58.

258 21 0
                                    



"Anu, aku Juno. Tadi, layang-layangku jatuh di halaman rumahmu dan itu layang-layangku," kata Juno menunjuk layang-layang bergambar kepala Ultraman hasil kerja kerasnya sendiri. Tidak kunjung mendapatkan jawaban, Juno memberanikan diri mengamati rupa Sivan dengan jiwa kecil di depannya. Ia membungkukkan badan hanya untuk mendapati wajah nyenyak sahabatnya.

"Kok, kamu malah tidur, Siv?" Biarpun begitu, Juno tak berhenti melanjutkan aksi. "Aku udah berusaha keras buat mengingat dialog pertemuan kita pertama kali, lho. Kurang perhatian apa coba," cemberut Juno.

"Layangan ini aku berikan buat kamu." Akting Juno berlanjut tidak bahagia. Ternyata, ia masih mengingat dialog-dialog awalnya untuk Sivan. Walau kata-katanya sedikit berbeda. Intonasi dan ekspresi semuanya sama. Juno terserang nostalgia dengan bumbu-bumbu kesedihan terlalu banyak.

"Aku nggak mau ngelakuin ini lagi untuk kamu, Sivan. Akan aku pastikan ini yang terakhir." Juno bersumpah. Ia meraih layang-layang itu dari kurungan lengan Sivan. Mata Juno yang masih putih memerah. Ternyata Sivan memegang ujung layang-layang dengan kedua jari telunjuknya. Sementara jari-jari lain menggenggam permukaan layang-layang. Perasaan lega menarik kedua sudut bibir Juno ke atas.

"Layang-layang itu aku berikan untuk kamu," ulang Juno tersenyum tulus mengakhiri aktingnya. Ia sukses menahan butir-butir air kecil jatuh ke bawah pipi.

Sebuah taksi berhenti di luar gerbang Juno tadi berdiri. Menurunkan seorang pria dewasa berperawakan seperti Kakek. Sorot matanya terlalu fokus, sebelas dua belas dengan indera penglihatan Haris. Hanya warna rambut saja yang membedakan mereka. Pria itu kelihatan lebih muda. Rambut cokelat berkilaunya menandakan ia belum termakan usia. Dari jauh, Juno merasakan aura tidak mengenakkan.

Kakek sengaja mengunci pintu gerbang. Memasrahkan semua tamu yang datang kepada Juno. Juno segera menggapai besi gembok. Naas, gerakannya terburu-buru. Ia tersandung sesuatu. Tidak lama tubuhnya runtuh. Kepala Juno tergores pembatas jalan setapak berbahan batu. Batu yang digunakan Kakek merupakan salah satu batu millik Gunung Merapi. Aliran darah kecil menjalar di pelipis kiri Juno.

Juno bisa bangun. Sambil melanjutkan perjalanan, ia memegang terus pelipisnya. Pria di depan gerbang kaget sekaligus heran. Seumur hidup, baru kali ini ia dibukakan gerbang oleh seorang remaja berlumuran darah. Sopir taksi yang belum menginjak gas, sempat menawarkan bantuan untuk mengantar ke klinik terdekat. Juno menolak dengan alasan hanya tergores batu.

Suara Juno terjatuh membangunkan Sivan. Kedua matanya ketakutan melihat Juno berjalan bersama satu orang pria dewasa membawa koper besar. Tidak. Sivan tidak langsung fokus kepada sang pria. Pandangan sayunya tersedot cairan merah yang sudah memenuhi hampir seperempat sudut wajah Juno. Juno ingin membersihkannya, namun takut tamu itu memiliki niat buruk.

Pria itu menghentikan roda kopernya, membungkuk, lantas menekuk kaki di depan Sivan.

"Sivan ...," panggil pria itu. "Ya Tuhan ... Sivan." Wajah pria itu kelihatan menyesali sesuatu. Sivan belum juga mengalikan pandangannya dari pelipis Juno. Juno menyadarinya sejak tadi, secepat mungkin memalingkan wajah.

"Kenapa kamu seperti ini lagi? Setelah sepuluh tahun, kenapa opa harus bertemu kamu dalam keadaan seperti ini?"

"Maaf, Anda siapa, ya?" Sedikit gugup, Juno memberanikan diri bertanya. Ia sangat penasaran dengan pria yang menyebut dirinya sendiri sebagai opa. Bahkan suaranya saja terdengar miria suara Kakek Sivan.

"Aku Renjana, adik Kakek Sivan. Sivan sering memanggilku Opa Jana." Jawab Renjana sembari memijit-mijit pelan kedua kaki Sivan. Sivan meremas layang-layang hingga membunyikan suara sobekan. Juno melepaskan jari-jari dari pelipis menyadari ada yang tidak beres pada sahabatnya. Wajah sedih Renjana berubah derastis menjadi khawatir.

"Sivan? Kamu kenapa? Ada apa Sivan?" Renjana menaikkan satu tekukan lututnya, memeriksa keadaan cucu kesayangan kakaknya.

Juno menyingkirkan layang-layang dari pangkuan Sivan, khawatir bisa melukai telapak tangan sahabatnya. Setelah layang-layang itu jatuh ke permukaan jalan, Sivan menangis sesenggukan hingga kesulitan bernapas. Renjana menaikkan satu lagi kakinya. Posisinya kini membungkuk dan memeluk tubuh ketakutan Sivan.

"Hei, tenang ... Opa di sini. Opa pulang dari Jepang demi bertemu kamu. Sivan jangan menangis. Sivan senang, kan, Opa pulang?" Renjana memutar-mutar punggung Sivan.

"Om, maaf, maksudku, Opa Jana. Sebaiknya kita bawa Sivan masuk ke dalam rumah. Sivan sedang sakit. Aku khawatir penyakitnya kambuh," bujuk Juno bernada sangat khawatir.

Renjana menuruti permintaan Juno. Ia memegang erat punggung Sivan. Mendekap menuju ke atas hingga berhasil menggendongnya. Kepala Sivan jatuh mengenai pundak tegap Renjana. Kedua mata lelahnya menutup di sana. Juno mengikuti Renjana membawa tubuh lemah Sivan sambil mendorong kursi roda. Satu tangan ia gunakan mendorong, satunya lagi menelepon Anita. Juno melupakan keningnya yang masih berdarah. Renjana pun melupakan kopernya.

"Sivan ...."

"Sivan ...."

"Sivan ...."

Sivan kebingungan dengan keberadaannya sekarang. Ingatan terakhirnya mengatakan, ia baru saja melihat Nenek selesai dimakamkan. Sivan menggenggam pasir putih di depannya. Menyatukan menggunakan kedua tangan. "Sivan ...." Suara tidak jelas namun lembut itu datang lagi. Semakin mendekat ke arahnya. Masuk ke dalam gendang telinga Sivan dengan sopan. Sebuah pelukan hangat Sivan rasakan dari belakang.

"Sivan, ini Mama, sayang ...."

"Mama .... " panggilnya lemah. " Tapi ... Mama sudah nggak ada ...."

"Nggak, Sivan, Mama nggak pernah pergi. Mama selalu di samping Sivan. Mama ada di dalam hati Sivan." Sinta mengeratkan pelukannya, lalu mencium ubun-ubun kepala Sivan yang diterba angin laut. Sivan memegang kedua lengan Sinta, berbalik untuk melihat wajah sang Mama. Wajah yang sepuluh tahun tidak pernah lagi ia lihat senyats ini.

"Kenapa Mama ada di sini?" tanya Sivan meragu. Ia ingat dan paham benar Mamanya telah lama tiada.

"Mama ingin menjemput Sivan. Sivan banyak terluka. Mama nggak suka," jawab Sinta sambil menuntun tubuh putranya berdiri. Telapak dingin Sinta menggenggam erat kedua lengan kurus Sivan. Menariknya melaju ke sebuah tempat bercahaya.

"Sekarang, Sivan ikut Mama, ya? Mama nggak akan pernah membiarkan Sivan terluka." Sivan tak menolak. Tak punya tenaga untuk melawan. Pelukan dan genggaman tangan Sinta terasa begitu nyata. Mengipnotis seluruh tubuh Sivan untuk mengikutinya.

Sivan merasakan kembali perasaan cinta Mama yang telah lama tidak ia dapatkan. Ia berharap ketika bangun, mimpi ini menjadi kenyataan. Sivan ingin kembali ke masa lalu sebelum Sinta terbunuh. Ia ingin lebih keras merengek. Ia akan melakukan segala cara nakal agar Evan membatalkan kepergiannya ke Singapura. Dengan begitu, Sivan tidak akan terlambat menyelamatkan Sinta.

"Sivan!!!" Teriakan menggema keras dari jauh, menghentikan perjalanan Sinta membawa Sivan bersamanya. Mereka sudah beberapa langkah berjalan meninggalkan bibir pantai menuju ke sebuah tempat bercahaya. Evan berlari kencang menyusul Sivan. Ia harus menyelamatkan putranya. Sinta benar-benar tidak main-main dengan ancamannya.

"Ayah?"

"Sivan! Jangan ikut Mama!" Evan tersandung dan terjatuh. Putranya tidak tega melihat tubuh Evan meringkuk mencoba melepaskan genggamannya dari telapak tangan Sinta.

Sinta tidak melepaskan Sivan. Ia menarik lengan Sivan, membuat putranya berlari dengan gerakan tidak siap. Evan semakin menggila, ia berdiri tanpa memperdulikan kakinya yang berdarah terkena kerang tajam.

"Sinta berhenti!!!"

"Jangan bawa Sivan pergi!"

"Sivan! Sivan! Sivan!" Punggung kurus Sivan semakin menjauh. Kabut putih turun mengakhiri pertemuan mimpi mereka.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang