72.

293 17 0
                                    

Tautan jemari ayah dan anak itu lepas. Juno mengetuk pintu kamar. Beberapa saat yang lalu Janu telah mendahului masuk. Meminta izin Evan mengambil baju Sivan yang kira-kira muat untuk dipakai Juno berganti. Tak ingin menganggu mereka lebih lama, Janu menarik asal kaos olahraga SMA Sivan dan sebuah celana training yang letaknya bersebelahan. Evan tak menyapa Janu hingga kehadirannya digantikan Juno.

Juno menyusul ke kamar atas permintaan Evan sendiri. Ia juga ingin berganti baju. Khawatir bau lepeknya membuat kenyamanan Sivan terganggu. Setelah memastikan kedamaian tidur sang putra tidak terusik karena dirinya beranjak dari ranjang. Evan berjalan mundur dan mempersilakan Juno masuk. Bocah itu cukup lama berdiri di depan pintu.

"Sivan belum minum obat. Tadi mau aku ambilkan, tapi tidak mau ditinggal. Sekarang dia sedang tidur," jelas Evan. Begitu keluar pintu Janu menyambutnya membawakan sepasang pakaian yang dipinjamkan Renjana.

"Nggak apa-apa. Sivan pasti kelelahan karena berjuang keras berjalan mengejar kamu," sahut Janu. Evan mengangguk sembari mengalungkan handuk di leher. Janu mengikuti Evan meninggalkan kamar.

"Kenapa kamu tidak ikut Juno masuk?"

"Aku masih nggak tega lihat keadaan Sivan. Kayaknya aku bakal nangis lagi kalau masuk sekarang." Pria berhanduk di depan tersenyuh mendengar jawabannya. Semua kerja keras dan usaha Janu untuk membantu bertemu sang putra melintas satu per satu di kepala Evan. Kalau akhirnya ternyata ia bisa memeluk Sivan seperti sekarang, Evan tak akan pernah melawan semua nasihat Janu dari dulu.

"Terima kasih atas semua bantuannya." Tepukan keras Evan daratkan ke pundak kanan sang sahabat. Cara Evan mengatakannya terdengar begitu tulus. Sesuatu menghantam relung hati Janu. Ia ikut merasa terharu.

"Gimana rasanya bertemu keajaiban, Van?" tanya Janu. Pertanyaan uniknya menyebabkan Evan menaikkan satu alis. Jarang sekali Janu menanyakan hal-hal spiritual macam itu. Seingatnya, hanya beberapa kali sepanjang persahabatan mereka.

"Keajaiban apa?" Mereka telah sampai di depan tangga turun. Evan menggapai pegangan tangga. Berusaha berjalan sembari menahan kesakitan yang terus menghabisi kekuatannya. Bukan Janu namanya jika ia tidak mengetahuinya. Maka, sengaja ia mempersilakan Evan berjalan dahulu. Ia berjaga di belakang apabila Evan kehilangan keseimbangan. Ia akan menunggu sampai Evan selesai membereskan tubuh lalu mengobati semua luka-luka di tubuhnya.

"Kalau bukan keajaiban, lalu kata apa yang tepat buat kejadian yang kita alami tadi, Van?"

Perjalanan kaki Evan terhenti di tengah-tengah undakan tangga, "Hadiah dari Tuhan. Terserah kalian mau bilang apa. Tapi, aku menganggapnya sebagai hadiah dari Tuhan."

"Ya, itu saja. Hadiah dari Tuhan. Rasanya lebih indah diucapkan." Janu memulai langkah pertama.

Punggung kuat itu tak lagi membungkuk. Kembali tegap dan cara berjalan Evan pun normal. Janu menerbitkan senyuman pertama setelah badai menghancurkan emosinya. Evan benar-benar menjadi dirinya lagi seutuhnya. Aura semangat hidupnya terpancar jelas. Memang benar apa yang Joe dan Beton katakan, Sivan satu-satunya alasan Evan untuk bertahan menjalani kehidupan.

Di kamar Sivan, diam-diam Juno melanjutkan tangisnya. Menggunakan salah satu bantal yang menganggur untuk menutup wajah sembabnya. Ia tak menyangka doanya beberapa saat yang lalu dikabulkan langsung Sang Pencipta. Ia berharap isakannya tak menuntun Sivan pada kesadaran. Juno belum siap mengajak Sivan bicara. Tragedi hari ini sama sakitnya seperti ia mendapati berita kepulangan ibu dan ayah ke surga. Membuatnya sampai tidak kuat untuk berkata-kata.

Juno menjauhkan bantal dari wajah. Meletakkannya kembali pada posisi semula di sudut ranjang sahabatnya. Lalu, fokusnya jatuh pada wajah memejam adiknya.

"Janji sama aku, ya. Mulai hari ini kamu nggak boleh sedih lagi. Kamu udah berhasil bertemu ayah yang selama ini kamu tunggu-tunggu, Sivan." monolog Juno membetulkan salah satu bagian selimut Sivan yang berantakan.

"Kamu tenang aja. Aku tetap anggap kamu adek aku. Walaupun udah ada Om Evan, aku nggak akan berhenti buat jagain kamu," lanjut Janu. Kilatan di kedua matanya memancarkan kesungguhan.

Deru barisan hujan menganggu Janu yang sedang berbicara dengan manusia lain melalui gawai. Renjana baru selesai menyimpan senjata laras panjang Haris di dalam lemari. Melewatinya untuk membawakan makan malam kakaknya. Janu berdua dengan Juno yang duduk melamun menghadap pintu. Ia ingin segera mengakhiri pembicaraan agar ia bisa menemani remaja itu duduk. Tetapi, orang di sambungan telepon tak juga memberinya titik pemberhentian.

"Mau pulang sekarang? Biar aku antar ke rumah." tanya Janu usai mematikan cahaya di layar gawai.

"Bentar lagi aja, Om. Di luar hujan deras."

"Oke." Janu menaruh gawainya di atas meja tamu. Bersama Juno, ia ikut menikmati ketenangan hujan. Sebenarnya, Janu ingin mengatakan sesuatu untuk remaja yang masih termenung itu.

"Kamu nggak apa-apa, kan?"

Kepala Juno mengayun. Janu melempar pandang ke jendela. Derasnya air hujan menyembunyikan pemandangan luar. Hal itu membuatnya tidak tenang.

"Kalau ada masalah cerita, ya."

"Cuma masih kaget aja, Om. Nggak nyangka Kakek Sivan sebenci itu sama Om Evan. Sampai nekat ingin membunuhnya."

Janu menarik sudut bibir membentuk senyuman.

"Dari beberapa buku, artikel, dan jurnal psikologi yang pernah aku baca. Khususnya buku psikologi yang membahas tentang trauma, masalah yang dialami Kakek Sivan termasuk ke dalam lima tahap kesedihan."

"Kesedihan ada tahap-tahapnya?"

"Ada. Istilah Bahasa Inggrisnya five stages of grief. Pernah diteliti oleh seorang ahli kejiwaan. Namanya siapa aku lupa. Menurutnya, ketika seseorang mengalami peristiwa kepahitan dalam hidup, misalnya bencana alam, kegagalan dalam mengejar cita-cita, dan kehilangan orang tersayang. Ia akan bertemu lima tahap kesedihan."

"Tahap pertama adalah denial. Artinya penyangkalan. Belum bisa menerima kenyataan atas kepahitan yang dialaminya. Kedua anger, kemarahan. Ia marah atas semua kepahitan yang menimpa hidupnya. Ketiga bargaining, penawaran. Orang yang mengalami kesedihan mulai menyesal dan berkhayal andai kejadian pahit itu tidak terjadi. Tahap keempat adalah depression. Kamu pasti sudah tau artinya apa, kan?"

"Ya. Depresi."

"Ini tahap yang paling berat. Karena di tahap ini semua emosi, rasa sakit, dan penyesalan berkumpul menjadi satu. Hanya diri kita sendiri yang bisa menentukan mau keluar dari tahap itu dan lanjut menuju ke tahap selanjutya atau tidak. Terakhir adalah acceptance. Ini tahap yang membahagiakan. Pada tahap ini, seseorang sudah menerima dengan ikhlas atas semua kepahitan dan kesedihan yang dialaminya."

"Kayaknya Kakek terjebak di tahap depresi."

"Menurutku juga begitu. Tapi, kita nggak boleh mendiagnosis sendiri hanya dengan menggunakan teori. Besok Dokter Retnosari akan datang lagi memeriksa Kakek Sivan."

"Kalau Sivan masuk tahap apa, Om? Dia melihat di depan mata dan kepala sendiri Mamanya Sinta ditembak perampok di Jakarta. Sampai sekarang, ia selalu takut melihat darah, berbagai jenis topeng, dan mendengar suara keras. Traumanya juga kadang masih sering kambuh. Itu pasti termasuk ke dalam lima taham kesediha itu, kan."

"Untuk kasus Sivan aku tidak bisa menjawab. Biarkan Dokter Retnosari saja."

"Sivan belum sembuh, Om. Aku yakin Sivan belum sampai di tahap acceptance seperti yang Om Janu. jelaskan"

Janu gagal mengutarakan berita penting yang seharusnya ia sampaikan kepada Juno. Pembahasan mereka mengenai lima tahap kesedihan mengingatkannya juga pada kondisi Evan. Apakah sahabatnya berhasil melewati tahapan-tahapan kesedihan. Evan dilalui cobaan berat dalam hidupnya. Apakah ia benar-benar ikhlas menerima semuanya?

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang