Seusai memotret Gunung Merapi, Sivan tidak kembali ke dalam kamar. Ia langsung mengirimkan empat gambar terbaik hasil jepretannya kepada Orang Merapi. Evan terlambat menyadari gawainya membunyikan notifikasi inbox facebook. Janu menyepak sedikit pundak Evan. Barulah sahabatnya terkejut sebentar, lalu refleks membuka inbox facebook Orang Merapi dengan jari-jari gugup.
[Sivan Mahaputra] Itu foto Gunung Merapinya, Om. Maaf kalau kurang bagus. Hehehe.
[Orang Merapi] Makasih, ya. Fotonya bagus, kok. Kamu pintar mengambil foto juga rupanya.
[Sivan Mahaputra] Temanku sering mengajariku, Om.
[Orang Merapi] Kamu nggak belajar?
[Sivan Mahaputra] Udah, Om. Ini baru mau mulai lanjut lagi.
[Orang Merapi] Sip. Lanjutin saja dulu belajarnya. Semangat, ya!
[Sivan Mahaputra] Siap, Om.
[Orang Merapi] Om boleh sering inbox kamu?
[Sivan Mahaputra] Boleh, Om.
[Orang Merapi] Syukur, deh.
[Sivan Mahaputra] Asik, kok, ngobrol sama, Om.
[Orang Merapi] Kenapa?
[Sivan Mahaputra] Seperti ngobrol sama ayah.
Jempol Evan berhenti menari. Janu mendekati pundak Evan. Penasaran kenapa tiba-tiba sahabatnya berhenti mengetik dengan semangat. Apa yang Janu khawatirkan sesuai dengan apa yang terjadi di kenyataan. Drama ayah dan anak yang menyedihkan terjadi lagi. Janu sekali lagi menyikut lengan Evan, memberikan aba-aba melanjutkan. Namun, Evan bingung harus membalas apa. Ingin sekali ia membalas, aku ayahmu dan mana mungkin Sivan percaya begitu saja. Hal-hal seperti itu hanya ada di dalam sinetron favorit Sinta.
Sayang sekali, Sivan tiba-tiba offline. Evan menurunkan kaca mobil jeep untuk melihat kembali ke balkon kamar Sivan. Bola mata elangnya memanas. Janu memalingkan muka tidak tega melihat ekspresi wajah Evan yang terpantul di kaca pintu mobil. Sivan tidak lagi berdiri sendirian di balkon. Ia ditemani seorang pria bertubuh tegap. Pria itu terlihat mengobrol sebentar dengan Sivan. Beberapa saat kemudian telapak besarnya menepuk kepala Sivan.
Ekspresi Evan benar-benar menyedihkan menyaksikan adegan itu. Bukan, ia tidak iri. Ia hanya ingin melakukannya juga. Menepuk kepala Sivan. Putra satu-satunya. Harta kesayangannya bersama Sinta. Janu kembali menengok ke arah Evan. Evan masih menatap balkon kamar Sivan padahal tubuh anaknya sudah menghilang bersama pria tua bertubuh besar. Kali ini, Janu tidak menyepak ataupun menyikut tubuh Evan. Dia memilih menepuk punggung Evan, lalu melakukan gerakan memutar di sana.
"Yang sabar, Bro. Sebentar lagi, kamu pasti bisa menepuk kepala Sivan," hibur Janu. Ia selalu tahu apa yang ada di pikiran Evan.
"Thanks."
"Hahaha, kok, aku nggak merasa najis, ya?" goda Janu dengan alis naik turun.
"Najis!"
"Sekarang kita mau kemana, nih?"
"Mampir ke warung mie ayam Lembah Merapi saja. Sekalian beli dua bungkus untuk Beton dan Mas Jo. Kasihan mereka baru sampai tidak dikasih makan."
"Oke! Siap! Meluncur!"
Tubuh Sivan jatuh di atas tempat tidur, membunyikan suara cukup keras. Kakek mendengarnya, sempat berhenti berjalan menuruni anak tangga. Tetapi, tidak kembali lagi ke dalam kamar Sivan. Seluruh tubuh Sivan terasa lelah. Seharian ini ia belajar, belajar, dan belajar. Sivan ingin menerbangkan layang-layang, tapi sudah pasti Kakek melarang. Kakek mendidik Sivan dengan keras, namun Sivan selalu menganggapnya sebagai bentuk kasih sayang.
Ketika musim ujian tiba, Sivan akan dilarang keluar rumah. Bahkan untuk membeli keperluan sekolah pun tidak diperbolehkan. Sivan akan berada di dalam rumah selama satu minggu lebih untuk fokus belajar. Kakek Sivan pensiunan anggota TNI. Ia ingin Sivan meneruskan profesinya sebagai tentara. Sayangnya, Sivan lebih tertarik untuk menjadi dokter. Meskipun tidak kuat melihat darah, Sivan yakin bisa menggapai profesi itu. Melihat Nenek sering sakit adalah alasan Sivan ingin kuliah kedokteran.
"Sudah selesai belajarnya?"
"Belum, Kek. Sivan cuma cari angin sebentar."
"Jangan lama-lama cari anginnya dan jangan sampai dapat nilai delapan lagi kalau mau masuk sekolah militer. Oya, jangan mainan HP terus. Mengerti?"
"Mengerti, Kek. Sivan minta maaf."
"Tidak apa-apa. Sekarang masuk kamar dan kembali belajar," ucap Kakek diakhiri menepuk kepala Sivan. Itu adalah percakapannya dengan Kakek beberapa saat yang lalu di balkon. Sampai sekarang Sivan belum berani untuk mengungkapkan impian yang sebenarnya kepada Kakek. Ia takut mengecewakan Kakek. Sivan tidak ingin membuat Kakek sedih dan menyesal telah merawatnya sejak kecil.
"Ma, aku harus bagaimana? Andai Mama masih ada, Mama pasti berusaha keras untuk membujuk Kakek, kan? Sejak Mama meninggal waktu itu ... Sivan ... Sivan takut sama darah. Sivan juga takut melihat kekerasan. Sivan nggak cocok jadi perajurit tentara, Ma. Kenapa? Kenapa Mama harus pergi dengan cara seperti itu. Kena ... pa ... Mah ... Ma ... hah ...." Sivan memegang dadanya yang mulai sesak. Selalu seperti ini jika ia terlalu banyak memikirkan Sinta. Napasnya akan sesak dan sembuh dengan sendiri setelah tenang.
Sivan berusaha berjalan dengan kaki lemas ke pintu kamar untuk mengunci kenopnya. Ia berniat tidak akan melanjutkan belajar. Tubuh dan hatinya terlampau lelah. Sivan mulai belajar sejak pagi dan hanya berhenti untuk makan siang atau ke kamar mandi. Kakek sengaja berada di ruang tamu untuk mengawasi kegiatan Sivan. Sementara Nenek jarang keluar kamar, lebih sering beristirahat di kamar lantai satu. Di rumah, Kakek tidak menyewa pembantu agar Sivan lebih mandiri. Bisa dibayangkan betapa tertekan dan kesepiannya Sivan di rumah ini.
"Ayah...," Sivan merintih.
Evan kembali merokok di balkon vila. Menikmati udara dingin dengan sengaja memakai kaos hitam tipis. Celana jeans abu-abu menghalangi hawa dingin menusuk kakinya. Seluruh tubuh bahkan wajahnya sedang memanas. Evan tak sabar menerima balasan pesan inbox Sivan. Bocah itu belum membalas pesan inbox-nya. Ia mulai berjalan mondar-mandir. Khawatir. Memikirkan apa yang sedang terjadi dengan putranya. Janu mengawasinya dari dalam kamar sambil menonton pertandingan catur di youtube.
Mata Sivan terbuka saat makan malam. Setelah makan malam bersama Kakek dan Nenek, ia langsung melanjutkan istirahatnya. Sivan tidak sempat membuka gawai. Ia bahkan mematikan notifikasi di gawainya. Dengan cepat Sivan kembali terlelap, beberapa menit setelah menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Tanpa Sivan tahu, beberapa pesan dari Evan telah berjam-jam menunggu.
Beberapa puntung rokok berserakan di sekitar Evan. Empat kaleng minuman soda sudah kehilangan isinya. Berpuluh kali Evan keluar masuk menu facebook. Terakhir dilihat menunjukkan Sivan terakhir online sore tadi. Janu sudah tertidur di kasur dengan mulut terbuka. Joe dan Beton sibuk membicarakan Gunung Merapi di depan vila. Suasana vila sangat sepi. Vila tempat tinggal sementara Evan cukup mewah. Tidak banyak orang yang betah berlama-lama menginap karena biayanya cukup mahal.
[Orang Merapi] Kamu pasti sedang belajar, ya. Selamat belajar putra ay... (dihapus) Selamat belajar dan jangan lupa balas pesan... (dihapus) jangan lupa berdoa ketika mengerjakan soal.
Evan lesu masuk ke dalam vila. Ketika merebahkan diri di tempat tidur, Sinta membentaknya di atas langit-langit kamar.
"Kamu merokok lagi, kan! Huh! Berapa kali aku harus bilang! Jangan merokok! Aku nggak mau punya suami yang suka merokok!"
"Maafkan aku, Sinta. Aku merokok lagi. Sangat banyak. Hahaha. Kira-kira Sivan suka ayah perokok tidak, ya?" monolog Evan kepada langit-langit kamar. Mata elang itu akhirnya menyerah, menutup bersama telapak tangan kanan menggenggam gawai yang masih menunjukkan menu inbox facebook.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...