Aku menatap langit yang sudah berubah warna ini. Rintihan dan butiran kecil yang perlahan turun tak membuatku beranjak dari tempatku berdiri sana ini. Dinginnya angin senja menusuk kulit, namun sensasi itu tak sebanding dengan kekosongan di hatiku. Aku perlahan menaiki pembatas jembatan, tempatku berdiri saat ini. Di bawah sana, Sungai Han mengalir deras, seolah ikut meraung bersama kesedihanku. Perlahan aku menutup mata, membiarkan ingatan pahit menggerogoti. Hingga perlahan aku melepas genggaman tanganku pada besi pembatas jembatan ini.
"Selamat tinggal semua. Aku harap semua penderitaan yang ku alami selama ini akan menghilang saat diriku menghilang juga," batinku, suara itu lebih seperti bisikan putus asa daripada doa.
Namun, niatku terhenti ketika aku merasa sebuah lengan yang memegangi tanganku dengan sangat kuat. Aku membuka mataku dan menoleh ke arahnya. Seorang pemuda dengan napas yang tak teratur tengah memegangi ku, raut wajahnya menunjukkan kepanikan yang nyata.
"Nona, apa kau sudah gila? Bunuh diri bukanlah hal yang akan menyelesaikan masalahmu!" ucapnya, suaranya sedikit bergetar.
"Apa peduli mu? Lepaskan tanganmu dariku sekarang!" jawabku sambil memukul tangannya, ada kemarahan yang terselip dalam suaraku.
"Aniya, aku tidak akan melepaskan tanganmu," ucapnya tegas, sambil menarik ku menjauh dari tepi.
"YAK! LEPASKAN! KAU INI SEBENARNYA... si-siapa? Ke-kenapa kau me-mencegahku untuk bunuh diri? Orang-orang terdekatku saja tidak me-memperdulikan diriku dan tak me-menganggap diri ada!" ucapku sambil menangis dan terjatuh terduduk di trotoar jembatan, air mata membasahi pipiku.
"Aku memang bukan siapa-siapa. Aku bahkan tidak mengenalmu, Nona, tapi aku tidak bisa melihatmu mengakhiri hidupmu dengan cara seperti ini," ucapnya lembut, berlutut di hadapanku. Matanya memancarkan ketulusan yang aneh.
"Wae? Waeyo? Kau peduli terhadapku?" aku berbicara sambil terisak, tak mengerti mengapa orang asing ini repot-repot peduli.
"Hidupmu masih panjang, Nona. Dan bunuh diri bukan menyelesaikan masalahmu, tapi akan membuat masalah yang baru lagi," ucapnya lagi, suaranya menenangkan.
Aku hanya diam kali ini, tak menjawab perkataannya tadi. Pikiranku kalut, namun ada sedikit ketenangan yang menjalar dari kehadirannya. Hingga aku mendengar suara yang tidak asing bagiku, suara yang selama ini menjadi penyebab utama kesengsaraanku.
"(Y/n)-ya! Syukurlah akhirnya aku menemukanmu, ayo pulang. Kita bisa bicarakan semua ini dengan baik-baik di rumah," ucap Namja yang baru saja datang itu, Jeohyuk, sambil menarik lenganku dengan kasar.
Aku tak menjawabnya dan menepis tangannya. "Jangan sentuh aku!"
"Jangan seperti anak kecil yang marah karena hal seperti ini, ayo kita pulang sekarang," ucapnya kembali sambil menarik lagi tanganku, cengkeramannya semakin kuat.
"Shireo!" jawabku, menolak keras.
Ia tak mendengarkan ku. Ia bahkan memegangi ku tangan ku dengan sangat kencang, membuatku meringis.
"Akhh.. Lepaskan! Kau membuat pergelangan tanganku sakit!" ucapku sambil meronta-ronta, berusaha melepaskan diri.
"Hai, bung! Kau tidak mendengar perkataannya tadi? Kau menyakiti pergelangan tangannya," ucap Namja yang menyelamatkanku tadi, suaranya tajam.
Aku menoleh dan menatap dirinya yang memang sejak tadi diam, dan pada akhirnya membuka suaranya juga. Ada rasa lega sekaligus takut.
"Cih, kau siapa beraninya ikut campur urusanku dan gadis ini? Pergilah!" bentak Jeohyuk, tatapannya penuh ancaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN IMAGINE
DiversosSeventeen x you disini tempatnya buat kalian ngehalu bareng.. bisa bayangin dong jadi bagian dari kehidupan para member seventeen meski halu.. Nantinya bukan hanya all member seventeen yang ada dicerita ini karena nantinya aku bakal masukin bebera...
