"Apa tidak ada relawan PMR di sini?" Pertanyaan Evan membuat Janu menerbitkan ekspresi terkejut.
"Dari kemarin aku mengumpulkan info tidak ada. Beberapa sekolah belum mengizinkan para murid untuk melakukan kegiatan PMR, karena sedang ujian kenaikan kelas," ucap Janu.
"Sedang ujian, ya? Berarti setelah ujian libur panjang, kan?" Janu menengok beringas ke arah Evan. Ia menduga-duga ide yang muncul di kepala Evan.
"Kamu masih ingat cara membuat proposal organisasi? Ayo kita aktifkan kembali kegiatan PMR." Dengan cara itu Evan yakin bisa bertemu dengan Sivan. Bekerja sama dengan organisasi PMR dan merekrut siswa-siswa dari sekolah Sivan. Kenapa Evan tidak memikirkannya sejak awal.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Percayakan dan serahkan semuanya kepadaku." Janu mengatakannya sambil menulis sesuatu dengan cepat di kertas buku catatannya. Itu akan menjadi sesuatu yang penting karena Janu menandainya dengan bolpoin tinta merah.
"Lakukan dan pastikan semuanya clear tanpa ada yang tahu identitas kita yang sebenarnya."
"Itu sudah keahlianku dari dulu." Janu ahli dalam mengumpulkan data dan juga perencana kegiatan handal. Ia wisudawan terbaik jurusan Manajemen yang sudah berpengalaman bertahun-tahun di segala bidang perencanaan. Ditambah lagi, Janu mempunyai sifat perfeksionis akut sehingga membuat semua yang dia lakukan hampir berakhir sempurna.
Evan sibuk dengan kegiatan relawan dan rencana untuk membawa pulang Sivan. Sivan sibuk dengan ujian akhir kenaikan kelas yang menyita waktu. Mereka berdua melupakan facebook untuk sementara. Sivan sudah membalas pesan facebook Evan. Sayang, giliran Evan yang tidak online di facebook selama beberapa hari. Sivan tidak terlalu mempermasalahkannya. Ia menganggap Orang Merapi adalah akun orang sibuk. Evan super sibuk mempersiapkan rencananya untuk bertemu kembali dengan Sivan.
Bahkan saat hari-hari ujian pun Kakek tetap memberikan latihan fisik untuk Sivan. Setelah pulang sekolah dengan cara berlari, Sivan diminta untuk push up, sit up, dan latihan fisik lain. Beruntung Sivan tetap diizinkan untuk melahap makan siangnya lebih dulu. Setelah semua latihan fisik selesai, barulah Sivan melanjutkan belajar untuk ujian hari esok. Tiga hari sekali Sivan akan latihan fisik berenang. Seminggu sekali Sivan akan dibawa Kakek ke sebuah tempat latihan menembak.
Sivan tentu saja lelah. Lelah badan dan yang paling lelah adalah mental. Sivan masih tidak berani untuk membicarakan ketidakinginannya menjadi prajurit tentara kepada Kakek. Membayangkannya saja Sivan langsung merasa sangat sedih. Ia tidak ingin membuat Kakek kecewa untuk kedua kali. Sinta tidak jadi menjadi tentara dan sudah pasti dulu Kakek sangat kecewa. Sivan ingin membuat Kakek bangga karena telah merawatnya.
Jari jempol Sivan membuka layar gawai yang baru saja membunyikan notifikasi. Juno selalu tahu dan paham kondisi Sivan. Ia mengirim pesan kepada Sivan tepat di saat semua tenaga Sivan terkuras.
"Sudah selesai latihan fisiknya?"
Kalimat seperti pertanyaan biasa. Namun, pesan dari Juno selalu Sivan nantikan. Juno adalah tempatnya berkeluh kesah selain pangkuan Nenek. Sivan sering menumpahkan emosinya yang sebenarnya kepada Juno. Termasuk perasaan keterpaksaannya menerima latihan fisik Kakek. Juno sudah tahu impian Sivan yang sebenarnya dan sebagai sahabat satu-satunya Sivan, Juno bertekad akan mendukung Sivan meraih impiannya.
"Sudah. Barusan. Sekarang aku rebahan di tempat tidur. Rasanya lemas. Malas buat ngapa-ngapain."
"Kamu nggak akan pingsan lagi kayak kemarin, kan, Siv?"
"Nggaklah. Asal nggak mendengar suara keras, melihat darah, dan kekerasan aku oke, No."
"Oke, sip. Kalau kamu balas pakai kata oke, berarti kamu memang benar-benar oke."
"Haha, bisa aja."
"Btw, kamu udah buka grup WA kelas belum?"
"Belum. Kenapa? Aku nggak buka grup chat WA kelas dari siang."
"Bahlul! Jangan malas buka grup WA. Nanti kalau ada info-info penting bagaimana!"
"Iya bentar, aku buka dulu. Tungguin jangan off."
"Siap."
Juno memberikan beberapa menit kepada Sivan membaca pesan grup WA.
"Udah aku baca. Pendaftaran relawan PMR, kan?"
"Yup. Ayo ikut. Kita manfaatin masa liburan kenaikan kelas terakhir kita di sana. Pasti asyik buat menambah pengalaman."
"Nggak mau."
"Kenapa nggak mau? Jawab jujur."
"Liburan kenaikan kelas itu berarti kenaikan buat durasi latihan fisikku. Kakek pasti nggak akan mengizinkan aku ikut relawan PMR, No."
"Aha!"
"Atta Halilintar?"
"Bukan. Toyor online, nih! Aku punya ide."
"Ide apaan?"
"Besok aku kasih tahu ke kamu di sekolah. Sekarang kamu istirahat, awas kalau terakhir dilihatnya dimatikan."
"Ya. Nggak pernah aku matiin, kok."
"Good boy. Tidur yang nyenyak. See yaa besok di sekolah."
"Ok." Perbincangan chat WA berakhir damai.
Seusai menamatkan ujian mata pelajaran terakhir, Janu benar-benar menepati janjinya. Menjelaskan ide briliannya kepada Sivan di sebuah kedai minuman boba. Sambil menyeruput segelas boba berukuran large, Janu berkata dia telah mendaftarkan diri menjadi ketua relawan PMR sekolah. Ia meminta Sivan untuk bergabung menjadi anggota PMR karena diminta sekolah. Dengan alasan seperti itu, Sivan pasti diizinkan Kakek untuk keluar rumah. Sivan akan terbebas dari latihan fisik berat Kakek.
"Nggak mau, No. Itu sama aja berbohong. Aku membaca, syarat untuk menjadi relawan PMR harus kemauan sendiri."
"Berbohong untuk kesehatan sekali-kali nggak apa-apa, Siv. Kamu lupa liburan kemarin nggak bisa bangun karena demam tinggi dan kelelahan hebat gara-gara latihan fisik yang Kakek kamu berikan? Aku nggak akan membiarkan kamu sakit keras seperti kemarin lagi, Siv!" Juno mengatakan itu sembari teringat kembali kejadian Sivan sakit di rumah sakit. Sivan mengalami kelelahan hebat sampai harus bedrest total selama dua minggu di rumah. Selama itu pula, Juno dengan setia menjenguk Sivan setiap hari.
"Tapi, aku takut Kakek akan tahu alasan sebenarnya aku masuk relawan PMR. Kakek pasti kecewa sekali, No."
"Itu nggak akan terjadi. Karena aku udah mengajukan diri untuk menjadi ketuanya. Aku pasti menjadi ketua relawan PMR, Siv. Kamu percaya saja kepadaku. Semua kegiatan anggota akan menjadi tanggung jawabku. Aku berani menjamin. Kamu tenang saja," yakin Juno.
"Beri aku waktu beberapa hari untuk berpikir, ya. Please ...." Sivan meminta sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Oke. Aku beri kamu waktu berpikir sampai pengumuman nilai ujian selesai."
"Deal."
Sivan buru-buru menghabiskan minumannya sendiri karena sinar matahari semakin berkurang. Ia lantas berpisah dengan Juno di luar kedai. Juno langsung mengebutkan sepeda motornya ke arah utara, sementara Sivan berjalan pelan juga ke arah utara. Beberapa langkah kemudian jalan Sivan semakin cepat. Hingga akhirnya, kedua kakinya berlari kencang. Di belakang Sivan, mobil sedan hitam Beton menyalip Sivan dengan perlahan. Mereka tidak sabar ingin segera memberikan info dari kedai boba kepada Evan.
"Sepertinya, akan sering ada makanan enak satu meja beberapa hari ke depan," kata Beton sambil melihat tubuh berlari Sivan yang semakin mengecil melalui kaca spion mobil. Tetap fokus mengemudi, Joe ikut mengangguk ringan. Menyetujui perkataan Beton.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...