(Peringatan: tindakan kekerasan dan senjata tajam)
Lipatan sayap elang terbuka. Mengepak meninggalkan ranting pohon jati yang sedari tadi menjadi tempat berlindung dari pemburu yang mengejarnya.Teriakan-teriakan dan umpatan-umpatan kasar manusia di dalam rumah bercat biru membuatnya tak nyaman. Haris memaki Evan tanpa memandangnya sebagai manusia. Anjing, babi, dan binatang-binatang kasar lain menyembur dari dalam mulutnya.
Emosi pensiunan tentara itu meledak seperti bom. Dalam sekejab menjadi sosok yang berbeda. Meluluhlantahkan semua hal di sekelilingnya. Haris mampu mengangkat guci seberat 20 kg milik mendiang sang istri. Mengambil ancang-ancang bersiap melemparkannya ke tubuh Evan. Namun, foto sang istri yang tersenyum di ruang tamu tak sengaja tertangkap mata merahnya. Guci itu tidak jadi pecah dan hancur karena Haris menaruhnya sembarangan.
Janu dan Renjana berjuang melerai pertikaian dua manusia beda usia di depan mereka. Renjana kewalahan mengapit kedua lengan sang kakak. Tenaganya tak sebanding dengan kekuatan militer yang dimiliki Haris. Segala jenis kalimat perdamaian tak bisa mengembalikan sisi kemanusiaan kakaknya. Evan tak memperdulikan kedua mata merah di depannya. Ia mempertahankan pandangan ke atas. Mengiringi Juno sampai tubuh remaja itu menghilang karena membuka pintu kamar putranya.
Satu kepalan besar menghantam pelipis Evan. Badannya terhuyung ke samping lalu jatuh di belakang meja. Semua kekerasan yang Haris berikan tak juga membuatnya lekas bicara.
"Apa maksudmu datang ke sini dasar bajingan!" Napas Haris memburu. Memperlakukan Evan seperti musuh.
"Kau sudah berjanji tidak akan datang ke sini dan menemui Sivan lagi!"
Evan mengelap sudut bibirnya yang berdarah. Mata elangnya mengikuti Kakek hingga masuk ke sebuah pintu bawah tangga, lalu keluar membawa senjata laras panjang. Renjana dan Janu menyembulkan mata seram. Salah satu dari mereka mengaktifkan gawai. Berjaga-jaga menghubungi petugas keamanan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Pergi!!! Pergi kau dari sini!!! Atau senjataku akan menembakmu sampai mati!!!" ancam Haris.
"Kakak!!!" Renjana maju satu langkah mencoba merebut senapan dari tangan Haris. Tetapi ia tak tahu harus memegang bagian yang mana. Naas lengan kekar sang kakak menyepak hidung bangirnya. Mengenai tepat pembuluh darah bagian dalam dan mengeluarkan alian darah dari sana. Renjana mundur perlahan-lahan merasakan kesakitan yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Sang kakak telah mengarahkan moncong senapan tepat ke dada sebelah kiri Evan.
"Van! Van! Van! Ayo kita keluar! Turuti saja permintaan Kakek Sivan!" Janu tidak bisa melakukan apa-apa selain memanggil nama Evan sembari mempertahankan kedua lengannya ke atas. Ia merasa separuh nyawanya menghilang begitu mulut senapan laras panjang Haris mengarah ke mereka.
"Van!!!" teriak Janu mengoyak punggung sahabatnya.
"Silakan, Ayah ...."
"Evan!!!" Janu menatap horor. Wajahnya memucat seketika. Pupil matanya mengecil. Tampak seperti mata ular yang mengerikan.
"Lakukan saja. Tembak aku sekarang juga!"
Jemari Haris mendekati pelatuk senapan. Salah satu matanya menutup.
"Setelah Sinta meninggal dan Sivan kau bawa ke Yogya. Alasan aku untuk hidup sudah tidak ada lagi. Kalau itu bisa membuat sakit hati ayah hilang. Lakukan saja, Ayah!"
Sesuat mengarahkan Haris untuk menatap sekali lagi foto Nenek yang tergantung di dinding putih sebelah kanan. Senyum teduh sang istri menuntunnya kembali pada kesadaran. Di sebelah foto itu, tergantung pula bingkai Sinta memangku Sivan yang masih bayi. Sementara Haris mengingat betul, di sudut meja ruang tamu, seharusnya ada foto satu keluarga yang berkumpul bahagia. Haris sengaja membuangnya di gudang karena ada wajah Evan di sana,
Semua hal tidak mengenakkan telah Haris lakukan untuk melampiaskan kesakitannya kehilangan Sinta. Puluhan tahun ia memisakan Sivan dengan ayah kandungnya. Dan, sekarang ia berniat ingin membunuhnya padahal sang cucu sakit dan tak bisa melakukan apa-apa. Kakek macam apa sebenarnya dia.
Untuk pertama kalinya sesuatu dalam diri Haris memberontak. Hati dan otaknya tak sejalan.
"Ayo! Lakukan ayah! Tembak aku sekarang!" pancing Evan. Menyadari keraguan yang terpancar pada wajah ayah mertuanya.
"Pergi sekarang!!!" Haris mendesak ke depan memakai gerakan mengepung musuh. Janu menarik lengan sahabatnya. Tertahan-tahan tubuh Evan mundur, namun tatapannya pada kamar Sivan tidak mengendur. Renjana menyusul berjalan tertatih sembari menyembunyikan hidung menggunakan sisi baju.
Mulut senapan laras panjang mengikuti Evan hingga masuk ke dalam mobil. Janu tak bisa memutar kunci mobil dengan benar karena sekujur tubuhnya ikut panik. Sesekali melihat ke belakang untuk memastikan Haris tak menghabisi nyawa mereka.
Dengan susah payah Juno menuntun Sivan sampai di lantai bawah. Ia terduduk di anak tangga terakhir menunggu Juno yang kembali naik mengambil kursi roda. Kepala letihnya menatap sekitar seperti orang amnesia yang mendapatkan kembali ingatannya. Ia menyender pada pegangan tangga merasakan denyutan yang cukup menyiksa. Rautnya mencari keberadaan seseorang yang dua hari ini selalu bersamanya. Merawatnya dengan tulus dan sepenuh hati.
Sosok itu tidak ada di kanan, kiri maupun belakang. Khawatir sosok itu kembali meninggalkannya, Sivan berdiri ingin berjalan sendiri. Tak lama Juno sigap mendudukkannya di kuris roda.
"A ... a ...." Juno mendorong kursi roda lebih cepat mendengar suara Sivan.
"Sivan, Ayah kamu ada di sini sekarang!" seru Juno berlinangan air mata.
"Ah ... aaa ... yah ...."
Kursi roda berhasil melewati Haris yang tergesa-gesa menyembunyikan senapan laras panjangnya. Melihat Haris lengah, Renjana membiarkan luka di hidungnya bertambah parah. Ia menendang senapan Haris, menjegal kaki kakaknya hingga mereka sama-sama terjatuh. Entah mendapat tenaga dari mana, kekuatan Renjana meningkat. Ia menahan pergerakan Haris di tanah.
"Teruskan! Teruskan, No! Bawa Sivan keluar! Bawa Sivan bertemu Evan!" Juno mengangguk. Air matanya meluruh semakin banyak tak tega melihat wajah bersimbah darah Renjana.
Baru seratus meter berjalan, mobil sedan hitam Evan berhenti di pinggir trotoar. Evan sengaja mencabut kunci dan melemparnya ke tengah jalan. Ia bergegas meninggalkan Janu yang masih terserang panik di dalam mobil. Tak lantas berlari, Evan membeku di tempat. Menyaksikan Juno mendorong kursi roda keluar gerbang.
"Aaa ...." Tubuh Sivan sedikit naik menghentikan dorongan Juno. Evan belum melakukan pergerakan. Ia khawatir Haris menyusul di belakang dan putranya akan melihatnya tertembak. Ia tak akan mati dengan tenang jika Sivan sampai melihatnya meregang nyawa. Sivan meremat dua pegangan kursi roda. Berusaha berdiri menggunakan sisa tenaganya.
Sivan berdiri namun tak lama kemudian ambruk ke depan. Menghantam pasir-pasir aspal trotoar. Juno berusaha membantu Sivan duduk di kursi roda. Remaja itu menangkis semua uluran sahabatnya. Ia merangkak ke depan, mencoba bangkit sendiri. Sivan berhasil melakukannya. Ia lanjut berjalan pelan-pelan. Air matanya deras bercucuran. Kedua tangan Sivan menggapai-nggapai ke depan.
"Aaa ... aaa ... aaayah!!!"
Tubuh Evan melesat. Menabrak pundak ringkih nan rapuh itu di atas jalan. Menenggelam kepalanya ke dalam dekapan. Jutaan air hujan mengelilingi tubuh mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...