16.

677 91 16
                                    

"Selamat ulang tahun putra kesayangan Mama sama Ayah." Sinta mencium semua sudut wajah lembut Sivan. Sivan hanya memandang kue ulang tahunnya dengan wajah lesu. "Sekarang tiup lilinnya," bujuk Sinta.

"Nggak mau," tolak Sivan sedari pagi.

"Kenapa nggak mau? Sivan sakit? Kok, wajahnya cemberut, gitu." Sinta meraba-raba pipi Sivan.

"Sivan mau tiup lilinnya kalau Ayah udah pulang."

"Sivan lupa kemarin Ayah pamit kalau ada pekerjaan mendadak di Singapura?"

"Ayah pamitnya sama Mama waktu Sivan masih tidur di kamar."

"Oh, iya. Mama lupa." Sinta mendekap pungung mungil sang putra, Memeluknya dari samping. "Gini aja. Sivan tiup dulu lilinnya. Kalau Ayah udah pulang, kita hidupin lagi. Pesta ulang tahun Sivan jadinya dua kali? Gimana?"

"Beneran, Ma?" Sivan tersenyum melihat Sinta mengangguk. "Yey! Sivan bakal ulang tahun dua kali!"

"Ayo tiup lilinnya." Bukannya semakin girang, Sivan menjerit kencang ketika lilin berhasil dimatikan. Lampu ruang tamu yang menerangi kebahagiaan mereka mendadak mati. Semua penerangan di ruangan lain pun sama. Suasana menjadi mencekam. Di rumah, hanya ada Sinta berdua saja bersama Sivan. Para bodyguard sedang mengurus sesuatu di luar.

"Mama ... Sivan takut ...."

"Nggak apa-apa, Sayang. Tenang, ada mama." Sinta mengeratkan pelukannnya pada tubuh Sivan. Suara kaki yang kian dekat membuat insting perlindungan Sinta menyala tajam. Beberapa detik kemudian langkah-langkah itu menggema banyak. Sinta yakin penyelundup yang masuk ke dalam rumahnya tidak hanya berjumlah satu orang. Lampu menyala. Detik itu juga, lima orang berpakaian hitam mengepung mereka. Dua dari mereka menodongkan senjata. Tiga orang lain melipir ke tangga hendak menguras benda-benda berharga di lantai dua.

"Siapa kalian!" teriak Sinta.

"Diam atau kami hancurkan rumah kalian!" bentak salah satu dari dua orang yang menodongkan senjata.

"Mau apa kalian ke sini?! Disuruh siapa kalian?!" Sinta berusaha keras menyembunyikan wajah Sivan dalam dekapan. Tak akan ia biarkan Sivan melihat dua moncong pistol mengarah ke tubuh mereka. Sivan mengintip salah satu penyusup yang memakai topeng badut putih. Kedua mata kecilnya menutup ketakutan. Salah satu dari dua penyusup itu menarik tangan kanan Sivan. Mencoba memisahkan dari dada Sinta. Sinta memukul lengan pria bertopeng badut dengan brutal. "Jangan ambil anakku! Lepaskan anakku!"

Empat letupan dahsyat menghancurkan keheningan malam itu. Lantai ruang tamu dibanjiri aliran merah. Semua sisi sofa terkena cipratan darah dari tubuh Sinta. Sivan yang terlepas dari pelukan Sinta, menatap sang mama dengan kedua bola mata hampir keluar.

"Bodoh!!! Kenapa lo tembak!!!" Penyusup bertopeng badut membanting tubuh Sivan ke lantai. Sivan terduduk lemas menghantam keramik. Kelopak sayu Sivan tak bisa berkedip menyaksikan Sinta tertembak di depan matanya. Penyusup bertopeng menunduk di samping Sinta memeriksa nadinya. Empat peluru dengan sadis menembus perut dan kedua pundak Sinta.

Sivan merangkak menuju kaki Sinta. Posisi Sinta masih terduduk di sofa. Sofa putih itu memerah, menyerap semua genangan darah yang masih mengucur dari perut Sinta. Di sisa-sisa kesadarannya, Sinta berusaha menggapai pergelangan tangan penyusup bertopeng yang masih memeriksanya.

"Jangan ... jangan sakiti ... anakku ... kumohon ...." Penyusup itu mendengarkan rintihan Sinta. Semua ibu di dunia sama. Selalu mengingat anaknya meskipun dalam keadaan sekarat. Sampai di kedua kaki Sinta, Sivan mendekapnya erat. Kemudian bergerak naik memeluk perut bersimbah darah Sinta.

"Mama ...." Tubuh Sivan terguncang hebat sembari memeluk perut Sinta. Sinta berkedip lemah merasakan kepala Sivan menindih perutnya. Penyusup bertopeng badut putih itu membalas genggaman tangan Sinta, membawa serta mendaratkannya di atas kepala Sivan. Sinta mulai membelai kepala Sivan dengan sisa-sisa kekuatannya.

"Sivan ... Mama ... nggak apa ... apa ...."

"Tapi ... perut sama pundak Mama ... berdarah ...."

Penyusup bertopeng memandang Sivan dan Sinta bergantian. Hingga si pelaku penembakan bersama tiga penyusup yang telah membawa harta rampokkan berteriak menyuruhnya meninggalkan ruangan. Sinta mulai kesusahan mengambil napas demi mempertahankan kesadarannya dan mengajak Sivan berbicara.

"Sivan ... jadi anak ... baik ... ya ...."

"Mama jangan pergi!" jawab Sivan isteris. Getaran di tubuh kecilnya semakin tak terkendali. Nyeri menjalar di seluruh kepalanya. Sivan melemas di perut Sinta. Wajah dan tubuhnya dipenuhi darah.

"Mama ... nggak akan pergi ... Mama ... mau tidur sebentar ... tolong ... Sivan telepon Ayah sama Kakek, ya ... sekarang ...."

Bocah yang hari ini berumur tujuh tahun itu berlari menuju meja di sudut ruangan. Dengan jari-jari yang bergerak ketakuran, Sivan berkali-kali gagal menekan tombol panggilan. Melihat putranya sedikit menjauh, Sinta memuntahkan banyak darah. Ia berusaha menahan selama Sivan memeluknya. Histeris Sivan kembali terdengar memanggil-manggil sosok Evan.

"Ayah!!!"

"Halo ... Sivan?"

"Pulang! Pulang sekarang, Ayah!"

"Hei, hei, Sivan panik kenapa?"

"Perut Mama ... perut Mama berdarah ...."

"Sivan sama siapa di rumah?! Di mana Mama sekarang?!"

"Takut ... Sivan ... takut ...."

"Sivan!!!"

Sivan melepas gagang telepon. Pandangannya mengabur. Sivan berusaha merangkak kembali ke sofa. Lalu, menjatuhkan kepalanya di perut Sinta. Sinta masih bisa merasakan getaran pada tubuh putranya. Kedua mata indahnya menutup perlahan. Sambil terus mengelus punggung Sivan, wanita itu mengambil napas panjang. Hingga beberapa menit kemudian elusan lembut terhenti.

"Keparat!!! Bajingan!!! Kemana kamu waktu Sinta dan Sivan di rumah? Bukankah dulu kamu sudah berjanji untuk selalu menjaga dan melindungi mereka? Mana janji kamu? Dasar mulut busuk kamu!!!" Evan menerima semua pukulan dan tendangan Ayah Sinta. Sudah tujuh hari sejak pemakaman Sinta, namun kemarahan Haris seperti tidak akan pernah sirna.

"Seharusnya dari dulu aku tidak mengizinkan putriku menikah denganmu! Pembohong busuk!" Sebuah tendangan keras mengenai perut Evan, membuatnya terlempar beberapa meter ke belakang. Ayah Sinta berbalik badan. Berjalan dengan wajah marah menuju sosok kecil di depan. Kedua kakinya jatuh di depan kursi roda. Semua kemarahan di wajahnya lenyap. Memandang sedih anak laki-laki pucat di atas kursi roda.

"Sivan ... " panggil Haris lembut. Tak ada tanggapan sopan seperti biasa yang Sivan lakukan. Hati Haris bagai teriris belati. Teringat perkataan dokter bahwa dunia Sivan tidak akan bisa ceria lagi.

"Sivan ikut kakek, ya. Sivan akan aman bersama kakek. Kakek tidak akan pernah meninggalkan Sivan. Kakek akan selalu membawa Sivan kemanapun kakek pergi. Kakek berjanji."

"Mama ...." Seluruh pikiran Sivan masih dipenuhi Sinta. Sejak kepergiannya, Sivan tidak pernah lagi bermimpi indah. Tidak bisa makan dengan nikmat. Tidak bisa mengingat bahwa ia masih memiliki Evan di sisinya.

"Iya, iya. Kakek paham. Nanti kita mampir jenguk makam Mama lagi, ya." Ayah Sinta memeluk, kemudian mengangkat tubuh lemas Sivan. Kepala Sivan terkulai di pundak Haris. Evan mencoba mendekat namun kembali mendapat tendangan keras dari Haris. Tubuh Evan menghantam tanah. Tenaganya habis terkuras. Haris terus-terusan memukulinya semenjak hari pemakaman Sinta. Hari ini, Evan datang untuk menjenguk keadaan Sivan di rumah sakit, namun kembali pukulan dan tendangan yang dia dapatkan.

"Ayah! Tunggu! Jangan bawa pergi Sivan!"

Haris meninggalkan teriakan-teriakan menyakitkan Evan di belakang. Sivan menangis melihat Evan terbaring di tanah dengan wajah kesakitan. Evan mengerang memegangi perutnya. Dengan sisa-sisa tenaga ia berusaha tetap melihat wajah putranya yang semakin jauh dari jangkauannya. Putra kecil kesayangannya, harta berharganya, terus melihat Evan yang juga setia menatapnya. Hingga lorong rumah sakit memutus jumpa mereka. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang