Penutupan relawan PMR bertabur haru. Anggota relawan PMR perempuan tidak ada yang tidak menangis. Mereka bergantian dipeluk pengungsi anak-anak yang tidak terima tugas mereka selesai. Anggota relawan PMR laki-laki membenturkan telapak mereka kepada anak laki-laki sambil mengatakan kalimat perpisahan yang cukup menyayat hati. Dua minggu lebih sedikit para relawan PMR bertugas. Banyak pengalaman berharga yang mereka dapatkan. Sekecil apa pun jasa mereka akan terkenang selamanya di hati para pengungsi.
Juno mendapat pelukan dari seorang anak laki-laki paling ceria di barak pengungsian. Tentu saja Beni. Selama mengungsi, ia sering menyapa Juno dan Sivan. Anak itu jugalah yang berlari panik mencari Evan, ketika Sivan pingsan melihat topeng badut milik psikolog relawan. Beni memberikan layang-layang sobek berwarna biru miliknya sebagai kenang-kenangan untuk Juno. Juno tidak mau menerima. Bukan karena kondisi fisik layang-layang. Namun, bocah itu bilang, layang-layang itu adalah layangan pertama miliknya sejak lahir ke dunia.
"Nggak usah dikasih ke kakak. Layang-layang itu kamu simpan aja," kata Juno dengan ramah.
"Kalau Kak Juno nggak mau, kasih aja layang-layangku untuk Kak Sivan. Kak Sivan pasti suka. Titip salam untuk Kak Sivan, ya, Kak," riang Beni. Juno mendekap tubuh mungil bocah laki-laki. Mengumpulkan niat untuk memberikan layang-layang sobek itu untuk Sivan. Sivan tidak mungkin akan menolaknya.
"Makasih. Doain Kak Sivan cepat sembuh, ya." Beni membenturkan kepalanya berkali-kali di perut Juno.
Bukan bau parfum menyengat lagi yang membangunkan Sivan. Kelopak sayunya terbuka lebar karena bau masakan yang begitu lezat. Cacing-cacing di dalam perut Sivan turut bangun. Tanpa disuruh membunyikan alarm penanda lapar yang menderu. Membuatnya segera menyibakkan selimut. Ia mengambil gawai yang masih mengisi daya baterai di meja samping tempat tidur. Tidak ada nama Kakek di dalam layar. Tidak ada pesan Kakek di menu perpesanan. Sivan semakin yakin, Kakek benar-benar marah besar kepadanya.
"Semoga Nenek baik-baik saja," batin Sivan sembari memulai langkah pertama berjalan ke luar ruangan. Ini kedua kalinya Sivan menghabiskan malam panjang di sebuah villa.
Desain villa Evan menakjubkan Sivan. Dari luar tampak seperti rumah modern zaman sekarang. Kondisi di dalam sangat berbeda. Jarang ada perabotan modern yang ngetren, kecuali televisi, AC, dan kulkas. Vas-vas antik berbaris cantik di masing-masing pintu dan sudut rumah. Bak pramugari betubuh seksi yang berpakaian rapi. Seolah-olah menjelma menjadi penyambut tamu. Bunga-bunga teratai sintetis mengisi vas-vas antik. Sivan memegang salah satu, tidak sengaja melihat label harga menempel di daun.
Bau harum nan lezat menuntun Sivan sampai di ruangan berpintu kain dipenuhi motif batik naga. Bayangan seseorang sedang memasak meliuk-liuk aneh di atas lantai keramik. Gerakannya memasak terlihat sangat tidak normal di mata Sivan. Seperti orang panik yang mendapatkan serangan. Sivan memberanikan diri membuka tirai pintu dapur.
"Om Ivan masak apa?"
Prang! Sivan yang tiba-tiba bersuara, membuat Evan reflek membuang spatulanya. Evan pikir Sivan masih lemas dan tidak akan kuat berjalan sampai di tempat dirinya berada. Tubuh Sivan terjun ke lantai keramik untuk menyelamatkan spatula. Ia memberikan kembali spatula itu kepada Evan sembari meminta maaf telah mengagetkannya. Evan merasa bersyukur menaati semua perkataan Janu. Selalu memakai masker hitamnya. Putranya sering muncul secara tiba-tiba tanpa memberikan tanda-tanda.
"Wah, semur telur. Baunya harum sekali, Om," puji Sivan. Mata bulan sabitnya bercahaya menatap enam butir telur di dalam wajan. Evan sengaja membuatkan putranya semur telur. Semur telur dengan banyak sekali tambahan kecap. Warnanya hampir segelap langit senja. Dulu, saat Sivan sakit, Sinta selalu memasakannya untuk Sivan. Ajaib, keadaan Sivan berangsur membaik setelah memakannya. Evan berharap semur telur buatannya seenak buatan Sinta. Semoga saja iya.
"Pantas aja setiap makan siang di pengungsian, semur telur kamu selalu habis," canda Evan. Kini ia tambah semangat membolak-balik telurnya di dalam wajan ditemani Sivan. Sivan menggaruk kepala merasa malu. Evan mengambil piring putih polos dari atas lemari untuk menaruh semur telur yang sebagian telah matang sempurna. Ia tertawa singkat menyadari wajah berkeringat Sivan kelihatan menahan lapar.
"Ambil sesuka kamu. Habiskan saja semuanya," ucap Evan. Mereka sama-sama berpindah tempat. Duduk tegak dan saling berhadapan di meja makan. Evan di seberang Sivan. Ia ingin memuaskan diri melihat wajah putra kesayangan yang sudah sepuluh tahun tak pernah dilihatnya secara langsung. Wajah menahan lapar Sivan mirip seperti Sinta ketika merengek meminta dibelikan jajan. Tidak tahan menahan kerinduan, Evan menggaruk rambut Sivan.
"Nggak mau semuanya, Om. Nanti berat badanku bisa naik."
"Justru malah bagus, kan." Evan menyadari tubuh Sivan semakin kurus.
"Bagus apanya, Om?"
"Hahaha, lupakan-lupakan."
"Om Janu, Om Joe, dan Om Beton belum pulang, Om?" tanya Sivan, mulai membelah satu buah telur menjadi dua bagian. Memisahkannya di sisi piring yang berbeda.
"Belum. Tadi siang Gunung Merapi erupsi lagi."
"Semakin sering, ya, erupsinya. Aku jadi khawatir ...." Sivan tersedak. Satu sendok nasi bercampur semur telur menyentuh indera pengecapnya. Lidah Sivan mengecap keanehan rasa yang berasal dari semur telur. Ia menaruh semuanya di atas piring. Tidak jadi menelannya. Melihat putranya seperti menahan sakit, Evan bergegas mengambil segelas air putih. Ia duduk di samping Sivan, menuntunnya meminum air. Pria itu luar biasa panik.
"Ke-kenapa? Ada yang salah sama rasanya?" Evan bertanya sekaligus khawatir.
"Maaf, Om. Rasanya asin sekali." Sivan memilih jujur. Terlalu kaget dengan rasa masakan buatan Evan, membuat tangannya lemas untuk sekadar mengangkat gelas pemberian Evan. Evan membantu Sivan menghabiskan air sampai tandas. Yang terjadi setelah semua air di dalam gelas habis mengagetkan Evan. Pipi membiru Sivan basah.
"Jangan menangis. Maaf, rasanya asin sekali, ya?"
Sivan menggeleng. Dengan cepat mencengkeram kedua lengan Evan. Evan menatap dalam wajah penuh aliran air mata putranya. Ia ingin segera memberikan pelukan. Sivan menunduk untuk mengumpulkan kekuatan. Ia mengambil udara banyak-banyak untuk mengumpulkan keberanian.
"Om Ivan, maaf, aku bakal ngerepotin lagi. Boleh aku minta tolong?"
"Minta tolong apa?"
"Kalau erupsi Gunung Merapi sudah selesai, aku ingin ikut ke Jakarta. Tolong bantu aku ke Jakarta, Om." Sivan mengeratkan kesepuluh jermarinya di lengan Evan. Menahan kedipan Evan terus mendengarkan.
"Aku ingin menyusul ayah. Aku udah nggak kuat. Aku butuh ayahku, Om." Napas Sivan tersendat. Impian terbesarnya selama ini ia keluarkan. Ingin sekali Evan berteriak dan membongkar identitasnya sekarang. Satu tarikan napas berat menghentikan tangisan Sivan. Ia tidak bisa melihat vas antik lagi di pintu dapur. Semuanya berubah gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...