47

251 39 44
                                    

Bunyi dentuman di luar mengalihkan perhatian Ten.

Mereda sejenak dari kegiatannya membuat rancangan. Inisiatifnya untuk membantu Taeyong dalam pagelaran busananya minggu depan ternyata di tanggapi positif.

Tugasnya hanya membuat rancangan dengan idenya sendiri, sebagai penyegar untuk mode yang sudah ada. Ten menyanggupi. Kebetulan ia pun suka menggambar. Tak usah membawa-bawa hubungan darah, karena untuk saat ini ia tengah muak dengan itu.

Sesungguhnya merajuk. Entah pada siapa. Karena kenyataan yang di dapat tak sesuai pengharapan juga imajinasinya.

Ucapkan selamat tinggal pada semua mimpi indahnya yang tertinggal jauh berkilo-kilo meter di desa pesisir sana.

Tak jarang ia ingin menampar dirinya sendiri, karena begitu bodoh hingga tak memikirkan konsekuensi atas tindakannya mengikuti Taeyong kemari.

Kemana otak cerdasnya pergi?

Sampai-sampai ia harus terjebak dalam posisi serba salah begini, dan kecanggungan tak berujung. Ia ada di rumahnya, di antara keluarganya, tapi Ten merasa sedang berada di sebuah dunia asing, dan di kelilingi oleh orang asing yang begitu sibuk dengan dunianya sendiri.

Tak pernah menyangka pula ia akan menyandang gelar perebut tunangan orang. Walau sebenarnya, jika kita tilik lebih jauh ia tidak merebut. Hanya saja garis takdirnya pernah jatuh sebentar ke tangan yang lain.

Ke tangan orang lain... Oke. Berhenti! Mari bahas hal lain.

Dengan kepala yang sedikit pusing, Ten melepas kacamata minusnya dan menaruhnya di atas nakas.

Ia berjalan menuju pintu. Bermaksud mengintip keadaan di luar. Karena bunyi dentuman tadi bukan main kencangnya.

Pintunya ia buka separuh. Lalu ia melongok keluar. Tak ada hal aneh sejauh mata memandang. Seluruh kamar yang berjajar masih rapi pintunya tertutup rapat. Melirik ke arah tangga, tangga klasik itu masih baik untuk ukuran sebuah tangga.

Lalu bunyi dentuman apa tadi?

Karena di dorong rasa penasaran dan bosan, Ten melangkahkan kakinya lebih maju mendekati pembatas.

Pandangannya ia edarkan ke ruang keluarga di bawahnya. Dan ia mengernyit saat matanya melihat Johnny sedang berjalan, sedikit tergesa, bersama Kun yang di tuntunnya kuat.

Kun meringis. Di pelukannya ada sebuah paper bag. Ia lalu duduk, menghadap berani pada Johnny.

Ten menyaksikannya sendiri. Dalam diam.

"Kenapa kau mengusirnya?" Kun nampak merengut.

Johnny menatap Kun dengan ujung mata. "Orang sepertinya memang pantas di usir." Johnny membuang muka kemudian.

Di usir?

Ten mengernyit. Tak paham dengan arah pembicaraan kedua orang itu.

"Dia datang baik-baik untuk mengembalikan bajuku, John." Balas Kun lirih, tapi suaranya masih bisa di dengar.

"Dengan cara merayu dan menciummu?" Tanya Johnny tajam. Kun diam seketika. "Maaf. Khusus bagian itu aku tidak bisa memberinya toleransi."

Kun menghela nafas. Sadar kalau kakaknya sedang dalam keadaan buruk untuk di bujuk. Ia bangkit, lalu berbalik hendak melenggang pergi ke kamarnya.

Ten hampir mundur. Masih sangat enggan bertemu tatap dengan Kun setelah insiden cincin di hari pertunangannya. Bahkan, kabar Kun yang pulang malam karena berkuda, hingga jatuh sakit masih menyisakan rasa bersalah di hatinya.

Ten memperhatikan dengan seksama, Kun siap menaiki anak tangga, tapi panggilan Johnny kembali menginterupsi.

"Kun, kemarilah..."

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang