14.

755 96 3
                                    

"Ayah ingin aku menjadi tentara wanita. Aku anak perempuan satu-satunya di rumah. Setiap hari pulang berjalan kaki, tiga hari sekali berenang, dan satu minggu sekali latihan menembak. Sejak kecil Ayah udah masukin aku ke dunianya. Nggak tau kenapa, aku jarang dibelikan ayah mainan boneka." Sinta bersedia memberikan cuplikan kehidupannya kepada Evan. Gadis itu telah merasa nyaman bersamanya.

"Jadi, itu alasannya kenapa kamu selalu menolak ajakanku berangkat bareng ke sekolah."

"Maaf, ya."

"Tidak apa-apa."

Gadis tomboy dan terkenal galak satu sekolah itu berhasil Evan luluhkan dengan sebuah boneka Teddy Bear cokelat berpita merah. Gara-gara boneka beruang berpita yang dibelikan Evan, tatapan Sinta terhadap cowok itu tak lagi tajam. Evan mengajak Sinta mampir di Taman Menteng. Menikmati hawa panas kota Jakarta yang menyengat kulit.

"Masa, sih, ada ayah setega itu. Apalagi kamu anak perempuan satu-satunya. Seharusnya dia tahu kalau perempuan itu suka boneka," imbuh Evan.

"Aku juga sempet mikir kayak gitu. Tapi, ya udahlah. Mengalah aja daripada nanti malah jadi perang keluarga. Ayah nyeremin banget kalau lagi marah." Sinta memeluk boneka beruang yang beberapa saat lalu ia beri nama Bubu. Sekilas mimik mukanya menampilkan gurat-gurat ketakutan. Sinta berusaha menahan semua beban yang selama belasan tahun ia pendam. Jangan sampai Evan mengetahuinya. Sinta tidak ingin kencan pertamanya terasa menyedihkan.

Perasaan nyaman bersama Evan, membuat gadis berkulit putih itu hampir saja membagikan kepingan-kepingan masa sedihnya. Lantas, ia meremas-remas kedua tangan pendek beruang berpita sebagai pelampiasan. Di sisi kanan Sinta, Evan sudah menduga Sang Dewi sedang menyembunyikan sesuatu. Kedua manik yang biasanya menyala galak, kini tampak kuyu.

"Seperti apa ayah kamu kalau lagi marah?" Evan memancing Sinta untuk mengeluarkan gejolak emosinya. Ia ingin membuat Sinta merasa lega dan mengurangi sedikit beban pikirannya. Awalnya, Evan merencanakan kencan yang romantis. Namun, sepertinya ia masih harus memahami Sinta lebih dalam.

"Iya marah-marah aja. Ayah orangnya galak, tegas, dan nggak mau dilawan. Mama pernah cerita, waktu kecil Ayah juga dididik super keras sama Kakek. Mungkin itu juga yang menyebabkan emosi ayah tidak stabil sampai aku lahir."

"Kamu pernah dipukul?"

"Satu kali. Tapi, setelah itu nggak pernah lagi karena kejadian itu membuat penyakit jantung Mama kambuh sampai dirawat dua minggu di rumah sakit."

"Kok, kamu bisa tahan dididik keras seperti itu?"

"Karena aku anak perempuan tunggal satu-satunya. Aku harus kuat dan bisa membanggakan mereka, kan? Kalau bukan aku siapa lagi coba?"

"Tapi, kamu mengorbankan kebahagiaanmu sendiri, Sinta. Seharusnya Ayah kamu juga mau belajar memahami kamu."

"Nggak apa-apa. Aku ikhlas berkorban. Asal Ayah sama Mama bangga punya anak seperti aku."

"Aku bangga bisa suka sama kamu."

"Maksud kamu?"

"Tiga kata terakhir ditambah aku di depan."

"Hah?"

"Aku suka sama kamu."

Berhasil. Bola mata indah itu berbinar lagi. Evan memajukan wajahnya. Lima senti lagi menyentuh hidung memerah Sinta. Sinta melepas boneka impiannya. Tubuhnya membeku di tempat. Bibir tipisnya tak mau dibuka. Mesin pemompa darah kehilangan kecepatan normalnya. Pandangan Sinta mengabur tertimpa telapak besar Evan yang menyisir poninya. Satu kecupan lembut mendarat di kening mulus Sinta.

"Aku ingin jadi pacar kamu, Sinta."

"Kamu yakin? Aku nggak pernah punya waktu untuk diriku sendiri apalagi orang lain."

"Tidak masalah. Aku akan selalu mendukung apapun yang kamu lakukan."

Semua perkataan Evan membuat Sinta takluk. Semula Sinta kira Evan adalah siswa kaya yang hanya berbakat menjadi berandal. Si manis jadi merasa bersalah tidak pernah menghargai usaha-usaha pdkt yang Evan kerjakan. Jujur, awalnya Sinta hanya tertarik karena wajah Evan. Evan mempunyai mata idaman seperti pangeran di film-film favoritnya. Namun, kini ia mencintai hati dan pemikiran pemuda tampan di depannya.

"Bagaimana? Kamu mau menerima aku, kan?"

"I ... iya." Kembang api meledak di hati Evan. Hati-hati Sinta menyenderkan kepalanya di pundak tegap Sang Raja. Mencoba menumpahkan sedikit bebannya di sana. Ia sudah tak kuat menahan. Akhirnya, Sinta menemukan rumah untuk luka-lukanya. Evan meremat jemari dingin Sinta. Menyalurkan kekuatan untuk gadis yang kini resmi menjadi kekasihnya. Rintihan Sinta yang tersendat-sendat berubah menjadi tangisan memilukan.

Sang Raja dan Sang Dewi menjalin hubungan secara diam-diam. Apabila Haris tahu, Sinta bisa semakin kehilangan banyak waktu. Mereka rutin bertemu sepulang sekolah dan berkirim pesan melalui SMS. Sinta berusaha membagi waktu latihan dan sekolah demi bisa bersenang-senang bersama Evan. Mama, satu-satunya orang yang Sinta beri tahu, selalu mencari cara jitu untuk membantu Sinta lolos dari kecurigaan Haris.

"Besok kalau kita menikah. Aku janji akan menjadi ayah yang baik," ucap Evan tiba-tiba. Sinta berhenti memilah bibit tanaman anggrek untuk hadiah ulang tahun Mama. Gadis itu tertawa menanggapi celoteh random pacarnya.

"Hahaha, baru beberapa minggu jadian udah halu menjadi ayah."

"Aku serius, Sinta. Aku tidak pernah main-main sama ucapanku." Sinta mengiyakan saja dan menyetujui dengan anggukan ringan.

"Besok kalau kamu jadi ayah, sering-sering kasih hadiah ke anakmu, ya."

"Aku akan memberikan semua yang anakku suka dan aku akan mengorbankan apapun untuk membuatnya bahagia," jelas Evan. Tubuhnya menegak melihat pria berkaos hitam menggendong anak kecil melalui jendela lebar toko bunga. Diam-diam Evan ingin cepat dewasa.

Meskipun sudah berpawang. Sifat bar-bar Sinta tetap sama. Tidak berkurang, malah justru bertambah. Evan yang bucin kepadanya sering membangkitkan kebar-barannya. Ada saat di mana ia memaki Evan di sekolah atau di tempat biasa mereka menikmati waktu bersama. Evan yang belum terlalu bisa mengelola emosi, berusaha memahami. Ia menganggap kemarahan Sinta adalah efek didikan keras yang ayah gadis itu berikan. Evan benar-benar menepati perkataannya untuk mendukung semua yang Sinta lakukan. Ia resmi menjadi pacar teladan.

"Belajar! Bukannya malah santai-santai merokok." Sial, setelah beberapa bulan pacaran, Sinta memergoki kebiasaan buruknya. Merokok di atas pohon rambutan.

"Aku terlahir dari keluarga berada. Tenang saja. Otakku tercukupi nutrisinya." Evan sengaja menyombongkan diri untuk menggoda dewinya. Ia tak sabar melihat wajah menggemaskan Sinta ketika marah.

"Oya? Kita lihat aja nanti. Kalau nilaiku lebih tinggi dari nilaimu kita putus," ancam Sinta sungguh-sungguh.

"Oke."

"Kok, oke?"

"Aku tinggal berjuang dari awal lagi untuk mendapatkan kamu."

"Enak aja. Emangnya aku bakal semudah itu memberi kesempatan kedua buat kamu?"

"Harusnya."

"Kalau begitu, aku akan membuatmu sulit mendapatkan kesempatan kedua dariku. Evan Mahaputra, berdasarkan sikap burukmu pagi ini, aku menyatakan bahwa hubungan kita sampai di sini."

"Sinta-Sinta, bercanda, kok, pagi-pagi."

"Aku nggak sedang bercanda. Aku seribu persen serius. Aku nggak mau punya pacar pintar, tapi malas-malasan!" Sinta menghentakkan kaki mungilnya. Evan buru-buru turun dari atas pohon rambutan. Kakinya hampir terpeleset lumut.

"Hai, Sinta! Tunggu! Kamu beneran serius seribu persen putus sama aku? Sinta!!!"

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang