Tidak mudah mengalihkan perhatian Sivan. Terhitung lima kali Juno mengganti topik obrolan. Harus berapa kali lagi usahanya gagal? Diawali kompetisi menebak-nebak cuaca, membayangkan bagaimana rasanya perjalanan liburan jika ditempuh dengan cara berjalan, ingin jajan oleh-oleh apa saja di sana, apa kegiatan pertama kali begitu sampai penginapan, dan mitos-mitos berhantu tempat wisata. Juno sangat percaya diri sebab punya bakat alami mengelabuhi. Topik keenam ia lekaskan. Membahas kasus-kasus viral di media sosial.
Lagi dan lagi hanya sekelebat jawaban. Atensi Sivan terlanjur melekat pada situasi jalan. Sangat erat bagaikan ditarik magnet tak kasat mata. Baru mulai perjalanan darat, tapi alat bicara Sivan sudah tersetel ke mode pesawat. Dahi Sivan miringkan menghadap sisi kiri. Gawat, pemandangan di luar kaca sebelah kiri membawa ancaman besar. Sekitar beberapa gang lagi mobil yang dikendarai Evan akan berpapasan rumah industrial cantik berwarna putih. Istana milik Sinta. Rumah lama Evan. Lokasi utama tragedi mengerikan yang menghancurkan rumah tangganya.
Jalan itu terpaksa Evan lalui untuk menghindari kemacetan parah. Dan tentu saja ia dicekik aura mencekam yang telah menyerang Juno duluan. Sebelum memutuskan tetap menggunakannya, Evan telah berkali-kali mencari jalan alternatif lain terdekat menuju bandara. Satu-satunya jalan di aplikasi penunjuk arah tidak berwarna merah adalah jalan searah dengan rumah Sinta. Evan dirundung kepasrahan. Dua ratus meter lagi roda mobil menyapa plang nomor rumah. Ia mengencangkan doa.
"Siv, kamu tahu Leak Bali?" Cubitan bertenaga kecil terpaksa Juno kerahkan agar Sivan membalik pandang ke kaca depan.
"Aduh .... Sakit, No!" umpat Sivan otomatis memegang bekas penganiayaan. Hati Juno berdansa gembira. Dadanya melepas tekanan karena Sivan berubah haluan ke sisi kanan. Kalau Sivan ingin melangsungkan balas dendam, maka Juno siap saat itu juga. Evan melirik sekilas ketidaknyamanan anaknya menepuk-nepuk lengan menghilangkan sensasi cubitan.
"Sakit banget, ya?" Pertanyaan Evan adalah bantuan berharga bagi Juno. Ditambah, pria itu langsung menaikkan angka kecepatan mobil. Mumpung Sivan terjerat jebakan sahabatnya, Evan memanfaatkan momen itu dengan baik.
"Iya. Kayak digigit semut segede gaban," ungkap Sivan.
"Emang ada semut segede gaban?" bantah Juno. Pria lain di samping Juno tidak hanya diam mematung. Muncul lampu ide besar di atas kepala Janu. Buru-buru berselancar di internet mengumpulkan informasi Leak sembari merasakan Juno menyikut-nyikut perutnya. Mengirimkan pesan isyarat berisikan fakta bahwa pengetahuan Juno tentang Leak nol besar.
"Sivan, lihat sini bentar." Janu mengeluarkan senjatanya. Ketegangan Evan dan Juno turun satu tingkat dari puncak. Bahu mereka melesak ke sandaran kursi masing-masing.
"Kenapa, Om?" tanya Sivan menatap lawan bicara penuh perhatian. Janu cepat-cepat menyodorkan gambar Leak Bali di layar gawai. Kepanikan mencabiknya beberapa detik mendapati Sivan sama sekali tidak bereaksi.
"Hiii, lihat. Seram banget, kan? Hiii." Umpan kedua Janu lempar. Ia menyipit dan pura-pura bergidik.
"Lumayan." Respon Sivan datar dan tenang. Terkesan biasa saja.
"Lumayan-lumayan gayamu, Siv. Awas aja kalau ketemu yang asli nangis, nggak bakal aku tolongin," sewot Juno. Tidak kentara kalau itu dibuat-buat.
"Nggak apa-apa. Sudah ada Ayah."
"Dih, pakai kartu As."
"Ehem." Janu tidak terima keberadaannya diacuhkan. Ia menyikut pemuda di sampingnya. "Apa? Om mau minta dipanggil Ayah juga?"
"Om Janu sudah jadi ayah kamu dari lama."
"Thanks, Siv. Omelin aja terus anaknya biar cepat sadar," balas Janu menggerak-gerakkan ibu jari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...