Dari yang semula bernama Toko Bunga dan Tanaman Sinta, berganti menjadi Sinta Florist. Dari tiga puluh jenis bunga dan tanaman, kini yang tersisa hanya tinggal lima macam bunga. Berbagai macam promo Sivan dan Juno kerahkan, namun grafik keuntungan penjualan tidak juga mengalami kenaikan. Sebagai mantan mahasiswa idealis jurusan manajemen di universitas teladan, Janu tidak pernah kehabisan masukan untuk dua remaja yang baru beranjak dewasa. Tak lupa ia pun memberikan Evan petuah, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan toko tanaman dan bunga Sinta mengalami kebangkrutan adalah jam buka mereka yang hanya per hari empat jam.
Sivan dan Juno sepakat meminta penambahan jam kerja, namun Evan tentu saja menolak mentah-mentah. Apalagi mereka mengelola toko sambil berkuliah. Evan tak pernah absen mengkhawatirkan kesehatan anak laki-laki satu-satunya. Sementara Evan tidak memberikan izin penambahan jam kerja, Sivan juga tidak ingin ayahnya mencarikan karyawan toko untuk meringankan beban kerja. Akhirnya, mereka sempat perang dingin berdua. Tidak saling menyapa dan hal itu hampir membuat Evan gila. Mereka baru dua tahun dipertemukan dan harus berperang karena meributkan sebuah toko bunga yang bahkan keberadaannya belum lama ada.
"Kalian di mana?" Evan menaruh gelas berisi kopi hitam yang lima belas menit lalu ia pegang dengan erat. "Kami masih di toko. Kenapa, Om?" Suara berat nan nyaring terdengar dari lubang suara ponsel yang ia dekatkan ke telinga.
"Sivan sedang apa di sana? Tolong fotokan," lanjut Evan. Ia benar-benar tidak sabar untuk menghentikan perang dinginnya bersama Sivan. Janu terlanjur trauma dengan semua kejadian demi kejadian yang mereka alami di Gunung Merapi dan sedang tidak mau menawari bantuan apa-apa. Alhasil, Evan mengandalkan informasi dari Juno untuk memantau aktivitas Sivan ketika bekerja. Omong-omong, Juno belum juga memanggil Janu ayah.
"Masih perang?" Kali ini suara nyaring berubah menjadi suara nyaring yang mengandung irama mengejek. Evan tidak memperdulikan hal itu. Ia hanya ingin mendengar jawaban panjang Juno tentang kegiatan Sivan.
"Pertanyaan keduaku belum dijawab," tegas Evan. Alisnya menukik tajam.
"Aku jadi ingat. Bapak ibu angkatku dari kecil pernah bilang, yang tua harus mengalah sama yang muda. Om, kan, ayahnya Sivan dan sangat tua dibandingkan Sivan. Kenapa Om nggak yang mengalah saja?"
Evan terpaku sejenak meresapi perkataan Juno.
"Seharian ini aku lihat Sivan mengecek WA-nya berulang kali. Padahal tidak pernah ada pesan baru yang masuk kecuali dari Om Evan, aku, Om Janu, dan grup perkuliahan. Dia pasti menunggu WA dari Om Evan. Butuh waktu sewindu lebih untuk kalian berjumpa. Jangan sampai kalian menyesal kalau terjadi apa-apa."
"Aku tidak ingin mengambil risiko. Kesehatan Sivan .... "
"Om mengira selama ini aku membiarkan Sivan mengangkat barang-barang berat? Selama bekerja di toko, Sivan nggak pernah aku biarkan mengangkat benda berat apapun. Aku juga sama khawatirnya dengan Om Evan. Sivan hanya minta tambahan waktu kerja satu jam."
"Akan aku pikirkan. Katakan padannya untuk ke ruanganku kalau sudah sampai rumah."
"Sivan!!!"
"Kenapa? Juno, ada apa?" Evan bangkit dari kursi dengan panik.
"Kamu nggak apa-apa, Siv? Sudah aku bilang jangan bawa kardus ini. Sini biar aku saja ..."
Omongan Juno langsung terbukti. Evan menahan napas. Mencoba mendengarkan percakapan di dalam telepon yang masih terdengar. Ia berharap bisa mendapatkan suara Sivan. Meskipun itu hanya sebuah lirihan. Yang terdengar terus menerus adalah gelegar suara Juno yang penuh kekhawatiran. Untung saja kejadian menegangkan itu terjadi tak begitu lama. Evan sudah membayangkan hal-hal mengerikan terjadi pada Sivan. Ia bersumpah tidak ingin itu menjadi kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...