Evan menyaksikan dari parkiran restoran Juno dan Sivan saling melambaikan tangan perpisahan. Ia bergegas menarik pintu mobil jeep yang terparkir beberapa meter di belakang. Setelah keluar dari restoran tempat pengarahan relawan PMR, Sivan berlari lebih cepat dari biasanya. Bukan takut terlambat sampai rumah, tapi gumpalan awan mendung sudah menutupi hampir seluruh tubuh Gunung Merapi. Jika mendung berhasil menyembunyikan badan Gunung Merapi, itu berarti beberapa menit lagi akan terjadi hujan badai.
"Hai, Sivan!" Evan sengaja memelankan kecepatan jeep hingga berada tepat di samping Sivan berlari. Sivan menghentikan lari, karena kaget dengan bunyi klakson jeep yang dibunyikan Evan beberapa kali.
"Om ... siapa, ya?" heran Sivan. Ia belum terlalu hafal dengan bentuk wajah dan kedua bola mata Evan yang setajam mata burung elang. Evan hampir saja ceroboh menarik maskernya, kalau saja Sivan tidak lebih dulu bertanya. Ia mematikan mesin jeep, lalu membetulkan letak masker sebelum mendorong pintu jeep.
"Aku Ev-Ivan. Masa lupa sama suaraku."
"Oh, iya, Om Ivan. Maaf, Om selalu memakai masker hitam. Jadi, saya tidak hafal wajah, Om."
"Tidak apa-apa. Kok, kamu pulang sendirian jalan kaki? Kenapa tidak boncengan sama teman kamu tadi?"
"Saya lebih suka jalan kaki, Om. Sekalian olahraga. Biar sehat, hehe."
Biar sehat atau biar tidak dimarahi Kakek?
"Sebentar lagi hujan. Ayo bareng Om saja. Kamu mau ke arah utara, kan? Arah tujuan Om juga ke sana."
"Masa, sih, Om? Memangnya Om mau ke mana?"
"Ke Taman Kaliurang."
Bodoh!
"Taman Kaliurang? Kalau mau ke Taman Kaliurang ke selatan Om, bukan naik ke utara. Nanti Om malah sampai ke puncak Merapi, hahaha."
"Iya, Om tahu. Tapi, vila Om ada di sebelah utara. Om mau mampir ke sana sebentar mengambil sesuatu."
"Terima kasih, tidak usah repot-repot, Om. Saya mau lanjut jalan kaki saja."
"Tunggu ...." Belum sempat Evan menyelesaikan perkataannya, ia berterima kasih kepada langit. Petir berlomba membunyikan suara-suara menggelegar. Selang beberapa detik jutaan rintik hutan menghantam jeep dan juga tubuh Sivan. Evan buru-buru membuka pintu sebelah kiri mobil jeep. Tanpa persetujuan Sivan, ia menyeret lengan kurus sang putra untuk memasukannya ke dalam jeep. Sivan pasrah sambil terus memikirkan alasan apa untuk diberikan kepada Kakek nanti.
Evan menutup pintu mobil jeep dengan garis melengkung di bibir. Bibir Evan tersenyum di dalam masker hitam. Kejadian ini mengingatkannya pada masa-masa perjuangannya mendekati Sinta dan sewaktu pertama kali berhasil memboncengkan Sinta menuju sekolah atas bantuan hujan deras. Ia tidak menyangka jika harus melakukan hal seperti ini juga kepada putranya. Evan pun masih menolak percaya bahwa Kakek mendidik Sivan sama seperti Sinta.
Perjalanan diliputi hening. Sama seperti pertama kali Evan mengantar Sivan pulang dari vila. Sivan mengulang adegan kemarin. Menghirup beberapa kali aroma parfum dari tubuh Evan. Entah kenapa Sivan merasa bau parfum Evan lebih menusuk hidung daripada saat pertemuan pertama. Namun, tetap segar dan tidak membuat bersin-bersinnya kambuh. Bibir pucat Sivan tersenyum. Ia melihat ke sisi jendela. Mulai meluapkan rasa rindunya kepada Evan melalui barisan rintik hujan.
"Maaf, Om. Kalau boleh tahu, kenapa Om memakai masker terus? Apa Om tidak sesak napas?" Pertanyaan Sivan menjadi pemecah keheningan. Evan sedikit gelagapan mendengar Sivan lebih dulu bertanya kepadanya.
"Justru Om kadang kesulitan bernapas kalau tidak memakai masker."
"Kok, bisa begitu, Om?"
"Om punya alergi akut sama udara dingin pegunungan. Sejak kecil hidung Om sensitif." Bohong Evan.
"Kalau Om alergi sama udara dingin pegunungan, lalu kenapa Om menjadi relawan Gunung Merapi?"
"Memangnya orang sehat tanpa alergi saja yang bisa menjadi relawan?"
"Benar juga, sih, Om." Evan geli dengan keluguan Sivan. Sivan pun merasa bersalah mengatakan itu.
"Waktu pertama kali kita bertemu beberapa hari yang lalu, kamu bilang kalau parfum ayah kamu Ambre Topkapi. Kenapa kamu bisa tahu, kan, waktu itu kamu masih kecil?"
"Oh, itu. Aku juga baru tahu waktu MOS SMA dulu, Om. Ada salah satu temanku, dia anak orang kaya. Tubuhnya bau wangi itu. Aku bertanya kepadanya memakai merek parfum apa. Dia menjawab merek parfumnya Ambre Topkapi. Lalu, aku bilang Ayahku juga memakai parfum itu. Kami berdua lalu tertawa." Keramahan Evan membuat Sivan tak lagi menggunakan kata saya.
"Hahahahaha." Sivan membulatkan mata mendengar semburan tawa Evan. Evan segera sadar dengan suaranya pun menghentikan tawa. Ia merasa sepasang mata sedang menatap tajam ke arahnya. Sivan masih enggan mengedipkan mata.
"Kenapa melihatku terus? Aku jadi tidak nyaman."
"Saya ... cuma merasa aneh saja."
"Aneh kenapa?"
"Tidak hanya parfum, tapi suara tertawa Om mirip sekali dengan suara Ayah saya." Evan menginjak rem mendadak. Seketika jeep berhenti di pinggir jalan. Jutaan air hujan masih berjatuhan. Sivan memanfaatkan itu untuk melamun menatap kaca. Rasa rindunya kepada Evan tiba-tiba mencapai puncak. Kedua mata jernih Sivan tergenang air mata.
"Maaf, tadi ada sesuatu menyeberang. Sepertinya kucing lagi." Dengan alasan yang sama Evan mengalihkan kekagetannya. Sivan mengangguk percaya, karena dia memang melihat sesuatu tiba-tiba menyeberang lumayan cepat. Bentuknya tidak terlalu jelas karena dikepung air hujan. Gunung Merapi adalah tempat bagi hewan-hewan pegunungan. Ketika statusnya sedang tidak normal, mereka sering menampakkan diri sembarangan.
"Maaf, Om. Saya sering halu seperti ini kalau sedang merindukan Ayah saya," parau Sivan.
"Tidak apa-apa. Ayah kamu sekarang di mana?"
"Ayah saya ada di Jakarta."
"Ayah kamu bekerja di sana?"
"Iya, Om."
"Terus, kamu di sini tinggal sama siapa?"
"Sama Kakek dan Nenek. Sejak umur tujuh tahun, saya tidak tinggal lagi sama Ayah." Evan menatap kosong Sivan. Putranya masih memalingkan wajah menghadap kaca pintu jeep. Lima detik setelahnya, isakan–isakan menyakitkan berbunyi lirih. Evan ingin menghentikan mobil jeep lagi untuk memeluk punggung Sivan yang mulai naik turun. Namun, belum saatnya Evan melakukannya sekarang. Ia memilih menepuk kepala Sivan, membuatnya semakin menjatuhkan air mata sangat banyak.
"Maaf, Om malah bikin kamu jadi sedih."
"Ngapain minta maaf, Om. Om, kan, cuma tanya aja. Om nggak salah apa-apa."
"Om juga dari Jakarta. Ayah kamu tinggal di daerah mana?"
"Hiks ... Daerah Menteng, Om, hiks ...."
"Sudah berapa lama kamu tidak bertemu Ayah kamu?" Nada suara Evan kian melirih.
"Sepuluh tahun, Om ...."
Tak tahan, Evan menghentikan jeep. Mematikan mesinnya lagi. Sivan menghapus lajur air mata sambil berusaha menetralkan pernapasan yang mulai sesak. Ia memutar kepala merasakan sebuah tangan besar mendarat lalu meremat punggung tipisnya. Sivan kembali melihat wajah bermasker Evan. Kedua mata pria tajam itu memerah. Sivan tidak ingin menebak-nebak, namun satu butir bening yang meluncur di ujung pelupuk kanan menjadi bukti pertama. Evan tak membiarkan Sivan menangis sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...