76

136 33 6
                                    

Berkebalikan dengan yang terjadi di lain tempat. Ten justru terkurung dalam kesedihannya akan cinta tak berbalas.

Keputusan sudah dipastikan salah. Bodoh dalam ambisinya mengejar cinta pertama.

Ditutupnya pintu dengan gerakan teramat lesu. Tubuh seolah tak lagi memiliki kemampuan untuk menapak. Lebih jauh dan lebih lanjut menenggelamkan tubuhnya ke dalam luka hasil rajutannya sendiri.

Tak ada yang mau mendengar, segala curahan hatinya yang pilu. Tentang cinta dan romansanya yang sedingin salju di puncak gunung Himalaya.

Seolah mentari harapan tak pernah mau berpaling menatapnya. Menghangatkan sedikit saja bagian, dari hati prianya yang membeku.

Sialnya cinta di hatinya tak mau mengalah. Begitupun, dengan takdir yang mengikat setiap langkahnya. Seolah ia tak diberi kesempatan untuk melarikan diri. Dari cinta pahitnya seorang Sicheng Alexander.

Membuat Ten merasa; jika terus begini, aku bisa mati sendiri.

***

Dalam alunan waktu. Hari demi hari, telah pergi kebahagiaannya bersama kabut kehilangan. Seolah jiwa dan raga terseok menuju lubang kehampaan. Harapan tak lagi ada. Menguras hati Sicheng lebih kuat untuk menghasilkan lautan darah dari dalam luka.

Kendati ia telah berusaha berlari. Bahkan terus berlari, menghindari segala jerat norma dan ikatan keluarga yang menghantam dinding hatinya tanpa tahu berhenti.

Salah, dirinya tahu. Keliru, pun ia tahu. Keras hati, tak perlu dikatakan lagi.

Ia mengakui semua itu. Sebab, cintanya terlampau hakiki dan abadi.

Sedangkan jarak terjauh sudah ditempuh. Berlari telah ia coba, meskipun nihil kembali jadi jawaban.

Seolah mentari terbenam pun bosan melihat segala jerih payahnya. Sebab yang terasa, hidupnya tak lebih kelam daripada malam gulita.

Ketika ketukan perjanjian mencengkeramnya lagi. Ia meringis ketakutan. Dalam batin yang sarat kasih, nan sedih tersiksa.

Sicheng tak lagi bisa berpikir jernih.

Hidup terasa pucat pasi tanpa warna. Tanpa rasa, dan selera, selaras dengan makanan di piring yang tiba-tiba terasa hambar seperti kisah cintanya.

"Ayah sudah menentukan tanggalnya. Jangan menghindar lagi. Cukup kemarin saja kau mempermalukan keluarga Eliezer dan segera perbaiki hubunganmu dengan Ten. Ayah tidak mau mendengar kabar kau mengatasnamakan perkejaan lagi sebagai tameng pelarian. Jangan pikir karena ayah diam saja, ayah tidak mengamati semuanya. Kau harus sadar tanggungjawabmu, Sicheng."

Dentingan di piringnya seketika terhenti, teramat berat rasanya untuk menelan ketika petuah pahit menyerang telinga.

Tak lebih dari paham dan mengerti, Sicheng tahu apa itu tepat janji. Tapi, ia masih dan belum bisa memetik sedikit saja rasa dari lubuk hatinya untuk sang calon pendamping hidup.

Dingin dan hampa. Dua hal itulah yang sekarang menguasai. Rasanya, ia tak tahu harus pergi membawa hatinya kemana, sedangkan tempat untuk kembali pun ia tak punya.

Ia terjebak dan tersesat. Dalam kerumitan sebuah rasa. Patah hati nyatanya tak nikmat. Tak semudah membalik telapak tangan untuk mendeklarasikan bangkit dan melihat ke arah lain.

Mengatasi batin hancur sedikit lebih sulit daripada mengatasi raga yang terluka. Inginnya, ia mengurung diri lagi. Tapi sadar kalau itu terjadi, ayahnya tak akan memberi toleransi.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang