30.

590 72 7
                                    

Kegiatan trauma healing berakhir tidak terlalu baik. Walau begitu, para orangtua tetap merasa berterima kasih. Anak-anak segera membubarkan diri. Ada yang langsung berlari kembali ke dalam bilik mencari ibunya, ada yang berlari terbirit-birit ke kamar mandi karena tidak mau repot-repot mengantri dan ada yang berteduh di bawah pohon untuk melanjutkan memasak kue dari tanah. Juno menatap tanpa minat anak-anak perempuan yang sedang sibuk menjual kue tanah kepada anak laki-laki. Biasannya ia akan ikut menjadi customer yang membeli kue tanah itu.

Pundak Juno dielap Janu. Sebuah sengatan listrik membangkitkan lamunannya tentang kenyataan menyakitkan yang beberapa saat lalu ia dengar di belakang barak pengungsian.

"Kamu kenapa, No? Tumben nggak ikut membeli kue anak-anak."

Juno membisu sengaja tidak menjawab. Namun, satu botol air mineral kecil dari tangan Janu tidak bisa ia lewatkan.

"Tadi udah kami tawarin, tapi Kak Juno nggak mau beli, Om," sahut salah satu anak perempuan berambut keriting sebahu.

"Mungkin udah kenyang perutnya," timpal anak perempuan lain di sampingnya yang sibuk mengaduk tanah. Janu melepas tawa renyah kepada dua anak perempuan itu. Lantas ia melihat rupa murung Juno lagi. Diperiksanya seluruh tubuh bocah yang lima senti lebih pendek darinya. Tidak ada luka apapun di sana. Lalu, apa yang membuat anak emas Janu mendadak menjadi pendiam.

"Om," Janu sangat menunggu panggilan ini.

"Yes?"

"Kalau Om Janu nggak sengaja mendengar perbincangan rahasia dari dua orang. Dan, hal itu harus tetap dirahasiakan demi kebaikan bersama. Apa yang akan Om lakukan?"

"Kamu kenapa, sih, No? Tumben mendadak jadi aneh begini."

"Nggak jadi, Om. Nggak apa-apa. Lupain aja." Juno membutar tutup botol kecil air mineral pemberian Janu dan melenyapkan semua air di dalamnya.

Gedung barak pengungsian menghadap ke arah timur. Di depannya terdapat lapangan rumput cukup luas. Bisa untuk bermain bola dan apabila Gunung Merapi tenang sering dijadikan arena latihan memanah. Setiap sore permukaan lapangan itu akan tertutup bayangan dari tubuh gedung barak pengungsian. Bayangan itu bergerak-gerak mengikuti pergerakan matahari. Lalu, ia ikut lenyap bersama kedatangan malam.

Keadaan Sivan sepenuhnya membaik. Meskipun rasa lemas tetap menghinggapi tubuh dan kepalanya sedikit pusing. Ia mampu bangun dari ranjang kesehatan sendiri. Kini duduk manis di sana sambil menghabiskan nasi kotak yang diambilkan Evan. Sayang, tidak ada menu masakan semur telur hari ini. Evan ingin menyuapi Sivan. Tidak tega melihatnya memasukkan satu sendok nasi dengan jari-jari gemetar. Sivan tentu menolak. Bocah itu tidak pernah ingin merepotkan.

Butuh waktu dua jam untuk Juno kembali menjadi dirinya sendiri. Si Juno yang cerewet dan suka memaki. Kalimat-kalimat Janu di belakang barak pengungsian menguasai isi kepala Juno. Sambil melajukan tungkai menuju tenda kesehatan tempat Sivan istirahat, Juno mati-matian menyingkirkan suara itu. Ia menyumpal kedua telinganya menggunakan headset yang memutar lagu rock menggebu-nggebu. Setibanya di depan tenda, Juno berhenti sebentar untuk berdoa. Semoga Sivan tidak menyadari sesuatu yang sedang ia sembunyikan.

Sivan yang lugu tidak menyadari ada yang berbeda dari Juno. Padahal cara berjalan Juno pun terlihat tidak seperti biasanya. Ia menyeret sepatunya seperti orang malas. Sivan bangun dari ranjang besi menyambut kedatangan Juno. Sahabatnya tidak duduk di kursi yang digunakan Evan untuk menjaga Sivan. Begitu sampai di depan Sivan, Juno langsung memeluk punggung tipis sahabatnya.

"Om Ivan ayah Sivan ... Om Ivan ayah Sivan ... Om Ivan ... Tuhan ... aku ingin mengatakannya, " tutur batin Juno meronta-ronta. Ingin membongkar semuanya di depan wajah Sivan saat ini juga. Mumpung bocah itu dipeluknya. Mumpung tatapan polos itu tak tetrtangkap matanya dan membuat keyakinannya sirna.

"Siv ...." Kalimat terakhir Janu lebih dulu membangun dinding penghalang.

"Teman saya sudah sepuluh tahun berjuang keras sampai hari ini. Demi bisa bertemu dan memeluk putranya kembali. Mari kita sama-sama menjaga rahasia ini."

"Siv-Sivan, aku menemukan seseorang yang ingin aku jaga dan jadikan keluarga seumur hidup." Intonasi ragu Juno menerpa pundak Sivan. Mendadak bocah itu geli mendengarnya. Pasalnya, suara Juno sangat rendah seperti oppa-oppa drakor yang sedang bermonolog merenungi masalah kehidupan.

"Gebetan baru? Asik!" tebak Sivan. Juno menguatkan lingkaran kedua tangannya di punggung Sivan.

"Dia salah satu relawan PMR cewek di sini? Kakak kelas atau adik kelas? Ceritakan-ceritakan."

"Nggak. Bukan gebetan baru. Kan, aku udah bilang mau jadikan dia keluarga. Btw, dia cowok."

"Lho, kok, cowok?" Sivan mengeluarkan nada kekecewaan yang dibuat-buat.

"Waktu aku bertemu dengannya pertama kali, aku langsung ingin menjadi kakaknya. Karena aku ingin melindunginya."

"Seperti apa orangnya?" Sivan benar-benar tidak sadar.

"Kulitnya tetap putih, padahal dia hobi sekali bermain layang-layang. Hampir setiap hari selalu mau aku ajak bermain, tapi otaknya tetap pintar. Makanan kesukaannya semur telur yang harus dimasak menggunakan banyak kecap. Nggak pernah mau merepotkan orang lain. Oya, satu lagi, tubuhnya lemah sekali. Sering pingsan kalau lagi sakit."

Sivan menjitak kepala Juno dari belakang. "Itu aku! Hahaha, lucu-lucu."

"Aku serius, Siv. Aku akan menjaga kamu seperti aku menjaga keluargaku."

"Kesambet apa kamu, No!"

"Mulai hari ini jangan pelit-pelit lagi. Bagiin beban-beban kamu ke aku. Kamu boleh cerita tentang ayahmu. Kamu jarang sekali cerita dari dulu."

Aku ingin mendengarkannya langsung dari kamu, Siv. Selama ini aku mendapatkan cerita ayah Evan dari kakek kamu. Aku selalu berpikir ayah kamu orang jahat karena ninggalin kamu. Tapi, kenapa ceritanya sangat berbeda dengan yang aku dengar dari Om Janu? Cepat ceritakan, Siv. Supaya aku bisa lebih bisa menjaga kamu.

Nasi dalam perjalanan menuju kerongkongan terpaksa keluar dari mulut Evan. Menyembur bersama air yang baru saja membasahi lidah. Wanita berwajah awet muda dengan rambut buntut kuda tiba-tiba memunculkan kepala tepat di depan wajahnya. Evan sempat mengira Anita makhluk jadi-jadian. Beringas juga rupanya. Anita menjadi dokter yang masih bertahan di pengungsian. Kebetulan ia warga lereng Gunung Merapi juga. Letak rumahnya lima belas kilometer dari puncak.

"Boleh saya duduk di sini?" pinta Anita. Evan mengiyakan saja karena suara Anita mirip Sinta ketika sedang merajuk. Pundak mereka cukup dekat. Evan bisa mencium bau parfum bunga dari pundak Anita. Wanita itu berdehem cukup keras memancing kepala Evan menengok ke arahnya.

"Anda sudah makan?" tanya Evan. Berhasil, batin Anita.

"Sudah. Um, ini pertemuan kita yang ketiga kalinya, kan. Kayaknya udah waktunya nggak menggunakan bahasa formal."

Evan menaikkan sebelah alis, merasa aneh dengan jawaban Anita. Dokter itu terlalu jenius sepertinya sehingga kesulitan merangkai kalimat yang mudah dimengerti.

"Apa kita masih perlu kita kenalan dari awal lagi?"

"Terserah."

"Oke baiknya kenalan lagi aja. Ehem ... selamat sore Pak Evan, kenalin saya Anita Puspita, dokter umum yang ditugaskan menjadi relawan di sini. Sehari-hari saya dokter tetap di Klinik Kartika. Umur saya 30 tahun dan saya belum menikah."

"Urusan pernikahan sepertinya nggak perlu kamu sebutkan."

"Hahaha, siapa tahu ada orang yang penasaran."

"Kenapa kamu nggak pulang sekarang?"

"Karena ingin berkenalan sama Pak Evan, hahaha."

"Maaf, aku bukan orang yang gampang diajak bercanda."

"Paham-paham. Udah kelihatan, kok, dari wajahnya. Ngomong-ngomong Janu teman kamu udah ngasih tau semuanya."

Detik itu juga Evan tak mampu mempertahankan sendok plastik nasi kotak yang ia gunakan. Di belakang dua punggung berbeda ukuran itu, Janu bergerak mundur. Ia yakin Evan akan mengamuk. 

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang