Dengan langkah gontai, aku menyeret diri masuk ke dalam apartemen. Lampu ruang tengah sudah menyala, dan di sana, sosok Wen Junhui—suamiku—terlihat duduk santai di sofa, mata terpaku pada layar televisi. Tanpa sapaan, tanpa kontak mata, aku langsung melenggang menuju kamarku. Pikiranku kalut, dan satu-satunya yang kuinginkan adalah menjauh dari keberadaannya.
Namun, sebelum aku sempat meraih gagang pintu kamar, suaranya menghentikan langkahku. "(Y/n)-ya, apa kau sibuk akhir pekan ini?" tanyanya, nadanya datar seperti biasa.
Aku berbalik, menatapnya dengan pandangan dingin. "Wae?"
Ia mengangkat sebuah kartu undangan berwarna pastel di tangannya. "Aku mendapat undangan pernikahan dari sahabatku."
"Aku sibuk, bahkan di akhir pekan sekalipun," jawabku tegas, melanjutkan langkah masuk ke kamar.
"Jinjja? Kau tidak sedang membohongiku kan?" teriaknya, suaranya sedikit lebih keras, seolah memastikan aku mendengarnya di balik pintu yang mulai tertutup. Aku hanya menghela napas, mengabaikannya.
Tiga puluh menit berlalu. Aku keluar dari kamar, merasa sedikit lebih segar setelah mandi dan berganti pakaian. "Tentu saja, aku ini seorang dokter, bukan pengusaha sepertimu, Tuan Wen Junhui," kataku, membalas pertanyaannya yang tertunda.
Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal yang kentara. Aku tahu ia jengkel karena aku mengabaikannya begitu lama. Jun memang selalu seperti ini; mudah merajuk. Jika saja aku tidak terburu-buru, mungkin aku sudah memukulnya sampai puas. Ia bangkit, melangkah cepat mengikuti ku sampai ke pintu depan, lalu meraih tangan ku, menahan ku pergi. Aku membalikkan tubuhku, menatapnya dengan kesal.
"Wae?"
"Kau mau ke mana lagi?" tanyanya, tatapannya menyelidik.
"Aku ada jadwal operasi hari ini. Aku pulang hanya untuk mandi dan berganti baju," jelas ku, berusaha melepaskan genggamannya.
Ia tidak melepaskan, malah melipat kedua tangannya di dada, senyum tipis terukir di bibirnya. "Jadi bagaimana dengan akhir pekan ini? Kau tak bisa menemani suamimu yang tampan ini?"
"Tidak, dan jangan terlalu percaya diri, Tuan Wen," balasku, akhirnya berhasil melepaskan tangannya dan berlalu pergi, meninggalkan Junhui yang masih berdiri di ambang pintu, menatapku.
Yah, kami memang sudah menikah empat bulan lalu. Pernikahan yang hanya diinginkan oleh kedua orang tua kami. Kami berdua sebenarnya sudah memiliki kekasih masing-masing, tetapi karena kami tidak ingin melihat mereka kecewa, kami akhirnya mengiyakan ketika mereka menjodohkan kami. Awalnya, aku ingin membatalkannya dan kabur dari rumah, tapi sebelum itu terjadi, Jun menemui ku. Ia mengajukan sebuah perjanjian, sebuah kesepakatan untuk tidak menyakiti hati kekasih kami masing-masing, dan tentu saja, hati orang tua kami. Aku menyetujuinya, berharap ini bisa menjadi jalan tengah.
Jadwal operasiku hari ini telah selesai. Seperti biasa, Seohee selalu menjadi pendengar setia keluh kesahku, terutama mengenai Jun. Ia memang pendengar yang baik, meskipun terkadang juga menjengkelkan. Kami bersahabat sejak kecil, dan Seohee adalah satu-satunya yang tahu tentang keadaan kami, bahwa semua ini hanya drama yang ku buat bersama Jun.
Aku meneguk kembali soju yang tadi ku beli. Hangatnya membakar tenggorokanku, melonggarkan lidahku. "Kau tahu, ia semakin hari semakin membuatku tak bisa menahan diri. Apalagi saat ia habis mandi, wah, sangat seksi! Bahkan Seungwoo oppa saja kalah."
Seohee, yang mendengar omonganku yang mulai tidak jelas ini, hanya menggelengkan kepalanya. "Ia mulai lagi. Sudah terpana oleh ketampanan Jun Oppa dan tak bisa melepas kekasihnya yang sudah lama dikencani itu. Cih, selalu saja bicara omong kosong saat mabuk."

KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN IMAGINE
De TodoSeventeen x you disini tempatnya buat kalian ngehalu bareng.. bisa bayangin dong jadi bagian dari kehidupan para member seventeen meski halu.. Nantinya bukan hanya all member seventeen yang ada dicerita ini karena nantinya aku bakal masukin bebera...