kejutan yang menunggu di balik kayu itu.

Gagang pintu ia genggam kuat, bersiap memutarnya dan pikirannya kini mulai di penuhi bayang-bayang buruk.

Bunyi hempasan beriring bersama sebuah hembusan angin yang membawa aroma asing. Sebuah aroma yang tidak Sicheng kenali, beraroma segar dan tajam. Khas pesisir.

Pintu terbuka sepenuhnya dan yang ia dapati bukanlah tatapan angkuh Taeyong. Melainkan tatap tak nyaman dari seorang asing yang kini terpaku menatap dirinya.

Inikah orangnya?

"Siapa kau?"

Sicheng seolah membuang seluruh ajaran tatakrama yang di ajarkan keluarganya saat pertanyaan berhias nada sedingin salju itu mengalun dari bibirnya.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang