Pengungsi lansia bergantian menerbitkan senyuman hangat. Menerima satu per satu makan siang mereka. Meskipun tatapan mata mereka tak lagi secerah masa muda. Melihat senyuman tulus para pengungsi yang luar biasa, semangat Sivan naik satu tingkat. Ia tak menyesal menjadi relawan PMR Merapi demi terbebas dari latihan berat yang Kakek berikan.
Sesegera mungkin Sivan membalas sapaan mereka. Takut membuat para pengungsi merasa tidak nyaman karena mata kosongnya. Dua bola kecil warisan Sinta itu dipaksa menyipit lucu. Andai Sivan terlahir perempuan, ia akan menjadi anak perempuan yang sangat manis. Sivan berusaha memantabkan diri mengikuti kegiatan relawan PMR Merapi sepenuh hati.
"Setelah semuanya selesai kita bisa istirahat di sebelah sana," imbau Evan menunjuk salah satu pintu barak yang sedari tadi menutup rapat. Sejak pagi, Sivan tak melihat orang keluar masuk melalui pintu itu.
"Baik, Om."
"Kita sudah bertemu beberapa kali. Tidak usah terlalu kaku, ya."
"Iya, Om." Jawab Sivan kedua kali. Tubuh kurusnya setia mengikuti punggung lebar Evan. Menyelesaikan perjalanan membagikan makan siang.
Evan mengambil dua kursi plastik warna biru tua yang menumpuk di samping tenda dapur. Meletakkannya bersampingan ke dalam ruangan pintu itu. Ternyata ruangan tersebut difungsikan sebagai gudang. Kondisinya bersih dari sarang laba-laba. Terlihat seperti rutin dirawat. Satu bulan lalu ruangan itu telah direnovasi warga untuk persiapan pengungsian. Rekan-rekan Sivan lainnya termasuk Juno belum selesai dengan tugasnya. Evan akan menyuruh Sivan istirahat di sana bersamanya sembari menunggu mereka.
"Duduk dulu saja di sini. Sebagai relawan, kita harus pintar-pintar ambil waktu untuk mengistirahatkan tubuh kita sendiri." Tanpa sadar Evan menarik-narik tali maskernya. Hingga pikirannya secara otomatis memutar suara Janu yang kerap melarangnya. Sivan dirundung kecewa. Beberapa detik menahan kedipan tak menghasilkan apa-apa. Bocah itu penasaran dengan wajah asli sosok Om Ivan.
"Nggak dilepas maskernya, Om?"
"Nggak usah."
"Om nggak penat?"
"Om sudah terbiasa. Ada yang perlu ditanyakan tidak seputar kegiatan kalian?"
"Untuk sekarang sepertinya belum, Om. Juno sudah memberikan semua informasi via grup Whatsapp."
"Tidak salah Juno mengajukan diri jadi ketua. Seperti inilah kegiatan para relawan. Melayani orang-orang yang sedang membutuhkan bantuan. Beberapa hari yang lalu, anggotaku mengumpulkan informasi Gunung Merapi. Mahaguru Merapi sedang sibuk membuat kubah lava baru. Jika terjadi erupsi, kemungkinan akan berbeda dari letusan tahun 2010." Evan memberitahu tanpa diminta. Sivan mendengarkan dengan teladan.
Tahun 2010, tahun penuh kebahagiaan bagi Sivan. Bagaikan sungai kelebihan air hujan tumpah kemana-mana. Ia bebas naik ke atas pundak lebar Evan kapan saja. Meminta Evan menjadi kuda pacuan dadakan setiap malam. Mencuri dokumen-dokumen perusahaan Evan secara diam-diam untuk dilipat menjadi aneka binatang. Sivan bahagia menyambut kedatangan Kakek dan Nenek menginap di Jakarta selama satu bulan karena rumah mereka dilalui awan panas Gunung Merapi.
Evan merasa tahun 2010 adalah tahun paling membekas dalam hidupnya. Tahun yang sebagian besar didominasi perkembangan putra kesayangannya. Ia belajar menjadi ayah yang baik karena Sivan mulai bisa diajari apa saja. Hampir setiap hari Sinta mewanti-wanti agar jangan pernah membentak ataupun bicara kasar kepada sang putra. Tanpa disuruh pun Evan pasti melakukannya. Ia paham bagaimana perasaan Sinta yang masa kecilnya dipenuhi kekerasan. Kenangan paling indah yang selalu ingin Evan ulang adalah mengantar Sivan ke sekolah.
Evan dan Sivan tenggelam dalam lautan masa lalu yang sama.
"Om Ivan sudah berapa lama menjadi relawan?"
"Sepuluh tahun. Tapi, baru tahun ini aku menerjunkan anggotaku ikut membantu musibah Gunung Merapi. Biasanya kami hanya menolong korban banjir, membersihkan sungai dan pantai dari sampah, melakukan reboisasi hutan, dan mengadakan donasi untuk panti asuhan kecil."
"Hebat, Om."
"Kamu juga hebat mau menjadi relawan PMR Merapi. Ayah tahu kamu ikut relawan PMR ini?"
"Nggak tahu, Om."
"Nggak kamu kasih tahu?"
"Ada masalah yang bikin aku nggak bisa ngasih tahu, Om." Evan menyingirkan debu di permukaan pundaknya.
"Semenjak Mama meninggal, Kakek nggak suka sama Ayahku, Om. Dia yang memisahkan aku sama Ayah. Boro-boro menanyakan kabar, untuk menyebut namanya saja aku dilarang, Om."
"Selama sepuluh tahun itu, kamu sama sekali nggak berusaha berkomunikasi sama Ayah kamu?"
"Sempat beberapa kali menulis surat, Om. Tapi, waktu itu aku kan masih kecil, belum terlalu hafal alamat rumah di Jakarta. Jadi, suratnya nggak pernah bisa terkirim."
Evan menghentikan tepukan di pundak. "Kamu kangen nggak ... sama Ayah?"
"Kangen banget, Om."
Evan melempar pandang pada dinding-dinding gundang. Menahan bom kerinduan yang minta untuk diledakkan. Ayah juga kangan banget sama kamu, Sivan.
"Surat-surat yang ingin kamu kirim masih ada? Titipkan ke Om saja. Kalau keadaan Gunung Merapi sudah normal, besok om bantu kirimkan."
"Seingatku masih ada. Aku simpan di bekas kotak sepatu, Om. Tapi, aku kan nggak ingat alamat lengkap Ayahku, Om."
"Tidak apa-apa. Tulis saja alamatnya seingat kamu."
Menjelang sore, pengungsi anak-anak dan remaja berdatangan. Yang tersisa di masing-masing rumah adalah kepala keluarga. Mereka akan bergantian beronda sesama warga satu dusun memantau kondisi Gunung Merapi. Apabila sewaktu-waktu terjadi erupsi, mereka tinggal menyelamatkan diri sendiri. Tidak perlu mengkhawatirkan keluarga mereka yang telah lebih dulu mengungsi.
Tugas Sivan dan kawan-kawan berakhir sementara pukul empat. Setelah tanda tangan absensi, Juno menyuruh mereka pulang hati-hati. Evan mendekati Sivan lagi. Berniat menawarinya tumpangan ke rumah. Kali ini pria itu beralasan ingin mengambil obat yang tertinggal di vila. Namun, Sivan menolak secara halus kebaikan Evan. Ia lebih dulu menerima ajakan Juno berboncengan. Evan menahan kecewa.
Janu menyaksikan sahabatnya melepas kepulangan Sivan sembari menuang teh hangat ke dalam gelas plastik berwarna hijau tua. Ia bisa merasakan kegalauan Evan dari jarak lima puluh meter.
"Tenang aja. Besok kita akan bertemu mereka lagi."
"Anakku banyak menderita, Nu."
"Mulai, mulai, mulai lagi. Yang dulu biarkan menetap di sana. Jangan dibawa-bawa sampai ke masa kini."
"Semuanya karena aku, Nu."
"Dikasih nasihat malah jadi melankolis." Sewot Janu sembari memberikan satu gelas teh manis harum melati. Evan menerima uluran gelas Janu. Namun, tak memiliki semangat untuk menghabiskan isinya.
Kondisi tubuh yang belum sepenuhnya baik ditambah kelelahan mengikuti kegiatan PMR Merapi, hidung Sivan berdarah lagi. Ia mengulang kegiatan tengah malam lalu di kamar mandi. Terhitung dua kali Sivan mimisan satu bulan ini. Ia belum berani memberitahu Kakek karena takut membuat Nenek jatuh sakit. Selama kunang-kunang nakal tidak mengerubungi mata, Sivan merasa aman. Selama denyutan menyakitkan bisa dikendalikan, Sivan akan tetap berusaha menahan semuanya sendirian.
Tidak ingin merepotkan dan membuat orang lain sedih adalah tujuan Sivan menanggung beban miliknya seorang diri. Entah sampai kapan Sivan mampu menampung semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...