Janu pernah menjadi anggota PMI kampus. Ia menjabat ketua PMI kampus dua kali berturu-turut. Tanpa revisi apapun, Janu mampu menyelesaikan prososal. Dilanjutkan bernegosiasi dengan pengurus PMR setempat untuk kembali mengaktifkan kegiatan relawan PMR. Tak perlu berlama-lama, pembina PMR menyetujui proposal yang Janu berikan, bahkan tiga hari setelah Janu berkunjung ke kantornya. Mungkin efek Gunung Merapi yang sedang tidak baik-baik saja. Semuanya menjadi serba dipercepat.
Kinerja Janu tak pernah mengecewakan Evan. Bagai teknologi masa kini yang serba bisa. Ia selalu merampungkan semua tugas dengan sempurna. Evan pun memesan banyak makanan lezat. Ucapan Beton kemarin menjadi kenyataan. Akan sering ada banyak makanan lezat di meja makan vila. Evan sering memberikan imbalan berupa makanan lezat kepada pegawai-pegawai setianya.
"Pengumuman pemilihan anggota PMR sudah disebar ke beberapa sekolah. Besok kamis aku akan mengunjungi sekolah Sivan bersama dengan salah satu pembina PMR untuk mengambil data siswa-siswa yang mendaftarkan diri sebagai relawan PMR. Berdoalah semoga nama Sivan tertulis di sana," info Janu di sela-sela kenikmatannya menghancurkan udang goreng bertepung tebal.
"Bagaimana jika Sivan tidak ikut mendaftar?" Tiba-tiba Evan pesimis. Ia telah memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Evan adalah pemimpin dengan pandangan terlalu mengarah jauh ke depan. Sehingga semua hal buruk tak pernah luput dari pertimbangannya.
"Itu sebabnya aku menyuruhmu untuk ikut aku ke sana. Aku mempunyai banyak rencana."
"Beton dan Joe memberi laporan jika Kakek Sivan mendidik Sivan terlalu keras. Setiap hari Sivan melakukan latihan fisik berat. Bagaimana jika ayah mertuaku tidak menyetujui keinginan Sivan menjadi relawan PMR?" imbuh Evan.
"Sudah aku bilang aku mempunyai banyak rencana. Sivan selalu rangking satu di kelas. Kita bisa memanfaatkan prestasinya."
"Oke. Kalau begitu besok aku ikut."
"Jangan lupa udang goreng ekstra dua piring, jika aku berhasil membuat Sivan menjadi anggota relawan PMR."
"Jangan lupa juga. Tempatkan Sivan di lokasi pengungsian yang tidak terlalu berbahaya dari zona erupsi Gunung Merapi," potong Evan cepat.
"Laksanakan!"
Intensitas Gunung Merapi mengeluarkan asap berwarna putih semakin sering. Itu terjadi karena sesuatu di dalam kawah sedang bekerja. Dari jendela kamar, Sivan menatap Gunung Merapi sambil sesekali berkedip lambat. Besok adalah hari terakhir ujian kenaikan kelas dan ia belum menentukan keputusan terkait kegiatan relawan PMR. Sejujurnya, itu kesempatan besar Sivan untuk belajar tentang kesehatan. Namun, bayangan wajah kecewa Kakek lebih menakutkan. Sivan menenggelamkan wajah di meja. Ia mendesah lelah di sana.
Ting! Notifikasi inbox facebook berbunyi nyaring. Sivan membukanya lambat dengan wajah malas. Ketika nama akun Orang Merapi terbaca, buru-buru ia mendongakkan kepalanya. Tubuh Sivan pun kembali duduk tegak sempurna.
[Orang Merapi] Maaf, kemarin Om sangat sibuk dan tidak ada waktu untuk membuka facebook.
[Sivan Mahaputra] Santai aja, Om. Aku juga sibuk.
[Orang Merapi] Sibuk apa?
[Sivan Mahaputra] Sibuk apalagi selain belajar, Om.
[Orang Merapi] Kamu masih ujian kenaikan kelas?
[Sivan Mahaputra] Sudah hampir selesai, Om. Besok hari terakhir ujian.
[Orang Merapi] Lalu, setelah ujian mau melakukan apa?
[Sivan Mahaputra] Kemarin temanku mengajakku ikut mendaftar relawan PMR Merapi, Om. Tapi, aku masih bingung.
[Orang Merapi] Kenapa bingung?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...