Hal pertama yang Sivan rasakan ketika siuman adalah elusan lembut yang tercipta dari telapak tangan Haris. Netra yang masih berkabut berusaha mencari seseorang. Ingatannya menuntun pada sosok wajah samar yang sempat mengunjunginya di ruangan khusus sebelum operasi. Namun, tubuh yang masih lemah memaksa Sivan menutup mata kembali.
Tiga hari berlalu pilu. Satu-satunya berita menggembirakan tiba pukul lima sore. Sivan diperbolehkan pulang. Hanya Juno dan Anita yang diizinkan Haris ikut menjemputnya. Juno memotret Sivan diam-diam untuk dikirimkan ke WA Evan. Sementara Anita memberanikan diri merekam video singkat aktivitas Sivan duduk di kursi roda. Sumsum tulang belakang Evan memberikan harapan hidup kedua untuk sang putra. Saat melihat foto dan menonton video Sivan di ruang tamu villa, Evan membiarkan air matanya mengalir bergitu saja.
"Perjuangan kita berhasil, Van. Nyawa Sivan bisa diselamatkan," ucap Janu memulai elusan pertamanya pada pundak sebelah kanan sang sahabat. Evan mengangguk lantas mengelap beberapa bekas air mata yang sempat jatuh. Beton ikut menangis di sudut dapur. Joe tak kuasa menenangkan, karena ia juga menahan air matanya sendiri.
"Kita harus melakukan sesuatu. Tapi, apa?" Beton berucap di sela-sela tangisan. "Kita sudah kalah, Joe."
Joe memangku gitarnya, memetik senar sembarangan. Menciptakan nada sedih yang menjalar. Beton mempercepat elusan di pipinya. Lagu yang Joe mainkan membuat isakannya berantakan. Joe memainkan lagu yang beberapa bulan ini naik daun di masyarakat.
Ada satu hal yang tak bisa di hindarkan
Walau hati tak rela untuk menangis
Semua takan ada yang kekalKau buat sirna sudahlah
Harapanku hidup bersamamu
Dulu dirimu diriku
Kita menyatu tak lepas oleh waktuAda janji yang pernah kita utarakan
Dulu tak ingin ingkar tak ingin hilang
Semua takan ada yang kekalKau buat sirna sudahlah
Harapanku hidup bersamamu
Dulu dirimu diriku
Kita menyatu tak lepas oleh waktuJoe mengakhiri lagu dengan satu kalimat panjang. "Semoga semangat Bos Evan tak usai bergitu saja. Semoga masih ada sisa semangat walau hanya satu jengkal."
Meskipun operasi berakhir lancar, Sivan tetap kehilangan minat untuk berbicara. Ia terlanjur nyaman menjadi Sivan pendiam yang kesepian duduk di atas kursi roda. Setiap hari, Juno setia menemani, menghiburnya tak henti-henti. Kali ini tidak membawakannya banyak mainan, jajanan sekolah, ataupun layang-layang. Juno memutar lagu kesukaan Sivan dan mendorong kursi rodanya memutari halaman rumah Haris yang luas. Mengajaknya berbicara terus menerus walau tak pernah ada jawaban di akhir percakapan.
"Sivan, bumbu dapur apa yang bisa ketawa?" Juno sengaja membiarkan diam menguasai halaman. Ia pun menghentikan perputaran roda kecil kursi yang membantu sahabatnya berjalan.
"Jahehehehehe ...."
"Hmm, belum mau ketawa, ya. Ya udah kita lanjut aja jalan-jalannya. Tenang aja aku sabar, kok, orangnya." Walau terdengar ceria, Juno tak mampu menyembunyikan rasa sedihnya. "Cepat sembuh, Siv. Om Evan butuh kamu," lirih Juno. Mata Sivan mengedip dua kali lebih cepat mendengar sahabatnya menyebut nama Evan.
Dokter Retnosari belum memberikan terapi trauma untuk Sivan karena kondisi fisik anak itu masih rentan. Beberapa kali Kakek membujuk dan memohon, namun dokter spesialis kejiwaan itu tetap patuh pada sumpahnya sebagai seorang psikiater. Ia pun telah berkoordinasi bersama beberapa dokter yang menangani operasi dan pengobatan penyakit Sivan. Sivan, satu-satunya pasien yang paling malang. Ia mengidap dua penyakit sekaligus di usia yang masih terbilang sangat muda.
Kantor Imigrasi Yogyakarta tampak lengang. Jumlah orang yang datang untuk membuat paspor lebih sedikit daripada kendaraan yang terpakir di depan. Para pegawai berpakaian rapi melayani dengan sabar dan tak henti menunjukkan gestur-gestur ramah. Haris mendapatkan nomor antrian tiga meskipun ia tiba di sana satu jam setelah kantor buka. Ini paspor pertama seumur hidupnya. Banyak persyaratan baru yang membuat kesabarannya memanas.
Usaha hari pertama membuat paspor hari itu berakhir buruk. Haris lupa membawa salah satu persyaratan penting yaitu akta kelahirannya. Pria itu tak menyangka kertas akta yang seingatnya telah menguning itu diperlukan untuk pembuatan paspor. Ia sempat menyembur petugas dengan kata-kata pedas, tetapi Renjana dengan sigap mampu mendinginkan kembali suasana. Ia membawa paksa Haris meninggalkan gedung dan mendudukkannya di kursi restoran terdekat.
"Kamu ini sudah tua, tapi emosimu masih kayak anak muda," ujar Renjana lalu mengangkat jari telunjuk untuk menarik perhatian salah satu pelayan. Haris terkejut sebentar karena postur kurus pelayan itu mirip seperti Sivan.
"Sambil kuliah, Dek?" sambut Renjana begitu pelayan itu memberikan daftar menu dengan sopan.
"Iya, Pak. Silakan dipilih menunya," tanpa ragu pelayan laki-laki itu menjawab.
"Kuliah di mana?" Renjana membolak-balik kertas daftar menu makanan. Ada nasi goreng dan berbagai macam jenis masakan ayam.
"UGM, Pak."
"Nggak capek apa kuliah sambil kerja?" Entah mengapa percakapan kedua pria beda usia itu mengusir kemarahan Haris seketika. Ia memandang wajah pemuda yang sabar menunggu Renjana memilih menu makanan. Tatapan mengintidasi Haris tak membuatnya merasa tidak nyaman. Ia sudah terbiasa menghadapi customer seperti Haris.
"Nggak, Pak. Saya butuh tambahan uang soalnya, hehehe," canda si pelayan. Renjana mengangguk mulai menulis pesanan mereka. Ia tak memberi kesempatan Haris untuk memilih. Renjana hafal betul makanan kesukaan kakaknya. Restoran ini sudah berdiri semenjak mereka remaja dan menjadi tempat makan favorit keluarganya. Restoran yang terkenal dengan masakan gudeg melegenda itu tak pernah meninggalkan Yogya. Tak ingin membuka cabang karena terlahir dan tumbuh besar di sana.
"Gudeg sama sambal bawang. Minumnya teh anget manis dan punyaku tawar. Selama tinggal di Jepang gula darahku sering naik, Kak. Hahahaha."
Haris membuang muka. Kedua tangan kekarnya setiap terlipat di depan dada. Kesombongan dan keangkungan Haris begitu terasa hanya dari cara duduknya.
"O ya, anakku sama Yuka sebentar lagi wisuda."
"Kamu masih ingat cara membuat akta kelahiran?" sahut Haris menggunakan topik berbeda.
"Bukannya akta kelahiran yang membuat orang tua kita dari lahir? Kamu ingin membuat akta untuk siapa?"
"Peraturan sekarang, kan, sudah banyak berubah. Aku cuma ingin tahu. Sebenarnya, akta kelahiranku hilang. Waktu aku mengungsi ke Jakarta saat merapi meletus tahun 2010 yang lalu. Aku lupa membawanya bersama dokumen-dokumen lain dan aku lupa meletakkannya di mana."
"Kenapa bisa terjadi dan kenapa kakak baru mengatakan semuanya sekarang?" kaget Renjana. Tidak habis pikir.
Haris melepas lipatan tangannya, pertanda gundah gulana mendatanginya. "Aku tak ingin merepotkan semua orang."
"Tak ingin merepotkan tapi kamu sendiri yang kerepotan sekarang, kan, jadinya? Bagaimana dokumen sepenting itu bisa kakak biarkan menghilang begitu saja!" Renjana mengambil gawainya bergegas mencari kontak seseorang. Wajahnya sengaja ia panikkan berlebihan.
"Biar aku tanyakan ke temanku. Dia pernah jadi pegawai di Dukcapil Sleman."
Yang dihubungi Renjana bukan teman sesungguhnya. Melainkan Janu yang sedang santai merokok di balkon villa. Selepas membalas panggilan pemilik villa dari bawah, ia mematikan getaran di saku celananya. Pesan dari Renjana mencopot batang rokok yang tersangkut di tengah-tengah bibirnya. Tanpa mematikannya Janu berlari menerobos pintu menuju Evan yang masih mematangkan semur telur di dapur.
Opa Renjana: [ Akta kakek Sivan hilang. Paspor belum jadi dibuat. Akan aku buat proses pembuatannya lama. Tolong beritahu Evan segera. ]
Lagu: Sirna
Oleh: Virzha
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...