Jutaan baris rintik hujan sepenuhnya menghilang. Para pengungsi dan relawan satu per satu keluar dari tempat persembunyian untuk menyerap energi dari cahaya matahari. Mereka semua tak ada yang memakai pakaian tipis. Sedari malam barak pengungsian dikuasai hawa dingin yang mengusik. Anak-anak berhamburan menendang lapangan. Berlomba menghancurkan embun-embun di permukaan rumput. Orang-orang dewasa yang lain hanya bisa mengawasi mereka dari pinggir barak.
Sungguh menenangkan apabila bangun pagi tanpa perasaan was-was dan khawatir. Sepuluh tahun yang lalu semua warga Gunung Merapi tak bisa seperti itu. Hampir setiap hari tidak bisa memejam nyaman karena harus terbangun sewaktu-waktu untuk meninggalkan Gunung Merapi yang sedang batuk. Mereka sudah mengikhlaskan semuanya. Juga tak masalah jika tahun ini Gunung Merapi meminta izin untuk kembali menepati janjinya. Mereka percaya sepenuhnya kepada Gunung Merapi dan Tuhan yang mengendalikan segalanya.
Kedamaian pagi dipecahkan oleh gemuruh yang mengaung. Para pengungsi mengira itu suara sisa petir. Namun, langit telah sepenuhnya biru dan cahaya matahari menyinari penjuru langit Yogyakarta. Para relawan dan tim penanggulangan bencana kompak menajamkan telinga mereka. Beberapa dari mereka sudah menempelkan teropong di kedua mata. Mengarahkan lensanya tepat ke arah Gunung Merapi berada. Kali ini bukan asap putih yang membumbung tinggi. Melainkan asap hitam pekat dan menggumpal tebal. Membumbung ke atas lalu tumpah ke bawah dengan cepat.
Hingga sirine tanda bahaya memekakan ratusan pasang telinga. Membuat semua orang membuka mulutnya. Lima detik kemudian, barak pengungsian dijejali kepanikan orang-orang. Anak-anak segera dihampiri orang tua masing-masing dan semuanya menangis. Polisi dan TNI sigap membantu menenangkan sekaligus mengarahkan pengungsi. Para relawan bersahut-sahutan saling melempar pesan informasi menggunakan HT. Asap hitam kedua meluncur dengan kecepatan tinggi. Tepat saat itu terjadi semua orang meyakini. Gunung Merapi sedang menepati janji.
"Eits! Mau ke mana?" Nada suara Juno naik ketika jari-jarinya berhasil meremat pergelangan tangan Sivan. Rematannya cukup untuk membuat Sivan merintih kesakitan. Sivan bisa merasakan, mode perlindungan super Juno sedang seribu persen menyala.
"Sivan, dengar. Kamu di sini aja. Jangan ikut ke tenda kesehatan. Warga dari zona bahaya sedang berdatangan."
"Enak aja. Aku juga mau membantu, No!" Bantah Sivan dengan mata terbuka lebar.
"Nggak usah. Nanti kalau ada korban terluka parah, kamu nggak akan kuat." Juno mencoba mempertahankan ketenangan meski suasana kian runyam dan barak pengungsian berubah bak arena tempur menegangkan.
"Kamu lupa kalau aku wakil ketua kamu, No? Kamu sendiri yang memilihku, lho. Dan juga ini kesempatanku buat belajar ilmu kesehatan dari para relawan dokter."
Juno menyesali keputusannya sekarang. "Aku nggak bakal restuin kamu jadi dokter, kalau itu bikin kamu sakit, Siv!" Rematan tangan Juno di lengan Sivan terlepas. Ia menggantinya dengan menggoyang-goyangkan kedua pundak Sivan.
"Kali ini aku mau menghadapinya, No. Aku ingin mencoba lebih berani."
"Beberapa hari yang lalu kamu habis sakit, Siv. Aku takut kamu pingsan lagi." Sivan tersenyum lembut, menggeleng, lalu melepaskan kedua telapak tangan Juno dari atas pundaknya.
"Janji. Aku bakal baik-baik aja, Kak Juno," tenang Sivan. Tersenyum menenangkan.
Juno membuang napas panjang. Sebagai kakak angkat yang baik, ia harus mendukung apapun keputusan adiknya.
"Oke. Tapi, ingat, kalau udah nggak kuat panggil aku. Teriak aja yang kencang." Juno mengeluarkansatu buah masker dari dalam sakunya. Merelakannya untuk dipakai Sivan.
"Aku akan langsung masuk sendiri ke tenda kesehatan kalau sakitnya datang." Juno mengacak rambut kepala Sivan dan mereka berlari bersama menuju mobil-mobil besar yang berbaris memasuki gerbang masuk barak pengungsian.
Pengungsi-pengungsi baru berdatangan. Setelah hampir dua minggu lebih menanti, pagi ini, akhirnya Gunung Merapi menepati janji. Evan keluar dari tenda khusus relawan dengan wajah berseri. Ia menjadi satu-satunya relawan yang sama sekali tidak panik. Bagi Evan, momen Gunung Merapi batuk adalah sebuah kesempatan emas. Jangan lupa, ia juga mempunyai janji. Di belakang Evan, Janu menatap perih awan panas hitam yang menggerombol seperti sekumpulan bulu domba. Ia mengkhawatirkan para warga yang belum mengungsi di sana.
Dalam hitungan jam, pengungsi di barak pengungsian bertambah. Berkali-kali lipat jumlahnya. Joe dan Janu sampai kelabakan menambah kertas untuk mencatat. Beton sibuk mengarahkan para pengungsi yang menggunakan sepeda motor menuju tempat parkir yang aman. Ada banyak warga dari dusun lain, berhenti di sepanjang jalan barak pengungsian menunggu keluarga yang belum turun. Mereka akan tinggal sementara di rumah keluarga Yogya sebelah selatan. Wajah mereka semua kelihatan gugup bercampur panik.
Untuk sementara, Evan tidak mengikuti Sivan. Namun, setiap ada kesempatan, mata elangnya selalu membidik pergerakan sang putra. Juno, Sivan, dan anggota relawan PMR membantu menurunkan tubuh para pengungsi dari atas mobil penjemputan. Kemudian mengumpulkan mereka sesuai dengan wilayah dusun. Meskipun relawan sudah menaruh kursi kayu untuk membantu turun, beberapa pengungsi tetap kesulitan. Mereka memilih menggunakan lengan relawan untuk berpegangan.
Para pengungsi baru mayoritas remaja, anak muda, dan orang dewasa. Mereka berasal dari wilayah zona bahaya Gunung Merapi yang belum ikut mengungsi. Beruntung sewaktu Gunung Merapi erupsi, mereka dapat menyelamatkan diri. Tidak ada dari mereka yang terluka. Akan tetapi, seluruh wajah dan tubuh mereka terkena abu Merapi. Bau abu Gunung Merapi menyebar di mana-mana. Tenda medis dipenuhi pengungsi yang mengeluh sesak napas karena terkena abu.
Siang hari, hujan tidak terlalu deras mengguyur lagi. Bau petrichor menguar bercampur dengan aroma abu Gunung Merapi. Beberapa pengungsi bertahan di tenda darurat. Sambil menanti informasi lanjutan, mereka memandang sendu bulir-bulir air hujan. Bilik gedung tidak mampu menampung mereka karena penuh. Setelah memastikan Sivan baik-baik saja bersama Evan, Juno berjalan di teras samping kanan gedung pengungsian. Membawa dua kotak makan siang. Ia menemukan Janu duduk di pojokan, lalu mengajak makan bersama.
Awalnya mereka membicarakan hal-hal random seperti biasa. Untuk menurunkan ritme ketegangan yang sedang melanda. Janu melontarkan tebak-tebakan receh terbaru yang ia dapat dari grup Menyerupai Bapack-Bapack di facebook. Juno berusaha tertawa untuk menghargai usaha keras Janu menghiburnya. Namun, beberapa saat kemudian tawanya terhenti. Ia menelisir wajah Janu dengan ekspresi kecewa sembari berkata, "Kenapa Om Janu nggak memberitahuku sejak awal?"
"Nggak bisa. Karena tebak-tebakan itu om dapatkan dari postingan terbaru grup Menyerupai Bapack-Bapack di facebook."
"Bukan soal tebak-tebakan itu, Om." Mulut Janu menghentikan tawa hebohnya. Kepalanya berputar menghadap tubuh Juno. Sedari tadi, Juno belum menyentuh makan siangnya sama sekali.
"Tentang Om Ivan adalah ayah Sivan. Aku udah tahu semuanya, Om."
Janu menaruh asal kotak makan siangnya di lantai. Nasi dan lauk-lauknya berceceran memenuhi paha atas dan kaki. Juno berniat mengikuti, membanting kotak makannya. Belum sempat itu terjadi, semua isi kotak makan Juno tumpah di udara. Janu mengoyak kedua lengan Juno membabi buta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...