29

228 39 12
                                    

Sebuket bunga mawar putih menghiasi makam ibunya saat ia datang.

Ten termenung ketika pikirnya memutar, memikirkan siapa gerangan pengirimnya.

Sebuket bunga yang sama, yang ada dalam genggaman ia taruh kemudian di sisinya. Bersanding indah menghasilkan harum lembut yang menenangkan.

Ten mengulas senyum. Lalu duduk di samping peristirahatan terakhir itu.

Dengan suara selirih desiran angin ia memulai bercerita. Tentang kehidupannya yang mulai berubah, menuju titik tujuan keinginannya berada.

Tetes air mata tak dapat di tahan. Mengalir begitu saja seiring dengan alur ceritanya yang mulai memasuki babak akhir.

Dimana, masih berputar pada poros kebimbangan yang ia rasakan saat bertemu Taeyong. Dan ketakutan yang ia miliki akan masa depannya sendiri.

Tak luput pula, ia menceritakan persoalan rasa mengganjal di hatinya yang menaruh curiga jika kakak kandungnya itu tengah menyembunyikan sesuatu.

Mungkin jika ada orang yang kebetulan lewat, mereka akan menganggap dirinya gila karena berbicara sambil berderai air mata pada sebuah makam.

Seolah masih belum merelakan kepergiannya, padahal sesungguhnya Ten hanya sedang mencurahkan segala kesusahan yang di miliki hatinya pada ibunya.

Ya.

Ibu.

Ibu angkat terbaiknya. Yang akan ia cintai, sayangi, juga rindukan selamanya.

Walau keluarga barunya telah ia dapatkan, walau  jarak kelak akan memisahkan, posisi kedua orang paling berharga itu takkan terganti oleh siapapun.

Beruntunglah Ten memiliki mereka. Atau mungkin beruntung, sempat memiliki mereka untuk dua puluh tiga tahun ini.

Ten mengangkat wajahnya. Sisa jejak air mata yang membekas di pipinya terasa dingin saat bersentuhan dengan angin.

Ia menatap gumpalan awan, yang berarak, bergulung di atas langit biru.

Cuaca di bukit Ellesa sedang cerah. Itulah sebab mengapa ia memilih hari ini sebagai waktu terbaik untuk mengunjungi makam orang tuanya.

Mungkin saja, ini akan jadi hari terakhirnya berada di kota pesisir ini.

Meski belum menentukan waktu pasti, ia telah memantapkan diri jika tiba-tiba Taeyong mengajaknya pulang.

Kesiapan telah di dapatkan. Tinggal menunggu waktu yang tepat, kapanpun itu Ten tidak akan menolak.

Menyentuh kedua buket bunga itu bergantian, Ten bangkit lalu berniat pergi. Dalam hati mengucap sampai jumpa seraya melangkah menapaki anak tangga menuju gerbang.

Panas matahari terasa menyengat saat ia sampai di gerbang masuk. Memicingkan pandangan karena silau, Ten sampai tak menyadari bahwa di hadapannya ada seseorang yang tengah berdiri menatapnya.

"Ten!"

Suara yang terdengar familiar, dan seketika menarik perhatian. Ten menatapnya sebentar, sebelum tersenyum begitu menyadari siapa orang itu.

Itu sahabatnya, Lucas. Orang yang paling ia nanti belakangan ini.

Berdiri dengan angkuh di samping mobilnya, Lucas mengulas senyuman hangat. "Apa kabar?"

                                      ***

Harum aroma parfum yang menguar dari tubuh Lucas, memenuhi penciumannya. Ten bisa merasakan aura keberanian dan maskulinitas yang di pancarkan Lucas—begitu mendominasi.

LUCK AND WIN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang