Sambil menahan hantaman hujan, Sivan membungkukkan badan di samping mobil jeep. Mencopot lalu menggunakan tas sekolahnya untuk berlindung dari guyuran air hujan yang masih ganas. Kecepatan rintik airnya cukup mampu membasahi seluruh kepala dan pundak Sivan dalam hitungan detik. Evan terus memonitori Sivan sampai anak itu membuka pintu di teras dan masuk ke dalam rumah dengan selamat. Tanpa dorongan kuat dari tangan besar Ayah Mertuanya.
"Push up dan sit up masing-masing tiga puluh kali," perintah Kakek tercipta setelah menerima saliman tangan beku Sivan.
"Tapi, Kek, bukannya kemarin Kakek bilang kuis pengetahuan militer?" sergah Sivan. Wajah menahan marah Kakek kian memanas.
"Itu sebagai hukuman. Kakek melihat kamu diantar pulang seseorang tadi. Siapa yang mengantar kamu?"
"Tadi Sivan udah pulang jalan kaki, Kek. Di tengah perjalanan tiba-tiba hujan deras. Yang mengantar Sivan tadi salah satu relawan Gunung Merapi yang akan membimbing PMR. Namanya Om Ivan."
"Lain kali bawa mantol kamu dan tetap berjalan sampai rumah. Jangan manja. Sekarang lakukan apa yang tadi Kakek katakan. Setelah selesai, Kakek tetap akan memberi kamu kuis pengetahuan militer. Mengerti?"
"Me-mengerti, Kek. Ngomong-ngomong Nenek sudah tidur, Kek?" Kakek mengacuhkan pertanyaan Sivan dan meninggalkan tubuh dingin cucunya begitu saja di ruang tamu. Sivan lantas segera menurunkan tasnya di lantai. Dilanjut menghapus sisa lajur air mata di kedua pipinya. Bisa tambah gawat kalau Kakek sampai tahu Sivan menangis karena merindukan Evan. Tanpa berganti baju lebih dulu, ia melaksanakan sit up dan push up sesuai perintah Kakek.
Biasanya yang sering merokok sambil minum kopi sampai tengah malam adalah Evan. Namun, malam ini penampakannya berbeda. Janu mem-booking balkon vila, tempat biasa Evan merokok dan meminum kopi hitam kesukaannya. Bahkan, sejak kepulangan mereka dari acara penutupan penyuluhan relawan PMR Merapi di restoran. Evan, sang penguasa balkon sebenarnya, berbesar hati untuk mengalah. Ia jarang sekali melihat Janu lebih memperhatikan gawai daripada berlembar-lembar dokumen membosankan.
Beton dan Joe baru saja selesai presentasi lisan di ruang tengah vila. Mereka memberitahu informasi tentang Juno kepada Evan. Tidak lupa, Beton juga menunjukkan bukti foto aktivitas-aktivitas Juno bersama Sivan. Sebagian besar aktivitas mereka di jalanan dan di kedai minuman boba dekat sekolah. Melihat sang putra sering tersenyum bersama Juno, tanpa berpikir lama Evan menganggap Juno orang yang bisa dipercaya.
Satu jam setelah presentasi berakhir, Evan menyuruh Joe membuka benda berukuran besar yang beberapa hari ini duduk manis di samping kulkas dapur vila. Sesuatu itu terbungkus bubble wrap dan plastik berwarna hitam pekat. Dengan tampang malas-malasan Joe membukanya pelan-pelan.
"Wow, gitar akustik. Merek super! Lho, kok, Bos beli alat musik. Untuk apa, Bos?" Ucap Joe. Wajah malasnya seketika mencair. Beralih menjadi wajah remaja SMA-nya yang dulu pertama kali dibelikan gitar baru. Evan bersedekap dada menatap datar kesibukan Joe menyetel nada lagu. Joe adalah satu-satunya bodyguard unik yang mempunyai bakat dan hobi di bidang musik. Dulu, Joe merupakan mantan penyanyi band. Setelah masuk ke dunia keluarga Evan, Joe memegang alat musik hanya ketika bosan menyergap.
"Bawa gitar itu besok ke pengungsian. Aku pernah melihat Sivan membagikan artikel tentang gitar itu di beranda facebook-nya. Barangkali nanti Sivan tertarik."
"Sivan suka bermain gitar juga, Bos?" Beton nimbrung membawa pertanyaan. Ia penasaran minat dan bakat putra bosnya.
"Barusan aku bilang, barangkali dia suka. Bukan hanya untuk Sivan saja. Kamu bisa menghibur para pengungsi dengan mengadakan konser kecil-kecilan di sana."
"Siap, Bos. Nanti mau langsung aku pakai buat latihan," semangat Joe.
"Makanan lezat sudah, gitar untuk Joe sudah. Lalu, hadiah untukku kapan, Bos?" Evan membungkam jawaban, ia lebih fokus mengamati foto nilai rapor Sivan yang berhasil Janu dapatkan ketika mengambil data siswa beberapa hari yang lalu. Bibir pria itu tersenyum bangga membaca keterangan tulisan rangking satu. Beton membuang udara dengan wajah memelas. Kedua pipi tembemnya menurun karena bibirnya melengkung ke bawah.
"Ton-Ton, makannya kerja yang becus!" ejek Joe sembari mengelus-elus tubuh gitar baru pemberian Evan. Semangat hidup Beton semakin runtuh.
"Lha, situ sendiri memang kerjanya becus? Kemarin, siapa yang merengek minta diajarin pakai teropong. Dasar, pakai teropong saja tidak bisa!"
"Tidak lihat sekarang aku lagi pegang apa? Keahlianku bukan megang teropong, Ton. Tapi, megang alat musik." Beton menabok punggung Joe sekencang-kencangnya. Joe tidak merasakan kesakitan, karena fokus sepenuhnya kepada gitar. Untung saja Beton tak mengeluarkan tinju mautnya. Bisa tamat Joe apabila Beton dalam mode siluman.
Evan menggenggam gawai sembari berjalan melewati Beton dan Joe yang saling mengumpat. Langkahnya terhenti di daun pintu kaca menuju balkon vila. Terdengar samar-samar Janu tertawa. Pria seumurannya itu menertawakan sesuatu di layar gawai lebarnya. Tumben sekali Janu betah menatap layar gawai lama. Mumpung suara tawa Janu masih renyah, Evan memutuskan menyusulnya diam-diam. Sesampainya di balkon, suara tawa Janu masih tersisa.
"Kamu sehat, Nu?"
"Hahaha, ini aku dari tadi WA sama Juno. Ternyata dia anaknya kocak kayak aku."
"Wah, wah, wah. Kamu dapat nomor anak itu dari mana?"
"Kami saling tukar nomor WA tadi di acara penutupan penyuluhan PMR. Lagi pula tanpa bertukar nomor pun aku punya data anak-anak relawan PMR. Kamu lupa aku yang mengumpulkan data anak-anak dari sekolah Sivan?"
"Tunggu dulu! Berarti ada nomor handphone Sivan juga, kan?"
"Aku baru mau bilang begitu ke kamu. Tapi, Van, kali ini sabar lagi dulu, ya. Mau ada tiga piring udang goreng di meja makan pun, aku nggak akan memberikan nomor Sivan kepadamu. Akan aneh kalau tiba-tiba Om Ivan mendekati Sivan sampai menghubunginya via WA. Hiii, aku sendiri saja merasa ngeri."
"Terus kamu sendiri kenapa WA Juno? Tidak adil!"
"Bukan aku yang WA duluan, tapi si Juno. Dia penasaran sekali dengan relawan dari Mahaputra Grup dan bertanya terus dengan pertanyaan lucu. Dia juga bercerita kalau ngotot sekali ingin menjadi ketua PMR, agar kuliah nanti dia bisa menjadi ketua PMI. Sama seperti aku dulu, Van. Kalau aku punya putra, mungkin putraku kayak Juno, soalnya aku orangnya asik dan narsis."
"Dan, jangan lupa juga takut sama perempuan."
"Yah, jangan bahas itu lagi, dong. Aku nggak takut, tapi punya trauma berat sama perempuan." Evan tertawa sumbang. Ia menyambar satu bungkus rokok di permukaan meja kecil untuk dikurangi satu batang. Evan menyalakan rokok, namun tidak kunjung menghirup kenikmatannya. Tiba-tiba, ia teringat kembali dengan percakapan bersama Sivan di mobil. Tidak hanya parfum, tapi Sivan juga masih mengingat suara tertawanya.
"Wah! Lihat! Barusan Juno upload status WA foto bersama Sivan!"
"Mana-mana, aku mau lihat!" Belum sempat Evan menyesap rokok, ia langsung membuangnya ke sembarang arah. Evan berdiri cepat untuk merampok gawai di tangan Janu. Janu dengan bangga menunjukkan status WA Juno di depan mata sahabatnya. Juno meng-upload empat foto kegiatan penutupan penyuluhan PMR di status WA. Semuanya ada foto Sivan. Sivan tersenyum manis, sementara mulut Juno membentuk beragam ekspresi.
"Screenshoot dan kirim ke WA-ku sekarang!" perintah Evan. Janu mengangguk tengil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...