11.

784 89 9
                                    

Panas matahari menusuk pori-pori kulit Evan, namun Sivan belum tertangkap kedua mata tajamnya. Pria tiga puluh enam tahun itu dihinggapi resah. Khawatir sang putra tidak berangkat ke sekolah. Untuk kesekian kalinya, pikiran Evan terus memproyeksi sikap keras Kakek merawat Sivan. Jangan-jangan Sivan kelelahan dan jatuh sakit karena terlalu tertekan. Sambil tetap menunggu, Evan membetulkan masker hitam yang menutupi separuh wajahnya.

"Bagaimana keputusannya?" Juno berlari kecil dari arah parkiran kala ia melihat Sivan melewati gerbang sekolah. Sivan tak menjawab apa-apa. Sedetik kemudian, jempol tangan kanannya ia lempar ke wajah Juno. Juno tersenyum lebar seperti Shinchan.

"Yes! Asyik!" girang Juno.

"Tapi, tetap ada syaratnya," potong Sivan.

"Syarat? Tunggu, nggak usah dijawab, Siv. Aku udah tahu jawabannya. Pulang tepat waktu sebelum malam, kan?"

"Yup. Dan, mengerjakan kuis pengetahuan militer sebelum tidur."

"Gila! Kok, kamu bisa tahan, sih, Siv. Kalau aku pasti udah depresi."

"Itu karena ...,"

"Karena?"

"Sivan!!!" Teriakan berat dari jauh membuat Sivan diikuti Juno kompak memutar kepala mencari sumber suara. Janu mendengar suara Evan dari dalam kantor TU, segera meminta izin keluar. Evan kerap bertindak nekad jika berhadapan dengan hal-hal paling berharga dalam hidupnya.

Sayang, bel masuk tiba-tiba menyala. Jarak Evan dengan Sivan lumayan jauh. Masih sekitar seratus meter. Mobil jeep Evan terparkir paling pojok lapangan upacara sekolah karena tidak ada parkir mobil yang tersisa. Sivan dan Juno bergegas menghampiri kelas. Melewati Janu yang berpacu sembari membetulkan kacamata hitamnya.

"Syukurlah kamu nggak lupa memakai masker. Tindakanmu tadi hampir saja membahayakan identitas kita!" omel Janu.

"Kamu belum pernah terpisah dari putra kandungmu selama sepuluh tahun. Kamu tidak tahu seperti apa rasanya menahan diri untuk tidak memanggil namanya."

"Lain kali izin kepadaku dulu kalau ingin berteriak seperti itu. Ingat aku asistenmu!"

"Sudah kembali saja ke sana. Urusi dokumen-dokumen membosankan itu, selesaikan secepatnya dan harus ada nama anakku di sana. Sivan Mahaputra, bukan Sivan yang lain."

"Nama Sivan Mahaputra tertulis di sana. Puas?!" Janu melempar satu bungkus rokok ke arah Evan. Evan berhasil menangkapnya sebelum mengenai dada. Ia lantas tersenyum penuh rasa terima kasih kepada sahabatnya.

Posisinya sebagai putra pebisnis handal yang cukup dikenal, membuat Evan bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan dengan mudah. Tetapi, ia kesulitan menjerat hati Sinta. Dulu Evan harus berjuang mati-matian mengejar Sinta. Sambil menyesap batang rokok pertamanya, Evan melihat suasana sekolah Sivan. Hawa tetap tenang, meskipun para murid sedang kepanasan mengerjakan soal ujian. Evan tercebur ke dalam kenangan masa sekolahnya.

"Belajar! Bukannya malah santai-santai merokok." Ah, Evan merindukan suara itu. Suara cempreng nan merdu Sinta ketika sebal. Saking cintanya, Evan tidak bisa melupakan suara istrinya.

"Aku terlahir dari keluarga berada. Tenang saja, otakku tercukupi nutrisinya," sombong Evan.

"Oya? Kita lihat aja nanti. Kalau nilaiku lebih tinggi dari nilaimu, kita putus!" ancam Sinta sungguh-sungguh.

"Oke."

"Kok, oke?"

"Aku tinggal berjuang dari awal lagi untuk mendapatkan kamu."

"Enak aja. Emangnya aku bakal semudah itu memberi kesempatan kedua buat kamu?"

"Harusnya."

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang