55

213 41 77
                                    

Kun pikir, mungkin ia sedang beruntung.

Sebab ketika ia memasuki rumahnya, ia tidak menemukan siapapun. Baik itu Johnny dengan wajah marahnya ataupun Jaemin dengan semua pengawasannya.

Seluruh ruangan justru sunyi sepi dengan lampu yang masih menyala terang.

Segala pikiran buruknya, tentang saudaranya yang sudah duduk tegang menanti kepulangannya ia tepis begitu saja.

Mungkin mereka lelah menunggunya. Pikirannya yang kalut membisiki benaknya.

Ia yang saat itu memang sedang tak ingin membuka kata dengan siapapun, lantas langsung memanfaatkan kesempatan.

Dengan cepat, juga dengan langkah yang terseok ia membawa tubuh lelahnya menuju kamarnya.

Secepat kilat menguncinya rapat. Sebelum ada seseorang yang mengetuknya.

Ia tak ingin diganggu oleh siapapun. Untuk saat ini saja, biarkan ia menikmati waktu sendirinya.

Tanpa mau repot untuk mengganti pakaiannya terlebih dahulu, Kun langsung melemparkan tubuh letihnya pada tempat tidur.

Ia memejamkan matanya sebentar. Matanya terasa perih dan panas. Merasa tak heran, karena seharian ini ia terus saja menangis.

Memutar tubuhnya, Kun bergeser ke sisi yang lain. Menuju ke dekat nakas, untuk meraih sebuah bingkai foto yang berisikan dirinya dan Sicheng.

Miris di rasanya kala ia menatap foto itu. Disana sebuah potret terbingkai apik, menyimpan memori indah antara dirinya dan Sicheng.

Kini, saat hubungan dan cintanya tak bisa lagi ia jadikan pedoman untuk bertahan.

Semua kenangan manis itu hanya jadi hal yang percuma.

Semua potret indah itu kini bagai tengah mengejeknya.

Sesuai dengan ketakutannya. Pada akhirnya, dalam cerita cinta ini dirinyalah yang harus menerima kekalahan.

Pahit dan pilu. Saat Kun mengingat, bahwa untuk hari ke depan sudah tak mungkin lagi ia bisa mengukir tawa bahagia bersama Sicheng.

Seutuhnya, pria itu kini telah jadi milik Ten.

Tak ada kesempatan lagi.

Kun rasa semuanya sudah berakhir. Yang tersisa hanyalah ia dan segala lukanya sendiri.

Bersamaan dengan tangis yang kembali melirih, dengan sekuat tenaga Kun melempar bingkai foto itu hingga hancur tak berbentuk.

Ia sudah tak perduli lagi.

Seperti hatinya, bingkai yang semulanya indah itu kini hancur berkeping-keping menjadi serpihan kecil yang bisa melukai.

                                           ***

Bukan hanya sekedar tak berdaya, Johnny lebih dari merasakan hancur saat melihat keadaan adiknya yang jelas menunjukkan jika batinnya tengah berada pada masa terburuknya.

Semua kekacauan yang terpampang di depan matanya, sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya.

Seraya membungkuk, di raihnya satu-persatu pecahan kaca itu untuk kemudian ia pindahkan ke tempat sampah.

Ia membersihkannya dalam diam. Dalam gejolak amarah yang sulit di jelaskan. Dalam rasa ketidakmampuannya untuk membahagiakan adiknya.

Selembar foto yang tergeletak diantara pecahan tajam kaca dan dinginnya lantai ia raih, untuk kemudian di satukannya juga bersama sampah yang lain.

Menyakitkan.

Johnny turut bisa merasakannya.

Serpihan tajam yang berada dalam genggamannya, terasa tak lebih buruk di bandingkan keadaan hati dan jiwa Kun yang juga hancur dan tak bisa untuk di bentuk kembali.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang