87. End

752 38 4
                                    



Satu tahun berlalu bersama luka. Sore itu, Evan mengunjungi bangku besi tempatnya dulu membolak-balik halaman buku jurnal Sinta. Kali ini bukan buku bersampul cokelat milik sang istri yang Evan bawa. Ia juga tak berniat akan membaca apa-apa di sana. Usai menyelesaikan rapat tahunan perusahaan yang cukup melelahkan, Evan mampir ke toko buku di salah satu mall. Ia membeli buku tulis yang desainnya mirip seperti buku milik istrinya.

Ukuran bukunya tak terlalu besar. Mempunyai seratus lima puluh halaman. Sekitar lima belas halaman depan sudah habis dipakai untuk bonus kalender, jadwal penerbangan pesawat, gambar-gambar bendera berbagai negara, memo agenda rapat, bahkan tersedia pula gambar peta dunia. Buku tulis itu memang dirancang khusus untuk pebisnis sibuk seperti Evan. Tak salah ia membawanya pulang.

Evan menarik bolpoin biru dari bawah saku jas hitam yang dikenakannya. Bau parfum ambre topkapi menguar begitu ia membuka sampul hitam. Bau parfum kesukaan Evan itu menyebar di atas permukaan kertas. Punggungnya membungkuk demi merangkai kata di atas halaman pertama buku.

Halo, Sinta. Ini pertama kalinya aku menulis jurnal seperti yang dulu kamu lakukan. Jangan tertawa. Aku harap kamu bisa melihat dan membaca tulisanku dari surga. Melalui tulisan ini, aku ingin membagikan kabar. Sivan sudah berhasil aku bawa pulang ke Jakarta. Anak kita terus tumbuh dengan sehat. Aku rasa dia akan menjadi pria tampan seperti ayahnya.

Maaf, Sinta, untuk trauma Sivan belum berhasil aku sembuhkan. Beberapa kali aku menemaninya terapi di tempat yang berbeda. Sivan tetap belum bisa menghilangkan ketakutan-ketakutannya. Walaupun kami sudah berkumpul seperti dulu, tahun ini merupakan tahun tersulit. Hipnoterapi Sivan selalu berakhir tidak baik. Ia gagal mewujudkan cita-citanya kuliah di jurusan kedokteran. Sivan sempat putus asa dan mengurung diri berhari-hari di kamar. Aku juga kebingungan untuk mengembalikan senyumnya.

Satu bulan yang lalu tak sengaja aku meninggalkan buku jurnal cokelatmu di atas meja belajarnya dan hal itu ternyata membawa keajaiban. Hari berikutnya Sivan memintaku menceritakan tentang buku itu semalaman. Beberapa hari kemudian, Sivan bilang ingin melanjutkan kuliah dan mengambil jurusan lain. Ia memilih jurusan yang yang sama denganku dulu. Katanya, Sivan ingin mewujudkan keinginanmu membangun toko tanaman dan bunga bersamaku.

Sivan masuk semester tiga sekarang. Di sela-sela kesibukan kegiatan kuliahnya, ia mau menyisihkan waktu apabila aku ajak jalan-jalan. Sivan kuliah satu kampus dengan Juno. Di kampusku, kamu, dan Janu. Juno adalah putra angkat Janu. Kapan-kapan kalau aku merindukanmu seperti hari ini dan tiba-tiba ingin menulis, aku akan menceritakan semuanya kepadamu.

Kamu pasti tahu sendiri, kan. Dari dulu aku bukan tipe manusia yang suka menunjukkan perasaanku melalui tulisan. Sudah dulu, Sinta. Aku harus ke toko tanaman dan bungamu sekarang. Sivan menungguku di sana. Sampai bertemu di halaman selanjutnya. Aku menyayangimu, Sinta.

Tepat saat bolpoin Evan menghentikan pergerakan, getaran gawai memanggilnya. Mendapati nama dan foto Sivan muncul di layar, tombol hijau segera ia usap ke atas. Detik itu juga teriakan Sivan menyambar telinganya.

"Ayah!"

"Ya, kenapa teriak-teriak?"

"Ayah udah selesai rapat tahunannya?"

"Sudah. Ada apa, Sivan?"

"Di mana Ayah sekarang?"

"Ayah mampir sebentar di rumah mau ambil sesuatu."

"Masih lama nggak, Yah? Kalau udah ketemu barangnya cepetan ke sini, ya. Banyak netizen yang nanyain Ayah!"

"Netizen siapa?!"

"Video tiktok yang aku buat sama Juno kemarin viral, Yah. Banyak netizen yang salfok sama wajah Ayah. Terus, hari ini mereka minta kita buat spill ayah lagi. Ayah buruan datang ke sini. Nanti kalau Ayah ikutan live viewer-nya pasti naik. Kata Juno, itu bisa berguna buat promosi toko kita!"

"Oke, oke, oke. Ayah ke sana sekarang. Tunggu, ya!"

"Siap. Hati-hati, Yah!"

Evan menutup buku baru yang telah ia isi jurnal rindu untuk Sinta. Tanpa melepas jas kerjanya, Evan menghampiri mobil sedan. Segelas minuman dingin serta sepiring roti lapis yang dihidangkan ART di meja makan tak jadi disentuhnya.

Di depan sebuah bangunan kios bertuliskan Toko Tanaman Mama Sinta, Evan memberhentikan roda kendaraan yang membawanya. Jeritan Juno dari lantai dua menerobos kaca mobil. Itu pertanda ada banyak tanaman yang berhasil closing. Beberapa tanaman baru yang belum dimasukkan Sivan dan Juno ke dalam etalase menyita perhatiannya.

Belum genap setahun toko tanaman itu beroperasi. Keuntungan yang didapat tidak bisa dikatakan sedikit. Sivan dan Juno menolak ketika Evan berencana mencarikan karyawan agar dua pemuda itu tidak kelelahan dan bisa fokus kuliah. Janu berkata, mereka berdua ingin merasakan perjuangan dari bawah. Bila tidak ada tugas berat, Sivan dan Jano akan langsung menjalankan toko sepulang kuliah. Toko Tanaman Mama Sinta sebagian besar melayani pembelian via online.

"Nah, ini yang ditunggu-tunggu! Om Evan!" seru Juno langsung mencondongkan kamera gawai ke arah pintu yang belum digeser sepenuhnya. Tubuh Evan baru tampak setengah, namun para netizen sudah ramai menyambutnya di kolom komentar. Janu yang berjaga-jaga di samping kamera beranjak menghampirinya. Membantunya menggeser pintu kaca yang mendadak tersendat. Sivan tak menyambut kehadiran ayahnya karena fokus memantau jumlah penonton dan membaca komentar.

"Wow! Tembus seratus ribu like dan tujuh ribu penonton!" sorak Sivan kegirangan. Sebelum nama Evan diteriakan Juno penuh semangat, jumlah penonton live mereka baru seribu orang. Zaman sekarang ketampanan memang bisa membawa rezeki datang lebih cepat.

Pundak lebar Evan ditekan Janu ke bawah dan otomatis mendudukkan tubuh yang masih terbalut jas hitam itu di atas kursi. Kini layar gawai sepenuhnya dikuasai Evan. Penampilannya yang formal ditambah wajah yang good looking menyebabkan para netizen wanita ramai-ramai menggodanya. Menyebutnya sebagai duda tampan keren dan menanyakan apakah ada lowongan istri kedua. Jumlah like dan penonton terus menerus mengalami peningkatan.

Evan tersenyum kaku. Ini pertama kalinya ia live dadakan di toko tanaman sang istri. Jumlah penonton dan like meningkat setiap detik. Evan belum mulai bicara karena masih fokus membaca kertas bertuliskan kalimat-kalimat promosi yang Janu tata di atas kamera.

"Halo, semuanya. Apa kabar?" Evan bertanya asal karena tidak tahan melihat pergerakan cepat kolom komentar. Janu merasa malu sampai menggaruk jidat. Sivan dan Juno cekikikan di belakang kamera. Mereka sibuk mengambil benih-benih tanaman dan beberapa pot bunga yang ingin dijual melalui Tiktok dengan harga murah.

"Jangan lupa ... support terus Toko Tanaman Mama Sinta. Karena ... cuma di sini kalian bisa mendapatkan bibit-bibit tanaman dengan harga sangat murah." Evan membaca tulisan tangan Janu menggunakan nada seperti anak sekolah yang tidak suka membaca. Sivan muncul di sebelah kanan Evan membawa satu pack biji bunga matahari. Evan menarik pergelangan tangan putranya. Layar gawai kini menampilkan wajah mereka berdua. Sepasang ayah dan anak yang sama-sama tampan. Para netizen wanita semakin girang membanjiri kolom komentar.

Evan dan Sivan hanya diam, namun saling melempar senyuman. Kemudian bersama-sama tertawa. Evan setia mendengarkan putranya membaca komentar dan tetap duduk di kursi menemani Sivan bekerja. Jumlah like dan penonton yang kini berjumlah ratusan dan puluhan ribu tak menarik perhatiannya. Satu-satunya yang ia pedulikan adalah Sivan. Selalu dan selamanya.

Sinta, mulai hari ini, aku nggak akan pergi jauh-jauh lagi. Jika terpaksa harus pergi, aku akan membawa Sivan kemanapun aku pergi. Aku berjanji.



SELESAI

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang