50.

306 25 0
                                    

Lutut Sivan membentur lantai dingin ruang inap Anggrek. Tidak kuasa melihat selimut putih itu menutupi hampir seluruh tubuh malaikat cantik satu-satunya. Ia ingin memukul tangan perawat laki-laki yang mencabut kabel-kabel di tubuh Nenek. Sivan ingin berteriak keras di depan wajah dokter, karena tidak berhasil mengembalikan detak jantung Nenek. Mata Nenek telah menutup damai selamanya. Tidak akan bisa terbuka sekeras apa pun Sivan berteriak memanggil namanya.

Setelah mendapatkan kewarasannya kembali, Kakek menekuk kedua kakinya. Mengikuti Sivan terjun ke lantai rumah sakit. Menopang tubuh ringkih cucu satu-satunya dari belakang.

"Sivan ... Sivan harus ikhlas, ya. Nenek sudah pergi dengan tenang."

Sivan menggeleng. Terus berontak. Menolak kenyataan Nenek telah tiada. Ia tidak terima Nenek pergi tanpa sempat mengucapkan kata-kata perpisahan kepadanya. Sivan ingin menarik lalu menyingkirkan selimut putih dari tubuh Nenek. Namun, hanya untuk mendongakkan kepala saja, ia harus mengeluarkan banyak tenaga. Sivan masih membutuhkan pertolongan. Keadaannya kembali lemah.

"Nggak ... nggak, Kek. Nenek nggak pergi. Tolong bantu Sivan berdiri, Kek. Sivan mau bangunin Nenek. Sivan pasti bisa ... bikin mata Nenek terbuka lagi ...." Sivan menaikkan tubuh ringkihnya. Mengumpulkan tenaga sekuat yang ia bisa. Hanya bertahan beberapa detik, tubuhnya meluruh kembali Tangan kanan Kakek menangkup pipi membasah Sivan. Tangan kiri Kakek meremas pundak Sivan memberikan kekuatan.

"Sivan, dengarkan Kakek. Nenek sudah pergi dan tidak akan merasa sakit lagi. Kita harus mengiklaskan kepergian Nenek." Sivan menggelengkan kepala tak teratur. Semakin keras Kakek menyadarkannya, semakin sulit hati Sivan untuk percaya. Nenek tidak boleh pergi begitu saja tanpa meninggalkan kata. Sivan tak mampu menerima semua kenyataan.

"Ikhlaskan, Sivan. Kita harus sama-sama mengikhlaskan Nenek. Nenek tidak akan pergi dengan tenang kalau kita tidak mengikhlaskan semuanya ..." getar Kakek.

"Maaf ... gara-gara Sivan ...." Sang cucu memegang kedua sisi kepala. Meremas sekumpulan rambut di kepalanya. Suara Sinta masuk tanpa diundang. Mengisi hampir semua ruang di dalam gendang telinga Sivan. Untuk kesekian kalinya, Sivan gagal menjadi anak baik. Ia berkali-kali mengingkari janji Sinta.

Telapak tangan Kakek meninggalkan pipi Sivan. Beralih memegang kepala Sivan sangat erat, lalu menenggelamkannya ke sisi pundak. Tangisan Sivan berganti histeris di sana. Ia memukuli pungggung Kakek untuk melampiaskan penyesalannya. Sesak napas dan pening tidak juga membuat Sivan mengendurkan rematan pada punggung Kakek. Hingga kunang-kunang tanpa permisi mengambil alih dunia Sivan. Menjadikannya gelap dan sunyi.

Tidak memakan waktu lama, Evan menyusul tiga anak buahnya di lapas. Mereka sementara dimasukan ke dalam sel tahanan yang sama. Sel berukuran kecil, dengan besi-besi pembatas yang sudah berkarat di beberapa sisi. Bui itu hanya cukup untuk menampung tujuh orang tahanan. Evan memukul dinding sel untuk menghabiskan sisa-sisa kemarahan. Beberapa cat mengelupas rontok terkena pukulannya. Darah mengucur deras dari punggung tangan kanan Evan.

Sesampainya kembali di villa, dua mobil polisi menunggu Evan di depan parkiran yang tersedia. Mereka bercakap dengan pemilik villa. Mencoba menjelaskan kedatangan mereka serta maksud mereka menunggu kepulangan Evan. Pak Setya, pemilik villa, tidak bisa menolong banyak. Namun, ia berjanji akan menjaga semua barang Evan sampai masalah yang menimpa tamu istimewanya menemukan jalan keluar. Ia percaya pada tindakan Evan.

Organisasi relawan MG dijatuhi pasal organisasi ilegal. Mereka terancam enam bulan penjara. Meskipun begitu, otak Evan tidak membeku begitu saja. Ia tetap bisa berpikir lancar dan tenang. Roh banteng mengamuk di dalam tubuh Beton sudah bisa ditenangkan. Ia tertidur nyenyak di sudut dinding sel penjara. Joe tidak berhenti berceloteh menjelaskan bahwa mereka tidak salah. Lalu, menyulut emosi salah satu petugas lapas dengan meminta dibelikan gitar.

Ada tiga narapidana lain di dalam ruangan itu. Mereka tak bisa memberikan upacara sambutan karena kalah perbandingan jumlah. Mereka bertiga sementara grup Evan berempat. Salah satu dari ketiga peghuni senior itu tidur meringkuk seperti Beton, membelakangi Janu dan Evan menghadap dinding. Barulah menginjak waktu maghrib, narapidana yang tidur meringkuk memperkenalkan diri lebih dulu sekaligus dua teman setianya. Mereka menyambut Evan dkk cukup ramah karena salah satu dari mereka yang berbadan kekar bernama Usman berkata, mereka tipe penjahat yang terpaksa melakukan kejahatan demi membela kebaikan.

"Sivan, tunggu Ayah." Menjadi kalimat yang setiap jam Evan lantunkan untuk mempertahankan kewarasannya di dalam sel penjara.

Menjadi penghuni lapas selama dua hari, Evan memenangkan negosiasi rumit dengan seorang petugas sipir. Punggungnya tegak lurus dan kurus. Kedua pipinya sangat tirus. Seperti tidak pernah menikmati hidup. Kenyataannya memang begitu. Joe dan Beton melaksanakan rencana Evan dengan baik. Menggali masa lalu yang menghinggapi kehidupan sipir kurus dengan obrolan. Sipir itu mengaku terlilit hutang akibat memenuhi gaya hidup glamor istri dan anak-anaknya. Pikiran Evan menghasilkan ide mengkilat. Ia akan membantu sipir melenyapkan hutang-hutangnya.

Kondisi mental yang sudah tidak stabil membuat sipir itu langsung menyetujui penawaran Evan. Ia membiarkan Evan meminjam gawainya untuk menghubungi Hendra di Jakarta. Evan benar-benar membutuhkan bantuan sang ayah sekarang. Bantuan Hendra menjadi satu-satunya harapan.

"Terima kasih bantuannya, Ayah. Aku akan menghubungi Ayah lagi jika semuanya sudah kondusif." Evan berterima kasih. Hendra memercayai sepenuhnya kronologi yang Evan paparkan. Termasuk pertemuan tidak sengaja dengan Kakek di rumah sakit.

"Kamu putraku. Sudah tentu aku akan membantumu. Aku senang akhirnya kamu mau meminta bantuanku," balas suara bariton dari sambungan telepon. Selama menjadi putra keempatnya, Evan hampir tidak pernah meminta bantuan Hendra. Di dalam keluarga, ia terkenal sebagai anak serba sendiri, yang lebih baik terluka daripada merepotkan orang lain.

"Baik, Ayah," balas Evan tanpa sadar menganggukan kepala. Menganggap sosok Hendra benar-benar berbicara di dalam jerusi besi bersamanya. Janu menggaruk kepala menahan tawa.

"Sebenarnya, kamu bisa keluar besok. Aku kenal baik kepala sipir di lapas itu. Dia teman kuliahku. Tapi, kamu harus sedikit sabar kali ini. Administrasi tidak akan membiarkanmu keluar dalam tiga hari."

"Aku mengerti. Aku akan bersabar, Ayah."

"Kabari aku jika kamu sudah berhasil menjemput cucuku. Aku tidak sabar untuk membawanya berlibur bersamaku." Sudut bibir Evan terangkat naik mendengar kata berlibur. Kata itu menjelma angin segar menyejukkan di telinga Evan. Setelah berhasil memeluk Sivan, Evan juga merencanakan liburan bersama sang putra. Ia telah membuat rencana menginap di hotel berbintang dan berniat membelikan semua hal yang Sivan suka.

Membayangkan hal-hal membahagiakan seperti itu, membuat Evan tidak sadar sedang dipenjara.

"Pasti segera aku kabari. Sekali lagi terima kasih." Evan lebih dulu memutuskan sambungan telepon. Sipir berpunggung kurus berwajah tirus menerima gawai dari tangan Evan dengan wajah yang tidak lagi mendung. Hanya dengan mendengarkan percakapan sopan Evan di sambungan telepon, ia seratus persen yakin. Evan sosok yang dapat dipercaya. Ia bisa membantu membasmi hutang dunianya.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang