77.

288 21 0
                                    



"Sivan kangen Mama ...."

Detik itu juga otak Evan berhenti bekerja sementara. Kebingungan menyumbat kemampuannya berpikir. Ia menginginkan Janu tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Terserah mau melakukan apa saja di dalam. Evan tak akan menghalanginya berbicara hingga mulutnya berbusa. Atau jika bukan Janu, Evan harap perawat berwajah galak tadi masuk untuk memastikan cairan infus Sivan masih banyak.

Lima menit terbang sia-sia. Evan kembali pada kenyataan yang ada.

"Aku pengin nengok makam Mama, Yah. Ayo kita ke Jakarta," ulang putranya.

"Sivan, kamu baru sembuh pasca operasi dan sekarang lagi sakit."

"Tapi, dokter sudah bilang nggak ada masalah. Butuh berapa kali lagi aku harus mengulang kalimat aku udah nggak apa-apa?" Sivan yakin akan keputusannya. Ia tahu betul resikonya bagaimana.

"Oke. Ayah tes sekarang." Usai mengatakannya Evan mengutuk dirinya sendiri. Sivan belum lama siuman dan tanpa berpikir puluhan kali ia mengatakan itu kepadanya. Setelah ini Evan akan meminta Janu untuk memukulnya habis-habisan. Karena sudah terlanjur Evan terpaksa melanjutkan. Ditambah lagi harta karunnya malah tersenyum lebar mendengar kalimatnya.

Sivan yang telah ditakdirkan polos sejak lahir menyanggupi saja. Tak memikirkan dampak dari risiko yang lainnya. Ia bucin Mama nomor satu.

"Coba sekarang bangun dari ranjang. Tanpa bantuan Ayah." Evan benar-benar akan memukul kepalanya sampai pecah jika sesuatu terjadi lagi dengan putranya. Sivan tertawa sebelum memberantaki selimut rumah sakit. Meminggirkan selimut lalu bangun dari ranjang pesakitan.

"Gampang itu mah." Semua gerakan bangun sukses Sivan lakukan. Saat ia tengah menaruh kedua kaki di sisi ranjang tragedi kecil terjadi. Sivan lupa sebelah tangannya ditanami selang berisi cairan infus yang masih mengalir. Terlalu fokus menelisik wajah pucat anaknya, Evan juga tak sadar posisinya paling dekat dengan tiang penyangga infus.

"Aduh!" rintih Sivan merasakan sebelah tangannya tertarik. Benar saja, infusan Sivan lepas sedikit. Untung tak sampai berdarah. Evan hampir terkena serangan jantung. Tenggorokannya terasa dicekik.

"Nggak apa-apa, Ayah. Cuma ketarik sedikit. Aku lanjut jalan, ya."

Sivan memegang tiang infus, berdiri dari tempat tidur. Gerakannya terlihat dipaksakan. Evan diam karena ikut merasakan kesusahan anaknya. Hanya untuk bangun dari ranjang saja kening Sivan dibanjiri keringat. Pria itu merasa bersalah sekarang. Sungguh ia akan meminta maaf kepada Sivan setelah tes dadakan ini berakhir. Semoga berakhir baik.

"Lihat, Sivan bisa melakukannya, kan. Sivan udah kuat, Yah."

"Coba sekarang berjalan." Evan malah mengundang mala petaka. Janu segeralah datang dan mencingcangnya.

"Berjalan ke mana?" balas Sivan.

"Sampai ke pintu. Om Janu ada di luar. Suruh dia masuk." Entah setan atau iblis apa yang merasuki Evan sekarang. Ia hanya ingin Sivan beristirahat saja sejak awal. Mencegahnya melakukan hal-hal yang membahayakan. Sang putra malah meminta hal-hal ceroboh di luar kendalinya.

Rumah Jakarta tempat tinggal mereka bersama Sinta adalah bangunan nomor satu yang tidak ingin Evan datangi lagi setelah RSUD Sleman. Semenjak tragedi perampokan, rumah itu dibiarkan kosong tanpa penghuni. Satu bulan sekali rajin dibersihkan oleh orang suruhan Hendra.

"Siap. Tapi, bisa tolong Ayah pegangin tiang infusnya. Tanganku pegal." Itu sudah membuktikan jika Sivan masih membutuhkan penjagaannya.

Evan mengikuti Sivan berjalan seperti siput menuju pintu ruangan, Di luar dugaan, Sivan berhasil selamat sampai tujuan. Tanpa merasa pusing walau lemas. Namun, Sivan tak bisa langsung membuka pintu. Selain dipegang, pintu itu juga harus didorong ke samping. Sivan tak kehilangan banyak tenaga untuk menggerakannya.

"Biar Ayah saja yang menggeser pintunya." Evan menawarkan diri.

"Nggak boleh."

"Kamu sudah berhasil, Sivan."

"Berarti kita akan ke Jakarta menjenguk makam Mama, ya?"

"Nanti kita bicarakan lagi."

"Bilang iya dulu."

"Kita geser pintunya dulu."

"Nggak mau."

"Harus mau."

Terlambat. Pintu digeser dari luar. Lima puluh persen menampilkan tubuh Janu. Tiga detik kemudian mata mengantuk pria tinggi itu menyembul seram. Mendapati Sivan dan Evan masih berebut menggeser pintu. Mereka tidak sadar pintu sudah terbuka setengah. Tubuh Janu bisa lelusasa masuk ke dalam ruangan hanya dengan sekali melangkah.

"Pak Evan Mahaputra ...." Panggil Janu. Terdengar seperti roh jahat.

"Gawat," desis Evan. "Sivan, ayo kita kembali ke ranjang." Sivan baru akan melangkah, tetapi sesuatu basah mengaliri telapak tangannya. Sensasi dingin membuatnya tersentak.

"Ayah! Punggung tanganku berdarah!"

Tidak ada yang berhasil menang memperebutkan pintu. Janu tak jadi membabat mereka. Ia keluar ruangan lagi untuk memanggil beberapa perawat yang berjaga. Begitu membantu Sivan berbaring di atas ranjang, Evan lantas memencet tombol darurat berwarna merah.

Tak sampai dua menit perawat pertama datang. Evan menjelaskan semuanya kecuali ujian Sivan berjalan. Putranya memejam ditangani tiga perawat. Tak berani melihat sekelilingnya. Janu menarik Evan keluar meminta penjelasan.

"Kamu udah gila, Van? Anak baru aja sadar malah dibiarin berjalan."

"Sivan kangen Sinta. Aku ingin memastikan dia kuat untuk pergi ke Jakarta."

"Ya, tapi nggak gitu juga."

"Sengaja aku lakukan. Aku yakin Sivan masih belum kuat. Biar dia merasakan dan menyadari sendiri keadaannya. Aku tidak akan memulangkannya ke Jakarta kalau keadaannya belum pulih."

"Tapi, bukannya kamu ingin melanjutkan pengobatan Sivan di sana?"

"Dokter yang menangani operasi Sivan tadi sekalian memeriksa. Katanya, sudah tidak ada masalah. Hanya tinggal perbanyak istirahat saja."

"Okelah. Akan kucarikan tiket pesawat sekarang."

"Kita pakai mobil saja. Jika di tengah jalan Sivan sakit kita bisa langsung mencari rumah sakit."

"Iya juga."

Di tengah-tengah ruang tamu luas bernuansa biru itu, Renjana tampak termenung. Selembar kertas berisi tulisan-tulisan data medis membuatnya bingung. Dokter Retnosari bersama rekan psikolognya baru saja mengumumkaan hasil diagnosis Haris. Sesuai dengan dugaan Renjana, Evan, dan juga Janu. Kakek Sivan menderita depresi mayor akibat kematian Sinta. Sampai sekarang Haris kesulitan melepas rasa kehilangannya.

Selain itu, Kakek juga didiagnosis demensia. Sejak dirinya mengusir paksa Evan menggunakan senjata dan hendak menembaknya, Haris tak pernah mau berbicara. Setiap malam mengigau memanggil kedua wanita berharga dalam hidupnya. Tiga hari ini sudah bisa diajak komunikasi, namun melantur kemana-mana. Haris kehilangan dunianya yang sekarang. Ia terjebak di masa Sinta dan Andriyani masih ada. Di dunia yang ia ciptakan sendiri di dalam pikirannya,

"Ya Tuhan ...." Kedua mata Renjana berkabut. Ia kalut. Tidak ada keluarga lain di Yogya yang bisa mengawasi kakaknya apabila ia pulang ke Jepang. Renjana juga tak mungkin membawa sang kakak ke sana karena ia tinggal bersama orangtua Yuka, istrinya. Tetapi, ia tak tega bila harus memasrahkan Renjana pada rumah lansia.

Tanpa sengaja mata berair pria itu menangkap foto Sinta di dinding ruang tamu. Nama Evan menggema di kepalanya. Ia yakin pria bertanggung jawab itu dapat membantu.

"Halo, Van. Gimana keadaan Sivan?"

"Sudah membaik. Tinggal menunggu infusnya habis. Besok sudah bisa pulang."

"Syukurlah. Aku ikut senang."

"Keadaan rumah aman, Opa? Ayah bagaimana? Dokter Retnosari hari ini jadi datang ke rumah, kan?"

"Ya. Satu jam yang lalu beliau sudah pulang."

"Hasilnya bagaimana?"

"Van, maaf. Aku benar-benar butuh bantuanmu."

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang