Nama Dokter Anita Puspita menjeda sejenak perhatian pria tiga puluh enam tahun itu. Apakah dia dokter yang pernah menolong Sivan dan juga membantu dirinya menemukan tempat pembelian layang-layang? Tidak butuh detik yang lama. Rasa penasaran Evan segera dijawab semesta. Di samping gelar Anita, tertulis nama klinik tempat dokter itu praktik. Dua mobil ambulan khas puskesmas masuk pelan-pelan ke area halaman barak pengungsian. Sengaja sang sopir tidak membunyikan sirine, agar para pengungsi tidak panik dan berhamburan ke luar.
Kelopak mata Evan sepenuhnya terbuka melihat rupa Anita dengan anggun keluar dari dalam pintu belakang ambulan. Kali ini rambut sebahunya tidak dibiarkan berantakan. Anita sengaja menguncirnya cukup tinggi. Untuk mengurangi intensitas berkeringat. Dokter itu tidak memakai jas putih kebanggaan, namun tetap setia membawanya di dalam tas. Sebelum berjalan menuju ruangan penyambutan, Anita tidak sengaja melihat keterkejutan Evan. Ia pun menganggukan kepala.
Pukul satu siang para dokter dan psikolog mulai diterjunkan. Pejabat setempat meminta para pengungsi diperiksa kondisi tubuhnya lebih dulu, baru kemudian mendapatkan trauma healing dari para psikolog. Meskipun Gunung Merapi belum batuk, mereka akan tetap mendapatkan semua layanan itu. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Di samping itu, sebagian besar pengungsi dewasa adalah korban erupsi besar Gunung Merapi sepuluh tahun yang lalu. Para dokter dan psikolog tidak akan ditugaskan setiap hari. Melainkan tiga hari sekali.
Satu per satu pengungsi keluar dari bilik. Tidak ada seorang pun yang tertinggal. Tim relawan PMR membantu mereka untuk duduk di kursi antrian yang berjejer rapi di depan tenda relawan medis. Evan mengawasi semua antrian pengungsi untuk memastikan para pengungsi mendapatkan pelayanan terbaik. Entah kenapa dada Evan gelisah melihat kesibukan Anita memeriksa tubuh salah seorang pengungsi anak-anak.
Sivan berada beberapa meter di depan Anita duduk melaksanakan tugas. Terlihat membantu kakek renta yang kesulitan menenangkan cucu kecil laki-laki yang dililit ketakutan. Dokter umum itu belum menyadari keberadaan putranya. Jika sampai itu terjadi, maka itu bisa membuka pintu pembuka kegagalan perjuangan Evan.
"Nggak usah nangis, Dek. Nanti adek cuma diperiksa aja. Nggak akan disuntik dan dikasih obat." Sivan berusah menenangkan, walau keberaniannya sendiri pun patut dipertanyakan. Sivan kurang nyaman melihat kehadiran dua ambulan di samping tenda medis.
"Huaaa! Beni nggak mau diperiksa! Nggak! Nggak mau!" Anak itu meninggikan tangisan. Tak ada cara lain. Sivan harus memeluk Beni. Menenggelamkan kepala mungilnya di dalam sebelah pundak. Jeritan maut Beni lumayan teredam.
"Nanti habis diperiksa bakal dikasih permen, lho."
"Permen apa, Kak?"
"Macam-macam permennya. Jadi jangan nangis. Biar bisa dapat permen," sambung Sivan sambil menyesali atas kebohongannya barusan. Ajaib, tangisan Beni seketika menghilang.
"Kalau misalnya nanti habis diperiksa Beni nggak dikasih permen. Berarti permennya udah habis. Beni bilang aja ke kakak, ya. Biar besok kakak bawain permen yang banyak."
"Iya, Kak. Beni mau yang rasa cokelat."
"Oke. Tapi, janji nggak boleh nangis, ya?" Sivan memajukan kelingkingnya. Menautkannya pada kelingking yang lebih kecil. Sang kakek hanya bisa tersenyum dalam hati melihat Sivan berhasil mengendalikan emosi Beni.
Di sudut lapangan yang rindang, terlihat empat orang pria kekar berdiri melingkar. Semuanya mengenakan rompi relawan yang sama. Salah satu dari mereka beberapa kali melirik kondisi tenda medis yang dipenuhi tangisan anak-anak. Hati Evan tak tenang semenjak membalas anggukan anggun dari salah satu dokter dari Klinik Kartika. Evan tak semudah itu jatuh cinta kedua. Jiwa dan raganya masih milik Sinta sepenuhnya. Hanya saja Anita berkata masih mengingatnya beberapa hari yang lalu di pasar. Besar kemungkinan, ia juga mengingat wajah Sivan.
"Nggak ada acara lain. Kita harus bicara jujur sama dia. Terus, ajak dia bekerja sama." Joe yang jarang memberi tanggapan mendadak sigap melontarkan pendapat.
"Iya, Bos. Kali ini aku setuju sama pendapatnya Joe," sahut Beton.
"Evan, Evan. Kan udah aku bilang jangan pernah lengah memakai masker. Akhirnya, jadi rumit begini, kan. Ini sangat di luar dugaan, Van! Aku belum bikin rencana cadangan."
"Waktu itu aku panik sekali dan membuka masker hitamku di klinik. Aku akui aku memang salah," sesal Evan.
"Gini aja, aku akan menjauhkan kegiatan relawan PMR di sekitar tenda medis. Juno pasti bersedia membantu. Joe dan Beton bantu aku awasi kegiatan Sivan dan Juno. Sementara kamu, Van. Ikuti saja pergerakan dokter cantik itu. Dia hanya sehari di sini dan akan kembali lusa nanti."
"Beres, Nu!"
"Siap."
"Oke."
"Baik, kembali ke tempat masing-masing. Bubar."
"Thanks, Nu. "
"Kalau di dalam cerita plot hole namanya. Bisa mematikan alur si penulis. Jangan sampai lupa memakai masker. Awas kalau sampai terjadi lagi."
Antrian yang panjang membuat konsentrasi Anita buyar. Evan mendekat dan membantu pengungsi lansia merapatkan barisan. Bibir ranum Anita tertarik melihat Evan memperlakukan seorang nenek renta dengan begitu baik. Sudah lama ia mendambakan pria seperti itu. Dan, ia merasa beruntung bisa bertemu dengan Evan lagi di tempat pengungsian. Kriteria Anita tidak muluk-muluk. Cukup seseorang yang suka berkegiatan sosial sama seperti dirinya. Di zaman sekarang ini Anita merasa susah menemukannya. Itulah kenapa ia tetap mempertahankan lajang hingga akhir usai dua puluh tahun.
Sivan gagal menemani Beni. Mendadak kepalanya terasa nyeri. Ia mengundurkan diri di samping Beni. Kakek Beni segera melaju menggantikan Sivan menjaga Beni. Anak itu sempat mau menangis lagi. Evan ingin sekali menyusul Sivan berlari. Akan tetapi, ia masih belum bisa lepas memandang wajah Anita. Diperhatikan lebih lama, wajah wanita itu semakin membuatnya penasaran. Kiluan rambutnya, suara serak basahnya, warna kulit seputih susunya. Semuanya 80 persen mirip seperti Sinta.
Apakah semua wanita cantik di dunia ini memang punya kemiripan wajah? Merasa ada energi yang menuju kepadanya, Anita melempar mata ke arah pukul dua. Degupan-degupan dahsyat menguasai ritme jantung Anita. Diperhatikan dari jauh pun tatapan pria itu tetap sedalam lautan. Bibir tebalnya terkatup rapat. Anita ingin melihatnya terbuka kembali memanggil namanya. Dua iris setajam mata elang itu menyorot misterius ke arahnya. Ekspresi datarnya terlihat seksi di kedua mata Anita. Sebisa mungkin Anita mengendalikan diri. Ia tidak ingin tampak bodoh di depan pria yang baru beberapa kali ia temui.
Sejak bertemu Evan di klinik, tak pernah sekalipun Anita tak memikirkan pria itu dalam sehari. Teman satu kliniknya memberi saran agar mencari akun media sosial Evan. Ia mencoba mencarinya menggunakan nama putranya. Siapa tahu sang putra mengunggah foto bersama Evan dan menandai akun ayahnya. Namun, semua itu tak menghasilkan apa-apa. Bisa dibilang Anita tidak pintar soal percintaan. Karena sedari kecil ia lebih memilih berkumpul bersama buku-buku tebal.
Pertemuannya hari ini dengan Evan, Anita anggap sebagai kesempatan emas. Ia akan berusaha bertukar nomor atau meminta akun media sosial sang ketua relawan. Cinta memang bisa membutakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...