36

237 38 64
                                    

Rasanya begitu berat.

Saat Johnny hendak melangkah. Padahal seharusnya tinggal satu tahap lagi. Untuk menyampaikan betapa ia meminta ampun karena tak mampu mengusahakan lebih keras lagi kebahagiaan untuk adiknya.

Johnny kini bagai orang dungu. Berdiri di hadapan pintu kamar, dengan tangan yang menggenggam kenop tanpa niatan untuk membukanya.

Ia terlalu di liputi kekalutan. Perdebatan dalam benak tentang sanggupkah dirinya melihat Kun berderai air mata, terasa melemaskan seluruh tubuhnya.

Seakan meleburkannya dalam jurang kekalahan.

Dan sepertinya, ia tetap berada pada titik tak berdaya. Pegangan pada kenop ia lepaskan, seiring langkah yang membawanya kembali mundur berniat menuju kamarnya sendiri untuk menenangkan diri.

Tapi, baru ketika langkahnya sampai ke lorong. Suara pintu terbuka, menarik perhatiannya.

Kun.

Berdiri di tepian, memandangnya dengan tatapan lelah.

"Apa ada yang ingin kau bicarakan? Kenapa hanya diam saja? Padahal aku menunggumu masuk."

Walaupun senyuman manis ia tunjukkan, suara paraunya seolah menegaskan betapa lamanya ia telah menangis.

Menarik nafas. Johnny pikir mungkin ini sudah saatnya.

                          ***

Beruntunglah.

Beruntunglah Kun karena sudah menangis sejak tadi. Dengan begitu, kini air matanya mengering dan tak dapat keluar lagi.

Karena jika ia kembali menangis, bisa saja itu semakin membebani Johnny yang sudah bersusah payah menyampaikan kepahitan ini padanya.

Ia tak mau membuat Johnny makin khawatir. Selain karena keadaan akan semakin sulit, setidaknya dengan berlagak kuat ia bisa menyembunyikan kehancuran jiwanya.

Kun melirik pada Johnny yang tengah terduduk lesu di lantai dekat tempat tidurnya.

Pria itu tak mau mengangkat wajahnya setelah menyampaikan permohonan maaf karena terpaksa menyetujui keputusan kejam sang paman tercinta.

Padahal jauh dalam lubuk hati, Kun samasekali takkan marah. Karena kapanpun itu, kekalahan akan tetap menghampirinya.

"John..."

Kun memanggil, dan kebisuan menjadi jawabannya.

Ia menatap Johnny. Tahu bahwa sebenarnya kakak terbaiknya itu setia mendengarkan. "Kenapa tidak, biarkan saja aku pergi daripada mengurungku dalam penderitaan?"

Gelengan pelan dapat Kun lihat. Johnny tersenyum kecut. "Aku tidak sekejam itu membiarkanmu pergi. Siapa yang bisa menjamin kau tidak akan melakukan hal gila di luar akal sehat?" Ia menatap Kun sekilas.

"Aku... Tak bisa memantau kehidupan dan menjaga keselamatanmu, jika kau berada di luar jangkauanku."

Ada yang melodi yang menyayat hati saat ia tahu masih ada orang yang setia menjaga juga memperhatikannya. Seolah ia di izinkan berharap, bahwa pelita masih tersisa untuknya.

Menyembunyikan sentimental hati dengan sebuah tawaan ringan. Kun membalas. "Aku bukan kewajibanmu lagi, John. Aku bukan lagi adik yang harus kau jamin keselamatannya. Aku bukan lagi adik yang harus kau perhatikan kehidupannya. Aku bukanlah siapa-siapa. Sudah ada Ten, adik yang lebih berhak menerima semua ini darimu di banding aku. Apa kau melupakan kehadirannya?"

Walau dalam remang temaram. Kun masih bisa menyadari ada satu tetesan bening yang jatuh dari mata Johnny. Betapa, kakaknya itu tengah berada dalam kepedihan.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang