40

270 45 43
                                    

Takkan ada yang lebih baik di banding dirinya yang sedang duduk tanpa harapan di atas rumput berlumpur bersama dua ekor kuda yang telah puas merumput.

Hujan telah berhenti beberapa waktu lalu. Dan kini, tinggal menyisakan sedikit hawa dingin, juga tanah yang basah.

Langit senja tak lagi berwarna jingga. Mungkin karena tadi terhalang hujan, jadi yang tersisa sekarang hanya kilasan cahaya yang mulai tertelan langit malam.

Mendung benar-benar menyulap senja menjadi malam lebih awal.

Kun.

Sudah tak perduli dengan keadaan sekitar.

Setelah puas menangis seperti orang kerasukan. Rasa lelah, langsung melingkupi tubuhnya.

Ia jatuh terduduk. Di atas rumput kotor yang becek.

Tak mempermasalahkan perihal celana mahal, ataupun baju bermereknya yang akan berlumur noda.

Karena buat apa peduli pada hal sepele begitu, mau ia berguling di atas lumpur, itu tak masalah karena di kantung celananya tak ada satupun barang berharga yang bisa membantu.

Dompet sudah jelas ia tidak membawanya. Karena pikirnya, ia takkan membutuhkan uang saat berada di tengah hutan.

Sedangkan ponsel. Kun bahkan tak ingat dimana terakhir kali ia menaruhnya.

Lagipula, kalaupun ia membawanya ponsel, itu takkan berguna. Karena sinyal sangat sulit di dapatkan di tengah hutan seperti ini.

Kun mendecih. Ingin menampar dirinya sendiri, untuk mengingatkan bahwa jikalau pun ia membawa ponsel, mau Johnny atau Doyoung mereka takkan mungkin mencarinya. Karena pasti, mereka sedang sibuk dengan persiapan pernikahan yang sedang di rancang matang-matang.

Sekarang tubuhnya sepenuhnya basah kuyup. Kalau di pikirkan lagi sebenarnya, ia sedang berada dalam masalah besar.

Ia tak tahu dimana dirinya berada, bersama alunan lagu Human yang ia nyanyikan lantang. Ia benar-benar berharap Tuhan sudi mengiriminya malaikat untuk membantunya menemukan jalan pulang.

Sedikit masuk akal bukan kalau ia berpikir, saat ini Johnny sedang mengamuk mencari keberadaannya?

Dingin yang merambati tubuh membuat Kun sedikit mengantuk. Alunan lirik, "I can do it... I can do it... I can do it... But Iam only human... Just a little human," terdengar makin pelan, karena suaranya yang mulai serak akibat kehausan.

Hampir saja Kun menyerahkan sepenuhnya kelanjutan dari kisah tersesatnya pada Tuhan. Lututnya ia peluk, berusaha mendapatkan kehangatan dari tubuhnya sendiri.

Di antara dua ekor kuda, Kun terpejam menyedihkan, tapi di kejauhan ia mendengar suara seseorang... Tidak. Bukan satu, tapi lebih tepatnya dua orang. Kedengaran seperti sedang mendebatkan sesuatu.

Apa itu malaikat?

Baru saja ia membatin, sebuah seruan kencang tiba-tiba mengejutkannya.

"Lihat! Bukankah itu Roger?"

Kun mendengarnya begitu. Tidak terlalu jelas, tapi ia yakin seruan itu tertuju ke arahnya.

"Ayolah Tuhan. Siapa itu Roger?" Kun membatin gemas, seraya merangkak untuk bersembunyi. Sedikit menengok ke arah sumber suara, dari balik tubuh Regal.

Lalu, seruan berikutnya terdengar menyahut dengan kekesalan. "Roger tidak berwarna putih, Yang. Dia berwarna hitam."

"Tunggu. Dia bilang, Roger, hitam."

Kun memejamkan matanya, mencoba menghubungkan semua titik kemungkinan dalam kepalanya.

Dan saat semuanya terhubung. Ia akhirnya menyadari, dua orang yang saling berseteru itu pasti pemilik dari kuda gagah ini. Kuda ini berwarna hitam bukan?

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang