14.S.COUPS (1)

5.9K 275 0
                                        

Kenangan empat tahun lalu masih begitu jelas dalam benakku, mengikatku di tempat ini, terperangkap dalam ketakutan yang tak terhingga terhadap dunia luar. Berbagai pengalaman pahit telah merenggut kepercayaanku pada setiap orang di sekitarku.

Pagi itu, suara pintu kamarku berderit pelan, dan Perawat Jang masuk dengan senyum hangat di wajahnya, membawa obat. "Selamat pagi, Nona (y/n). Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?" tanyanya, mendekatiku dengan langkah ringan.

"Seperti biasa, aku tidak bisa tidur," jawabku datar, menatapnya. "Bisakah kau bilang pada Dokter Han untuk memberiku obat tidur lagi?"

Perawat Jang menggeleng lembut sambil mengusap kepalaku, lalu menyodorkan obat yang dibawanya. "Tidak bisa, Nona (y/n)."

Mataku menatapnya sendu. "Lalu kenapa kau terus memberiku obat ini dan tidak memberiku obat tidur agar aku bisa tidur nyenyak tanpa harus memikirkan kejadian yang pernah ku alami?"

"Maafkan aku, Nona, tapi aku memang tidak bisa mengabulkan permintaanmu karena Dokter Han sudah tidak menangani mu lagi," ucapnya, mendudukkan diri di tepi ranjangku.

"Lagi! Sekarang alasan apa lagi untuk mengganti Dokterku? Apa karena wanita tua itu menyuruhnya untuk tidak merawat ku lagi? Atau kau juga akan pergi sama seperti Dokter Han dan menganggap ku gila?" Air mata mulai menggenang di pelupuk ku.

"Tidak, Nona. Percayalah padaku, aku akan selalu berada di sisimu," balasnya, menatapku dengan senyuman tulus.

"AKU TIDAK PERCAYA PADAMU! KAU PASTI SAMA DENGAN ORANG-ORANG DI LUAR SANA, MENGANGGAP KU GILA DAN Menganggap ku SENDIRILAH YANG MELUKAI EOMMA DAN APPA-KU!" teriakku histeris, menjauh darinya.

"Nona (y/n), tenanglah," Perawat Jang bangkit dan berusaha menenangkan ku.

"JANGAN MENDEKAT! PERGI! PERGI!" Aku berteriak semakin keras, kejadian pahit itu terus berputar di kepalaku, bagai kaset rusak yang tak henti diputar.

Dengan tubuh gemetar, aku melihat Perawat Jang memegangi pipinya yang berdarah. Saat pandanganku beralih ke tanganku sendiri, tubuhku semakin bergetar hebat. Pensil yang sedari tadi ku genggam kini berlumuran darah. Aku melangkah mundur, syok, saat tiba-tiba para perawat lain berdatangan dan langsung memegangi ku.

"Maaf... maaf... maafkan aku. Aku tidak sengaja melukaimu," kataku pada Perawat Jang, dengan suara bergetar.

"Berhenti bicara kalau tidak mau kena pukul, hah!" Salah satu perawat menekan bahuku, memaksaku berlutut di hadapannya.

"Maaf... maafkan aku... Perawat Jang," isak ku mulai pecah.

"Yak! Sudah kubilang berhenti bicara!" Ia mengangkat tangannya, hendak memukulku.

"Apa yang kau lakukan?" Suara asing yang dalam tiba-tiba terdengar, disusul langkah kaki yang mendekat.

Aku merasakan Perawat Jang mendekat dan berlutut di hadapanku. "Gwaenchanha?"

Ku tatap wajahnya, lalu tanpa ragu, aku langsung memeluknya erat. "Maaf... maaf... aku tak bermaksud melukaimu, Perawat Jang."

"Gwaenchanha, ini hanya luka kecil. Berhenti menangis, Dokter mu sudah datang," ia melepaskan pelukanku dan membantuku berdiri.

Aku melirik sekilas kearahnya dan para perawat tadi. Perawat Jang mendudukkan ku di tepi ranjang. Saat ia hendak pergi, aku menahannya. "Je-jebal, jangan tinggalkan aku."

"Tak apa, Perawat Jang, kau bisa di sini. Dan kalian bisa keluar sekarang," suara asing itu kini memerintah para perawat.

"Usap air matamu dan ucapkan salam padanya," Perawat Jang mengusap lembut kepalaku.

SEVENTEEN IMAGINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang