Jakarta, 2003
Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar nama Sinta. Wanita yang cantik. Senyumnya manis. Tutur kata lembut seperti Dewi Sinta. Sinta yang ini sedikit berbeda. Wajahnya betul cantik sekali. Senyumnya manis terasa seperti gulali. Namun, perilakunya tidak seperti wanita pada umumnya. Bisa dikatakan di luar batas normal kewanitaan. Sinta mahir berkelahi, mampu mengendarai sepeda motor laki-laki. Bahkan pernah mengikuti balapan pada malam hari. Itulah kenapa, Evan rela berjuang mengejar Sinta setengah mati.
Semua bermula di arena balap liar pada malam tahun baru. Sinta yang jatuh cinta lebih dulu. Gara-gara melihat wajah tampan Evan yang terlalu fokus melihat ke depan di garis start lokasi balapan liar. Sementara Evan jatuh cinta pada kemampuan Sang Dewi mengendarai sepeda motor laki-laki dan memenangkan pertandingan balap liar wanita malam itu.
"Namanya Sinta. Ternyata dia satu sekolahan sama kita. Ini nomor teleponnya," seru Janu sembari menyerahkan selembar kertas kecil berisi deretan angka. Evan menerimanya dengan wajah penuh luka. Kedua pipinya samar-samar terkepung biru. Terlihat beberapa bagian memar-memar. Evan baru saja dipukul seseorang.
"Ngomong-ngomong pipimu kenapa, Van?" Evan hanya tersenyum simpul kemudian menggelengkan kepala pergi meninggalkan Janu. Ini pertama kalinya Evan sangat bahagia mendapatkan pukulan, tendangan, dan tamparan. Beberapa saat yang lalu Sinta adalah pelakunya. Tentu saja gadis liar itu melakukannya dengan alasan.
Evan kalah perlombaan balap mobil. Ia melampiaskannya dengan menendang dan merusak tanaman-tanaman hias di taman sekitar lokasi balapan liar. Tidak sengaja Sinta beserta beberapa geng wanita alpha melihatnya. Mereka berniat untuk memberi Evan pelajaran. Perlu kalian ketahui, walaupun suka balapan liar, Sinta adalah seorang pecinta tanaman sejati. Evan sengaja tidak melawan karena yang memukul adalah Sinta. Dewi yang berhasil membuatnya jatuh cinta.
"Lain kali kalau mau merusak tanaman pikir-pikir dulu. Itu jenis tanaman mahal tau. Kasihan rakyat udah susah-susah bayar pajak buat mempercantik taman kota!" bentak Sinta memberikan toyoran bertenaga kuat ke kepala Evan. Sinta lalu berjalan dengan anggun meninggalkan Evan. Diikuti rombongan alpha female lainnya di belakang. Awalnya Evan kesakitan, tapi senyum dengan pipi merona menggantikan ekspresi kesakitannya.
"Awas saja." Evan kembali mengelus lembut pipi kirinya. Ia memasukkan kertas berisi nomor telepon Sinta ke dalam saku jaketnya, lalu masuk ke dalam mobil. Janu terlupakan di belakang. Ia berteriak hingga mengumpat memanggil nama Evan. Namun, sang raja yang tengah dimabuk asmara tidak mendengarkan. Evan akan menjadi seperti ini kalau sedang bahagia. Ia melupakan semua hal di sekelilingnya. Termasuk sahabat terbaiknya.
Sampai di rumah, Sinta kepikiran kejadian tadi di taman kota. Wajah tampan Evan tidak hilang dari benak Sinta hingga tengah malam. Empatinya menyesal semalaman karena sempat menyakiti pria yang malam itu membuatnya jatuh hati. Saat sarapan, tiba-tiba HP si gadis manis berbunyi. Sebuah pesan dari seseorang tidak dikenal mengajak ingin berangkat sekolah bersama. Orang itu bahkan mengaku sudah ada di depan rumah Sinta. Sinta tidak menggubris pesan itu dan langsung menghapusnya.
Tubuh Sinta terlontar, hingga punggungnya menabrak gerbang besi rumah.
"Hai, kamu Sinta, kan?" Evan bertanya dengan nada suara dibuat-buat. Terdengar sangat rendah. Sinta tidak menyukainya.
"Oh, kamu yang kemarin aku pukul, kan?" ejek Sinta.
"Yup, kenalin aku Evan. Aku tadi yang mengirim pesan." Mendengar kalimat kedua Evan, wajah Sinta berubah menjadi masam. Ia lalu berlari kencang ke arah selatan. Meninggalkan Evan dengan tatapan bingungnya. Evan segera tancap gas menyusul Sinta.
"Kenapa kamu tadi tidak membalas pesanku?"
"Terserah aku, dong, mau membalas atau tidak!" jawab Sinta ngos-ngosan,
"Jangan berlari nanti sampai sekolah tubuhmu tidak wangi lagi."
"Kok, kamu ngatur, sih?! Emangnya siapa kamu?"
"Bukannya mengatur, aku cuma ngasih saran saja. Aku adalah seseorang yang akan segera menjadi teman kamu seumur hidup."
"Najis! Jangan ajak aku ngobrol terus. Nanti aku tambah ngos-ngosan!"
"Ya kalau tidak mau tambah ngos-ngosan jangan berlari, Sinta."
"Aku harus terus berlari!"
"Memangnya kenapa kamu harus terus berlari?"
"Rahasia! Jangan kepo!" Sinta bisa ikut balapan motor, tapi sering berangkat sekolah tidak memakai apa-apa. Itu karena Ayah Sinta sangat ingin Sinta menjadi tentara wanita. Ayah Sinta mendidiknya sangat keras seperti laki-laki. Setiap hari Sinta harus pulang pergi ke sekolah berjalan kaki. Sinta merupakan putri tunggal di keluarganya. Ayahnya seorang tentara. Sejak dalam kandungan, ia telah dipersiapkan untuk meneruskan profesi ayahnya.
Sesampainya di sekolah, Sinta menjulurkan lidah ke arah Evan yang masih mengawasinya hingga masuk ke dalam kelas. Evan menggaruk kepalanya, kembali tersipu malu. Kedua pipinya pun sedikit berwarna merah. Ia sudah menduga bibir tipis Sinta akan mempunyai senyum manis yang sangat menawan.
"Sinta, lihat saja. Besok aku akan terus mengejarmu dan aku pasti bisa mendapatkan kamu."
Hari ini adalah hari keberuntungan Evan. Setelah satu bulan mengejar-ngejar Sinta di jalanan. Hujan deras membuat Sinta langsung menyetujui ajakan Evan duduk di jok belakang sepeda motornya. Mereka berdua berboncengan menggunakan jas hujan batman Evan menuju ke sekolah. Evan memanfaatkan kesepatan itu untuk mewawancarai Sinta. Menggali informasi-informasi dasar dari Sang Dewi. Evan bertanya kenapa pada saat MOS Sinta tidak terlihat. Sinta menjawab dengan jelas. Saat itu ia masih berada di Yogja menunggu sang ayah mengurus surat pindah tugas. Tanpa disuruh Sinta mau menyebutkan profesi sang ayah sebagai abdi negara berpangkat letda.
Alur romantis berlanjut. Menembus keramaian kantin, Evan membayarkan semua jajanan Sinta tanpa sepengetahuan si cantik. Sewaktu hendak membayar, penjaga kantin memberikan Sinta secarik kertas berisi tulisan yang meminta Sinta untuk menunggu pengirim surat sepulang sekolah. Cara pendekatan seperti itu Evan dapatkan dari Hendra, sang ayah. Sinta ingin membuang kertas itu, namun ia terlanjur merasa berhutang karena jajanan lezat yang dibayarkan oleh pengirim surat.
Wajah cantik gadis itu langsung berubah masam melihat sosok donatur jajanan kantin yang dibelinya. Evan justru menyukai ekspresi Sang Dewi yang telah membuatnya jatuh cinta berbulan-bulan.
"Maksud kamu apa? Aku bisa bayar jajanku sendiri."
"Kamu kaget tidak tiba-tiba ada yang jajanin kamu diam-diam?"
"Nggak."
"Tapi, kamu senang, kan?"
"Hmm, dikit."
"Berarti kalau kamu senang, kamu sudah menerima aku."
"Nerima kamu jadi apaan?"
"Mungkin sekarang jadi teman SMA, tapi siapa tahu besok jadi teman hidup, hahaha."
"Najis!"
"Kamu suka sekali ngomong najis, sih?"
"Emang ada yang melarang?!"
"Kamu tambah cantik aja kalau galak kayak gitu."
"Apaan, sih! Nih, uangnya. Makasih udah bayarin jajanku tadi pagi."
"Sama-sama. Kamu tidak usah balikin. Aku ikhlas, kok, jajanin kamu."
"Terima uangnya atau aku pukul?"
"Boleh cium saja? Mumpung sekolah sudah sepi."
"Najis!"
"Oke-oke. Bayar pakai kencan bisa?"
"Hah?"
"Aku serius. Ayo kita kencan, Sinta."
Sang Dewi terperangkap. Ada perasaan aneh merambati hati Sinta. Perasaan yang sebelumnya belum pernah gadis itu rasakan seumur hidupnya. Tiga kata itu mampu membuat fokus Sinta buyar. Selama ini, ia sibuk dididik keras oleh ayah. Membuatnya lupa jika ada kata bermakna indah bernama kencan di dunia. Sinta belum pernah merasakan kencan seperti apa. Gadis manis itu tidak menyangka, mendengar kata kencan bisa membuatnya seperti merasakan surga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...