93. Sivan: After Story

126 13 0
                                    



Tidak sulit menemukan rumah pemilik Cokelat Semangka. Bukan karena warna catnya. Bukan pula karena ada banyak kendaraan berbaris rapi di sepanjang jalannya. Warna hijau agak sedikit gelap seharusnya tidak menimbulkan masalah. Masyarakat  juga tidak menganggapnya sebagai warna norak. Tetapi faktanya memang hanya rumah itu sendiri yang berwarna hijau gelap. Yang membuat Sivan dan Juno menahan pintu mobil terbuka adalah bentuk bangunan rumahnya. Berbentuk tabung menyerupai badan buah semangka.

Lebih tepatnya semangka raksasa yang mempunyai atap. Entah bagaimana cara para pekerja bangunan dan arsitek bekerja sama untuk membangunnya. Bentuk rumah pemilik Cokelat Semangka hampir bulat sempurna. Konon, dulu dindingnya tegak tidak berbeda dengan perumahan pada umumnya. Sivan dan Juno mendapat informasi tambahan dari Robi, bahwa pemilik Cokelat Semangka adalah pribadi eksentrik dan pecinta seni.

Ia menyisihkan uang tabungan untuk mewujudkan rumah bertema semangka. Membongkar desain lama dan membangun rumah impian sesuai dengan keinginan masa kecilnya.

Juno menelisik hidung yang baru saja disambar lalat. "Rumah owner-nya saja seperti ini. Bagaimana dengan gedung galeri dan toko cokelatnya?" gumam Juno kepada dirinya sendiri.

"Galeri dan toko cokelatnya satu bangunan lantai tiga. Kemarin aku melihat fotonya di proposal Ayah." Sivan sedikit memaparkan agar Juno tidak banyak bertanya.

"Semoga saja pemiliknya normal, ya. Kita sudah menabrak kucing, jangan sampai ketemu hal aneh-aneh lagi."

"Tapi, dilihat dari desain rumahnya kayaknya beliau bukan orang biasa seperti kita, No."

"Aku hitung mundur, ya. Tiga ... dua ... satu ...." Juno membuka pintu mobil diikuti Sivan.

Setelah memencet tombol bel, gerbang besi dibuka dari dalam oleh seorang pria berkaos hitam. Lengan kaosnya terlalu pendek sehingga tato macan kumbang di masing-masing lengan besarnya terlihat. Sivan dan Juno tidak bisa menyembunyikan ekspresi ketakutan. Itu terjadi karena gerbang rumah terlalu berat.

Pria itu keberatan mendorong gerbang dengan wajah sangat seram. Seperti preman saat melakukan pemalakan. Juno meminta Sivan masuk dan berencana lebih dulu mengucapkan terima kasih. Usai menjalankan tugasnya membuka dan menutup gerbang, pria berwajah preman itu tersenyum menyambut mereka. Wajahnya yang semula galak berubah seperti berganti topeng.

Pria bertato macan kumbang membimbing sampai masuk ruang tamu. Kedua jempolnya dimiringkan searah menyuruh dua pemuda duduk. Pemandangan kini seratus delapan puluh derajat berbeda dengan penampakan di luar rumah. Sivan duduk dikelilingi lukisan indah bertema timur tengah. Sebagian besar adalah lukisan masjid, padang pasir, unta, dan kaligrafi. Lukisan kabah sudah tentu ada. Banyak guci bermotif khas Arab di lemari kaca. Patung-patung unta kecil dan piramida Mesir saling berdampingan menghiasi meja panjang di dinding sebelah utara. Karpetnya selembut sutra. Tidak perlu diragukan, pasti dibuat dari timur tengah juga.

Bendera negara yang Sivan tahu sampai sekarang belum merdeka dipajang di dinding menghadap kursi tamu. Sengaja dibiarkan di sana agar setiap tamu yang datang bisa sengaja atau tidak sengaja melihatnya.

"Siv, jangan-jangan pemiliknya seorang kiai," bisik Juno.

"Bukan, beliau ...." Penjelasan Sivan terputus.

"Akhirnya datang juga. Selamat datang, selamat datang!" Teriakan itu berasal dari gorden tebal merah bermotif renda kuning khas timur tengah. Di bawah gorden terlihat sarung abu-abu yang memunculkan sepasang kaki tak beralas.

"Aku paling menanti kedatangan kalian!" Gorden tebal itu tersingkap. Tidak hanya sepasang kaki yang tampak. Di balik gorden muncul tubuh sosok laki-laki tinggi, berbaju koko putih, mengenakan peci, dan tidak ketinggalan surban. Ruang tamu seketika diserbu bau khas acara pengajian.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang