38.

269 18 0
                                    

"Kamu tidak memberitahu Sivan, kan! Kamu tidak memberitahukannya, kan!" tanya Janu berulang. Menggebu-gebu dengan kedua mata menyembul keluar. Melihat raut berantakan Janu, Juno menjadi ragu untuk melanjutkan. Namun, ia ingin memastikan Janu bercerita juga dengan fakta yang sama. Seperti yang ia berikan kepada Anita tempo hari di belakang barak pengungsian.

Bocah itu melambankan anggukan. Senyuman segaris berhasil menurunkan kecepatan Janu memporak-porandakan pundaknya. Hingga kedua telapak tangan berotot Janu lepas, Juno menggelengkan kepala ke kiri dan kanan untuk menghilangkan kekakuan. Jujur saja, kekuatan oyakan tangan Janu menyakitinya. Janu tidak siap dengan pernyataan Juno, kesulitan menenangkan diri di sampingnya. Hal itu menyebabkan Juno dirundung perasaan bersalah.

"Kapan kamu mengetahuinya? Tolong katakan."

"Saat Sivan pingsan beberapa hari yang lalu, nggak sengaja aku mendengar perbincangan om sama Dokter Anita di belakang barak pengungsian," jujur Juno. Janu memberhentikan elusan di dada.

"Tenang aja. Aku nggak mengatakan satu kata pun ke Sivan." Janu melanjutkan elusannya. Ia sempatkan mendongak ke atas untuk membuang napas yang sempat tertahan karena sesak. Sekaligus berterima kasih kepada Tuhan. Rahasia identitas mereka masih terjaga.

"Apa benar Om Evan sengaja meninggalkan Sivan dan Mamanya sendirian di rumah, Om?" Pertanyaan Juno semakin membuat Janu yakin, bocah itu lebih banyak tahu dari awal.

"Evan sama sekali nggak ada niat meninggalkan mereka. Sebenarnya, ia sudah mati-matian membujuk saudara-saudara yang lain untuk menggantikannya pergi, karena ia ingin merayakan hari ulang tahun Sivan. Tapi, waktu itu Tuan Hendra, ayahnya, sedang sakit dan salah satu restorannya di Singapura kebakaran. Evan diminta terbang ke sana hari itu juga."

"Jadi, Om Evan nggak sengaja meninggalkan mereka?"

"Iya. Di bandara pun Evan masih sempat menelepon dan memberi kabar Sinta. Menanyakan apakah Sivan menangis karena kepergiannya. Sesampainya di Singapura, mereka terus saling mengirim pesan SMS. Hingga menjelang malam, Evan panik karena pesannya tidak kunjung dibalas Sinta. Saat ia ingin menelepon, ponselnya lebih dulu membunyikan nada. Untuk pertama kali Sivan meneleponnya menggunakan nomor rumah. Ia menjerit-jerit memanggil nama Evan berulang kali.

Meminta Evan pulang sambil menangis histeris. Lalu berkata tersendat-sendat perut Sinta mengeluarkan darah dan sambungan putus begitu saja. Tanpa berpikir apa-apa, menyambar dompet dan jas kerjanya, Evan bergegas pergi ke bandara. Ia baru memberitahuku semuanya setelah pesawat mendarat di Indonesia."

"Om Evan nggak sepenuhnya salah."

"Terima kasih banyak karena tidak membongkar semuanya ke Sivan, ya."

"Kenapa Om Evan nggak langsung datang aja ke rumah Kakek Sivan? Kenapa dia harus menyamar menjadi relawan?"

"Untuk menjadi relawan dan membuat organisasai relawan itu sudah menjadi impianku, Evan, dan Sinta. Kami bahkan sudah merencanakannya sebelum mereka menikah. Kalau untuk menyamar itu sepenuhnya bukan kemauan Evan. Akulah yang memintanya. Demi menjaga kebaikan bersama. Kakek Sivan benci setengah mati kepada Evan. Ia menganggap kelalaian Evan adalah penyebab utama penyebab Sinta meninggal. Sinta adalah putri satu-satunya. Nenek Sivan juga sering sakit-sakitan setelah kepergian putrinya.

Untuk itu Evan aku minta melakukan semuanya secara rahasia. Agar tidak langsung kembali membuka luka lama. Walau terkadang masih keras kepala tidak ingin memakai masker, ia tetap mau melakukannya dengan baik. Hingga akhirnya, ia bisa menjadi Om Ivan sepenuhnya dan menghabiskan waktu bersama dengan Sivan di pengungsian."

"Selama ini, aku selalu mempercayai cerita Kakek Sivan tentang Om Evan. Aku pikir ayah Sivan adalah orang yang jahat. Tapi, setelah mendengar cerita Om Janu, aku jadi ingin meminta maaf sama Om Evan."

Janu menepuk-nepuk kepala Juno sebanyak dua kali. "Nggak apa-apa. Kamu pasti terkejut juga."

"Banget, Om. Waktu bertemu pertama kali sama Sivan, aku langsung ingin menjadi kakaknya. Karena aku nggak tega melihat keadaannya. Aku ingin bisa melindunginya. Sama seperti Dokter Anita, aku akan mendukung kalian."

Janu menepuk lagi kepala Juno. Kali ini hanya satu tepukan. Tepukan dengan penuh tekanan harapan. Hingga kepala Juno menunduk bersama tubuhnya.

"Aku membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membuat Sivan bisa kembali tersenyum, tertawa, dan berjalan. Tolong, jangan biarakan Sivan sampai terluka lagi, ya, Om."

" Kamu juga harus terus menjaga Sivan bersama kami."

Jarum pendek jam berhenti di angka sepuluh. Evan belum juga menghentikan amukannya. Keadaan vila sunyi. Sangat tenang. Sampai tetesan air sisa hujan di dedaunan benar-benar terdengar. Beberapa pengunjung yang menginap membubarkan diri sejak pagi karena Gunung Merapi erupsi. Hanya tinggal Evan, Janu, Joe, dan Beton yang menghuni vila itu. Untuk kesekian kalinya Evan memukul meja tamu. Membuat taplak yang menutupinya menjadi kusut.

"Bodoh! Tolol! Goblok!" Adalah tiga kata kurang sopan yang terus menerus keluar dari mulut pria tiga puluh tahunan itu. Janu membisu, tidak berminat melanjutkan perkataannya lagi. Kemarahan Evan kali ini, sepertinya lebih parah dari kemarin saat ia berkata jujur bahwa Anita sudah tahu identitas mereka.

"Kenapa Juno juga bisa tahu? Juno sahabat dekat Sivan! Dia mungkin bisa sewaktu-waktu keceplosan!"

"Tenang, Van. Tenang. Sama seperti Dokter Anita, Juno bilang dia akan mendukung kita," bujuk Janu. "Percaya saja kepadanya. Aku berani menjamin, dia bisa dipercaya."

Evan menggebrak meja. Janu mencoba melanjutkan permintaan maaf sekaligus menenangkan sahabatnya.

"Bukankah, itu yang kamu nanti-nantikan, Van? Saat semuanya terbongkar, kamu bisa memeluk Sivan."

Evan tergelak. Dilihatnya wajah Janu yang penuh air muka iba. Di dapur, Joe dan Beton menghentikan gerakan makan. Mereka saling memandang ke arah ruang tamu sambil terus berusaha mendengarkan.

"Kalau sampai Sivan tahu, kali ini aku benar-benar serius akan membuang kalian ke kawah Merapi!" Evan serius dengan ucapannya. Janu pun serius yakin Evan tidak akan mungkin tega melakukannya. Ratapan iba Janu berubah sekejab menjadi wajah konyol menahan tawa. Ia lupa bahwa Sivan adalah satu-satunya kelemahan seorang Evan. Emosi Evan selalu lenyap ketika nama sang putra diikutsertakan.

"Makasih, Van. Sekali lagi aku minta maaf. Aku akui, aku memang lalai." Sesal Janu. Minta maaf mampu meringankan suasana panas di ruang tamu. Dengan malas Evan berdiri. Wajahnya sudah tidak kelihatan marah lagi. Ia lalu beranjak menuju ruangannya sendiri. Malam ini, Evan ingin menyendiri sampai pagi. Janu mulai kebingungan memikirkan tempat tidur untuk ditempati.

Setelah tubuh Evan tidak terlihat, terdengar suara cekikikan dari balik dinding dapur. Joe dan Beton bersahut-sahutan menertawai bosnya. Beberapa saat yang lalu mereka setengah mati ketakutan menghadapi amukan Evan. Untung saja, Joe dan Beton belum sempat makan malam di pengungsian. Saat Evan membuka kemarahannya, mereka berdua meninggalkan Janu menuju dapur. Alhasil, Janu harus menghadapi amukan Evan sendirian.

"Puas kalian? Kalau mau tertawa jangan ditahan. Lepaskan saja semuanya, lepaskan. Let it go! Let it go!" gerutu Janu sambil membereskan dokumen-dokumen berisi artikel erupsi Gunung Merapi yang ia dapatkan dari koran terbaru.

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang