65

178 33 26
                                    

Dengan berlatarkan pemandangan di kejauhan, Kun memoleskan sedikit pelembab pada wajahnya.

Suasana hati mendadak sendu. Kala teringat, bahwa pemandangan tropis indah nun jauh di sana telah ribuan kali ia nikmati.

Sadar bahwasannya sebentar lagi ia akan segera melepas. Kendati getir menerpa diri. Kun telah sedikit memupuk tegar dalam jiwanya yang tak sekuat baja.

Ada gelenyar takut. Sedih dan merana. Setiap kali lirikan mata menangkap segalanya. Segala memori hidupnya yang tersimpan apik dalam setiap ruang.

Tapi kembali ia enyahkan duka lara itu. Dibulatkan tekadnya untuk menyongsong masa. Hari di mana mimpi tertingginya akan terwujud.

Dalam satu usapan lembut pada pipinya. Tetes air mata itu turut hilang, tenggelam dalam dua buah lesung pipi yang perlahan muncul.

Senyum untuk semangat jiwanya. Kun bercerminkan pada keyakinan. Bahwa ia akan bahagia.

***


"Kun,"

Ada ribuan alasan ketika Kun menyembunyikan air matanya. Saat suara tegas itu menyapa telinga, cepat ia berbalik menumpu senyum pada bekas air mata yang mengering.

Johnny sudah berdiri di sana. Dengan wajah murung nyaris merajuk. Sehelai dasi terlilit kacau pada sebelah tangan yang terlentang seolah sedang meminta pelukan.

Dengan paham Kun bangkit. Tak lagi dipikirkan dukanya yang sering mengganggu, untuk kali ini saja ia ingin terlihat kuat di hadapan sang kakak terbaik.

Sudah cukup.

Bahkan mungkin terlalu banyak.

Duka dan beban yang dibubuhkannya pada pundak kokoh itu.

Sekarang biarkan senyumnya yang mengambil alih.

"Selamat pagi," lembut dan cekatan Kun meraih dasi itu. Seolah ia sudah handal, dengan cepat Kun mulai membuat simpul rapi.

Johnny berdiri gagah nan tegap di hadapannya. Terpejam dalam potongan rambut yang rapi. Harum dan segar, siap untuk menantang hari.

Tampan. Itulah yang ingin Kun ucapkan dari hati.

Selain karena dukungan jarak yang tak wajar, yang dikatakannya memanglah fakta yang mutlak.

"Selamat pagi juga adikku. Maaf mengganggumu, tapi aku sedang tidak dalam mood yang bagus untuk menyelesaikan dasi sialan ini," adunya.

Kun tersenyum hangat. Kepingan memori merajamnya kembali. "Santai saja, ini bukan yang pertama kalinya untukku. Dulu pun kau begini saat ayah menyuruhmu ke kantor pertama kali. Kau ingat?"

Tentu saja. Mungkin Johnny ingin mengatakan itu. Hanya saja ia tak mau merusak suasana hati adiknya di pagi yang cerah ini dengan mengorek kenangan.

Senyum dan wajah manisnya dirasa terlalu indah untuk Johnny nodai dengan kesedihan.

Padahal kenyataannya. Sedari tadi Kun terus menahan duka. Keduanya terjebak dalam kekhawatiran. Sama-sama takut menorehkan mendung di atas awan yang nampak putih di pandang mata.

Keduanya hancur dan lebur dalam duka lara. Mereka hanya berusaha saling menjaga sisa-sisa puing hati mereka yang telah binasa termakan kecewa.

"Apa setelan ku tidak buruk dengan dasi ini?"

Akhirnya, sebagai pilihan terakhir lantaran tak kuasa memikirkan kalimat lain. Johnny melontarkan pertanyaan itu.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang