38

243 39 41
                                    

Cemara di kejauhan tampak bergerak tertiup angin. Mendung mendadak menyelimuti, entah mengejek ataukah turut bersedih melihat kemalangan hidupnya.

Kun berdiri di hadapan kaca yang menjulang, menatap pepohonan di kejauhan. Dengan kehampaan dan kebingungan.

Sejujurnya, ia ingin menghindari membunuh dirinya sendiri dengan menyaksikan pertunangan mantan kekasihnya.

Tapi sepertinya alibi mengajak Regal berkeliling hutan tak bisa lagi ia gunakan. Karena alam tak mendukungnya sedikitpun.

Harusnya ini jadi hari membahagiakan untuk semua penghuni kastil dingin ini. Tapi nyatanya, hanya ia sendiri saja yang berselimut duka.

Sampai keberanian untuk menuruni anak tangga pun rasanya sulit. Bagaikan berjalan di atas belati tajam yang memberikan sensasi luka perih.

Ia tidak takut dengan yang lain. Ia hanya tidak sanggup menatap mata itu lagi. Sepasang mata yang sudah membuatnya jatuh dan terpuruk karena cinta.

Yang pemiliknya, ia rindukan dengan gilanya.

Kun hanya takut gagal untuk berlari dan bangkit. Kun takut tatap mata Sicheng menghadang langkahnya untuk pergi.

Padahal sudah sangat jelas. Kemarin-kemarin dirinyalah yang bertekad bulat untuk meneriakkan akhir hubungan mereka. Dirinya juga yang bertekad ingin melepaskan.

Tapi sekarang, dirinya juga yang meragu dan tak rela saat pemasangan cincin itu akan segera terlaksana.

Bergeser sedikit dari zona nyamannya kini. Di bawah sana sedang berlangsung acara pertunangan yang sakral. Dari seutas kabar yang di dapatnya, Sicheng beserta ayahnya telah tiba dan mendapat sambutan hangat.

Seolah mereka sedang melakukan drama konyol yang di penuhi lelucon.

Mereka melupakan fakta. Bahwa kemarin pun pertunangan itu telah terjadi hanya saja dengan mempelai yang berbeda.

Apakah mereka pikir pertunangan kemarin hanya mimpi? Sebegitu mudahnya kah mereka melupakan bahwa Kun juga pernah berada di posisi itu? Semurka itukah mereka pada suatu kekeliruan, yang jelas-jelas bukan ia penyebabnya?

Kun seketika merasa kehadirannya selama berpuluh tahun ini tak lebih bagaikan sebuah angin lalu.

Yang datang dengan kesalahan. Lalu mengacau, dan di lupakan begitu saja.

Ia baru tahu. Ternyata dunia bisa sekejam ini.

                           ***

Melalui kaca di hadapannya, Kun seolah sedang berusaha menyentuh rintik gerimis yang mulai berjatuhan ke bumi.

Gorden berwarna merah marun itu ia tarik perlahan, menutupi jarak pandang juga cahayanya.

Dalam sekejap detik, ia terkurung dalam kegelapan. Hanya ada setitik cahaya samar yang mengintip dari celah yang meneranginya kini dengan malu-malu.

Ia lalu duduk, pada dinginnya lantai meresapi suara gemuruh samar beserta angin di luar sana. Hujan benar-benar akan turun. Membasahi bumi, juga dirinya yang tengah berusaha menyembunyikan tangis sendirian.

                            ***

Semua yang terjadi di sekelilingnya terasa berputar.

Apa yang ayahnya bicarakan dengan para Eliezer di hadapan terdengar berdengung di telinganya.

Ia tak bisa memfokuskan diri pada apapun. Sekalipun Ten terus menatapnya dengan kerut keheranan ia tak mau peduli.

Satu yang ia pikirkan kini; Dimana Kunnya berada? Sedang apakah dia di kamarnya? Dan bagaimanakah keadaannya sekarang?

Setitik kekhawatiran tentang Kun yang mungkin saja akan membencinya seketika menakuti benaknya.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang