JUN AND WOOZI (3)

538 64 20
                                        

Aku menepis tangan Woozi saat kami sampai di apartemennya, aku hendak pergi namun ia menahan ku dengan memelukku dari belakang. Pelukannya terasa asing, tidak sehangat dulu.

"Mianhae," ucapnya sambil mengeratkan pelukannya, seolah mencoba menarik ku kembali ke masa lalu yang indah.

Aku hanya diam, menahan air mata yang sudah mengambang di pelupuk mata. Nafasku tercekat, dan aku mati-matian mencoba melepaskan pelukannya. Rasanya seperti ada dinding tak kasat mata yang menghalangi.

"Tolong maafkan aku, (y/n)-ya. Sungguh, aku tidak bermaksud untuk menyakiti atau mengkhianati cintamu," suaranya terdengar bergetar, penuh penyesalan.

Lagi dan lagi aku hanya diam, berusaha melepaskan diri dari kungkungan lengannya. Setiap tarikan nafasku terasa berat.

"(Y/n)-ya, sungguh hubungan ku dengan Jieun berjalan begitu saja tanpa direncanakan. Dan sungguh, aku tidak tahu jika Jieun adalah kekasih Changkyun," ucapnya lagi, kali ini terdengar lebih putus asa.

"Lepaskan pelukanmu sekarang, Woozi. Aku harus kembali bekerja sekarang," akhirnya aku membuka suara. Suaraku terdengar serak, hampir seperti bisikan.

"Tidak, sebelum kau memaafkan aku," jawabnya tegas.

"Aku sudah memaafkan mu, jadi tolong lepaskan pelukanmu sekarang," kataku, berusaha sekuat tenaga agar suaraku tidak pecah.

"Gomawo, (y/n)-ya," ia berbicara sambil melepas pelukanku dan membalikkan tubuhku. Tatapannya penuh harap, namun aku tahu, harapan itu akan segera pupus.

Aku menatapnya dengan senyum getir. "Aku memaafkan mu, tapi aku ingin kita mengakhiri hubungan kita sekarang. Terima kasih, Woozi, selama empat tahun ini kau sudah menemaniku dan menjadikanku kekasihmu."

Setelah mengucapkan kalimat itu, aku langsung berbalik dan beranjak pergi dari hadapannya. Aku sempat melihat Woozi mengerjapkan matanya, menatapku tak percaya. Ada kebingungan dan kekosongan di matanya, tapi aku tidak peduli. Hatiku sudah terlalu sakit untuk kembali.

Aku langsung berlari keluar apartemennya, tidak menggunakan lift karena takut ia akan mengejar ku. Aku memilih tangga darurat, kakiku melangkah cepat, menuruni setiap anak tangga dengan tergesa-gesa. Rasanya udara di dalam gedung itu menyesakkan. Aku ingin segera keluar dan menghirup udara bebas.

Aku merogoh saku untuk mengambil ponselku. Aku harus menelepon Minji untuk memberitahunya bahwa aku akan pulang lebih awal hari ini.

"Oh, Minji-ya, mianhae karena aku tadi pergi tidak bilang padamu. Tadi aku tiba-tiba harus menyelesaikan urusanku," kataku setelah sambungan telepon terhubung. Aku bisa mendengar nada khawatir dari suaranya.

"Ish... kau ini, kau tahu kau membuatku dan Eomma khawatir saja. Apa urusanmu sudah selesai sekarang?" tanyanya, terdengar sedikit kesal.

"Eung, sudah. Mianhae karena aku tak bisa menyelesaikan pekerjaanku hari ini," jawabku.

"Eyy, gwaenchanha. Kau tak perlu memikirkan tentang pekerjaanmu, (y/n)-ya. Aku akan mengurusnya nanti," ucapnya dengan nada yang lebih lembut.

"Gomawo, Minji-ya. Mianhae karena aku selalu merepotkan mu. Sampaikan permintaan maafku pada Eomonim juga," kataku tulus.

"Gwaenchanha. Tentu, nanti ku sampaikan. Ah, (y/n)-ya, kau tak perlu khawatir soal tasmu, biar nanti ku antarkan," tawar Minji.

"Eung, gomawo, Minji-ya," balasku.

Aku akhirnya menutup sambungan telepon. Langkahku terasa lebih ringan sekarang, meskipun hatiku masih terasa berat.



































SEVENTEEN IMAGINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang