Detik demi detik belalu mengerikan. Kilatan-kilatan tragedi penembakan Sinta menggempur fokus Evan. Ia tidak menyahuti semua kalimat tenang yang coba Joe dan Beton salurkan. Juno syok, tak bisa mengatakan apa-apa. Memilih mendoakan Sivan di pojok tenda.
Evan tidak melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh seperti yang ia lakukan di klinik beberapa minggu lalu. Karena yang paling penting sekarang mengawasi keadaan Sivan. Perkataan Juno terbukti benar. Sivan diserang sesak napas. Kondisi Sivan sama mengerikannya ketika ia ditangani Anita. Bahkan mungkin lebih parah, karena disertai demam tinggi. Evan memegang terus tangan putranya.
Seorang dokter pria yang menangani Sivan menegur Evan. Menyuruhnya untuk keluar sebentar dari tenda. Evan membalas dengan bentakan keras dan tetap tidak akan melepaskan tangan Sivan.
Sengatan matahari yang panas, tidak mengurangi kecepatan Janu bercerita. Ia terpaksa membeberkan semuanya kepada Anita. Tentang latar belakang Evan, tentang organisasi relawan ilegal yang didirikan Mahaputra Group, bahkan tentang tragedi yang menghilangkan nyawa Sinta dan membuat Evan berpisah dengan Sivan. Anita tak kuasa menahan air mata. Janu menutup cerita dengan perpisahan penuh haru Evan dan Sivan sepuluh tahun yang lalu. Dokter itu tidak menyangka mereka bisa sekuat itu.
"Ya Tuhan ... semuanya bukan salah Pak Evan. Sivan pasti pasti sangat terluka," isak Anita. Janu mengiyakan sekaligus kaget dengan respon Anita. Ia tak menyangka Anita cepat mempercayai semua yang ia katakan.
"Saya mohon pengertiannya, Dok. Teman saya sudah sepuluh tahun berjuang keras sampai hari ini. Demi bisa bertemu dan memeluk putranya kembali. Mari kita sama-sama menjaga rahasia ini."
"Aku mengerti. Percaya kepadaku. Aku tidak akan membongkar rahasia kalian. Dan, izinkan aku berada di pihak kalian."
"Terima kasih, Dokter." Janu membungkukkan badan. Anita mengangguk sambil menghapus kedua pipinya yang telah basah.
Tanpa mereka ketahui, di balik dinding barak, sepasang kaki menjatuhkan lututnya. Juno perpegangan pada tembok agar tubuhnya tidak roboh menghantam tanah. Sebelah tangannya membawa satu liter botol air mineral melemas. Ia melepaskannya begitu saja. Botol air mineral itu berguling sebanyak tiga kali sampai di rerumputan yang dipenuhi batu.
Meskipun kedua kakinya kaku karena syok, ia tetap bisa mempertahankan pandangan ke depan. Juno tidak ingin langsung memercayai apa saja yang keluar dari mulut Janu. Namun, sejak awal perkenalan, ia selalu mempercayai semua omongan pria itu.
"Om Ivan ... ayah Sivan?"
Tirai tenda kesehatan dibuka kembali oleh Janu. Membawa dua botol air mineral, Janu duduk di sebelah kursi Evan. Ia melihat telapak tangan Evan masih menggenggam erat lengan Sivan. Keadaan Sivan sudah lebih tenang. Namun, masih menggunakan selang bantuan untuk pernapasan. Janu menyenggol punggung Evan menggunakan botol air mineral. Sahabat terbaiknya tidak merespon apa-apa. Ia lantas membuka botol airnya sendiri dan menghabiskannya setengah.
Dokter relawan laki-laki yang menangani Sivan menjelaskan, Sivan mengalami demam tinggi dan tekanan darahnya sangat rendah. Ia tidak membahas apapun tentang trauma Sivan. Evan sudah bisa lega menghirup udara. Janu mengambil kertas laporan dan menggunakannya untuk mengipasi wajah Sivan. Melihat Janu melakukan itu, Evan melepas genggamannya. Beralih memijit ringan telapak tangan Sivan.
"Kata Juno, Sivan pingsan karena melihat topeng badut. Selain takut rumah sakit, ternyata anakku takut topeng badut," ungkap Evan. Janu mengangguk sambil terus menggerakkan kertas laporannya ke atas dan ke bawah.
"Kamu tidak tertawa?"
"Kenapa aku harus tertawa?" sahut Janu. Ia tak terima Evan menanyakan itu.
"Aku pikir kamu akan menertawai anakku karena takut topeng badut."
"Phobia bukan sesuatu yang patut untuk ditertawakan, Van. Aku punya phobia juga, jadi tahu rasanya bagaimana."
"Aku lupa kamu punya phobia perempuan."
"Aku nggak akan pernah mau menertawai phobia seseorang. Apalagi orang itu adalah putra sahabatku." Evan terenyuh dengan pernyataan Janu.
"Tumben nggak berkata najis."
"Tidak, karena ada anakku di ucapanmu."
Janu ingin menceritakan pertemuannya dengan Anita di belakang barak pengungsian. Ia tidak sempat mengatakannya karena tidak sengaja melihat pergerakan kecil di kedua mata terpejam Sivan. Angin yang dihasilkan dari kipasan kertas laporan Janu benar-benar berhasil membangunkan putra sahabatnya. Janu menghentikan gerakan mengipas, sementara Evan kembali menggenggam erat jari-jari tangan sang putra.
"Sivan, apa yang kamu rasakan sekarang? Masih ada yang sakit?" Janu menjadi penanya pertama sekaligus memberondong dengan dua pertanyaan. Evan terlihat sangat fokus menatap mata anaknya. Sivan berusaha menggumpulkan kesadaran. Kedipan matanya terlihat lemah.
"Apa yang terjadi, Om?"
"Kamu pingsan," jawab Evan. Ia menyenggol pundak Janu agar tidak menuturkan alasannya, takut membuat Sivan kembali ketakutan. Tanpa disuruh pun Janu enggan mengatakannya. Ia tidak mau menyinggung perasaan Sivan. Khawatir apabila membuat remaja itu tidak berani menatapnya lagi karena malu. Akhirnya, Janu mendaratkan tepukan di kepala Sivan dan memberikan waktu ayah anak itu untuk kembali berbincang empat mata.
"Yang aku ingat. Tadi, aku menemani anak-anak trauma healing dan tiba-tiba ada relawan psikolog mengeluarkan topeng ...."
Evan segera menghentikan perkataan Sivan. "Tidak perlu diingat. Sekarang kamu fokus sama kondisi kamu. Kamu mau apa? Biar om ambilkan," potong Evan. Pertanyaan Evan menerbitkan senyum di bibir pucat Sivan.
"Om tahu caranya menyembuhkan phobia nggak?" Evan menggeleng dengan kedua mata yang terbuka lebar karena penasaran.
"Aku punya phobia, Om. Aku takut sekali sama semua jenis topeng, terutama topeng badut."
"Kok bisa takut sama topeng badut?"
"Om nggak tertawa?"
"Phobia bukan sesuatu yang pantas ditertawakan." Dengan bangga Evan mengutip kalimat Janu beberapa saat yang lalu. Mendengar itu, senyum di bibir pucat Sivan kian panjang.
"Aku pernah mengalami kejadian mengerikan berhubungan dengan topeng badut, Om. Dulu, waktu aku ulang tahun, rumahku didatangi perampok. Salah satu dari mereka memakai topeng badut. Ibuku ditembak. Ibu nggak pernah bangun lagi ...." Sivan terdengar mengambil napas berat. Evan memajukan kursi duduknya.
"Nggak apa-apa. Aku emang sering panik sendiri kayak gini. Nanti kalau udah istirahat lama-lama pulih sendiri."
"Gara-gara itu kamu pasti trauma berat."
"Sejak saat itu aku takut sama semua jenis topeng, Om. Tapi, nggak hanya topeng badut. Aku juga takut mendengar suara keras, melihat kekerasan, darah, bahkan suasana rumah sakit. Semua itu selalu membuatku teringat Mama."
"Jangan dilanjutkan. Istirahat saja. Om akan menemani kamu di sini."
"Om kembali saja ke lapangan. Sudah ada petugas medis berjaga di depan tenda."
Evan tidak mau menuruti. Ia kembali memegang lengan Sivan. Melanjutkan pijitan agar anak itu kembali terlelap. Semalam, Sivan mengerjakan kuis pengetahuan militer cukup banyak demi menyelesaikan bank soal kemiliteran dari beberapa buku sekolah tentara yang dibelikan Haris. Dilanjutkan kepanikan mencari kertas foto lusuhnya bersama Evan. Sivan baru bisa tidur pukul satu malam karena kelelahan mencarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...