4.

1.2K 153 13
                                    

Evan bekerja keras mendirikan organisasi relawan dengan dua tujuan. Tujuan pertama adalah membawa Sivan kembali ke Jakarta. Yang kedua, mengabulkan cita-cita Janu yang ingin berguna untuk masyarakat. Tidak terlalu sulit bagi Evan untuk mengumpulkan banyak masa. Hendra, ayahnya, mempunyai relasi di beberapa kota besar di Indonesia. Meskipun sebagian besar relasinya adalah anggota pebisnis gelap dan preman, mereka tetap bisa diandalkan.

Dibantu Janu, Evan berhasil merekrut beberapa anak buah relasi Hendra. Mereka menerima orang-orang dengan karakter seperti Janu. Suka menolong tanpa imbalan dan senang berkegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat. Atau minimal, mereka merekrut orang-orang biasa dengan tingkat empati tinggi. Orang-orang dengan hati lembut seperti itu, mau sekejam apapun, akan bersedia melakukan kegiatan kebaikan.

Hendra tahu semua rencana Evan. Tak butuh waktu lama menyetujui permintaan Evan mendirikan organisasi relawan. Hendra juga sudah sangat lama merindukan Sivan. Cucu nomor empatnya itu adalah cucu dengan sikap paling manis di antara cucu-cucu lain. Itulah mengapa Hendra rela melepas Sivan tinggal bersama dengan orang tua Sinta di Gunung Merapi. Hendra tidak ingin dunia gelapnya melukai Sivan.

Berbeda dengan Hendra, Evan justru ingin cepat-cepat membawa Sivan kembali ke pelukannya. Apapun resikonya Evan siap untuk menghadapinya. Meskipun setiap hari Sivan akan berada dalam bahaya, Evan akan melindungi dan menjaga sang putra dengan segenap cara. Bahkan sejak Sivan lahir ke dunia, Evan bersedia menyerahkan nyawa apabila Sivan berada di dalam bahaya.

Sampai sekarang, Evan masih sangat kecewa dengan keputusan Hendra merelakan Sivan tinggal bersama dengan orang tua Sinta. Sejak tragedi tewasnya Sinta karena pesaing bisnis Evan, ia yakin putranya tetap menjadi incaran. Dalang yang membunuh Sinta belum diketahui sampai sekarang. Ditambah lagi, Sivan menjadi saksi kunci kejadian tragis terbunuhnya Sinta. Sinta terbunuh, karena berusaha melindungi Sivan. Tragedi berdarah itu terjadi tepat di hari ulang tahun Sivan yang ke tujuh.

"Argh!!!" Memikirkan kejadian masa lalu itu membuat darah di sekujur tubuh Evan berbondong naik ke atas kepala. Evan membuang puntung rokok terakhirnya hingga terpental mengenai pintu kaca vila. Setelah suasana hatinya mulai tenang, Evan memikirkan kembali rencana apa yang akan ia lakukan. Evan menaruh cangkirnya ke dapur. Kemudian berjalan menuju parkiran menemui jeep yang akan menjadi teman setia selama menjadi relawan.

"Oi, mau ke mana, Bos?" Mobil jeep yang Janu Sewa sedang dipanaskan oleh Beton. Karena di Merapi udara bisa menjadi dingin sewaktu-waktu, Beton berpakaian kaos lengan pendek cukup tebal. Kali ini kaosnya mempunyai lengan baju. Meskipun mempunyai tubuh paling besar, Beton tidak tahan dengan udara dingin pegunungan.

"Mau keluar sebentar. Bilang ke Janu laporan harian harus selesai ketika aku kembali," jelas Evan sambil terus berjalan.

"Siap, Bos! Ada yang lainnya, Bos?"

"Tidak. Nanti kalian berdua mau makan apa? Biar aku belikan sekalian."

"Asik! Pasti Bos lagi good mood, nih."

"Tidak jadi. Mendengar jawabanmu aku jadi bad mood."

"Yaelah, Bos. Gitu aja baper. Mie ayam yang kemarin aja, Bos. Enak banget. Aku mau dua porsi ya, Bos." Beton adalah pengawal setia Evan dengan tubuh paling subur. Tidak heran ia hobi makan selain berkelahi.

"Oke. Serahkan kuncinya." Beton memberikan kunci jeep dengan cara melempar karena jaraknya beberapa meter dari Evan. Terlihat jika itu tindakan kurang sopan, tapi Evan tetap menerimanya. Ia tidak ingin memperlakukan pegawainya seperti bawahan dan atasan. Ini adalah salah satu hal mengapa Evan sangat mudah mendapatkan pengikut setia.

Evan berniat akan menyusul Janu dan Joe di salah satu posko pengungsian. Mendadak Evan menepikan mobil jeep. Buru-buru ia mengeluarkan gawai dan tentu saja langsung meluncur ke menu facebook. Lagi-lagi Evan menelan kecewa. Sivan belum membalas pesannya.

"Ada apa dengan anak itu? Tumben sekali tidak online-online," gerutu Evan kemudian mengegas jeep.

Ujian selesai tepat pukul dua belas siang. Semua murid keluar dengan berbagai macam ekspresi wajah. Sivan terlihat meninggalkan kelas dengan raut muka paling lesu dan bergurat pucat. Juno, satu-satunya teman akrab Sivan, beberapa kali mengkhawatirkan keadaannya. Sivan sudah tidak punya tenaga untuk sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaan khawatir Juno. Mereka berdua berjalan beriringan.

"Kamu yakin kuat jalan sampai rumah, Siv?" tanya Juno. Wajah khawatirnya terlihat seperti orang menahan kesakitan.

"Tenang aja, aku udah biasa, No," tenang Sivan.

"Aku nggak percaya, ah. Wajahmu pucat begitu," sergah Juno sambil menarik pergelangan tangan Sivan. Sivan menahan diri tidak mengikuti langkah Juno yang mengarah ke tempat parkir sepeda motor.

"Beneran aku nggak apa-apa, No. Biar sekalian latihan buat persiapan masuk sekolah militer nanti. Hahaha." Sivan mengatakannya dengan tawa sumbang. Haris, Kakek Sivan, memang sengaja menyuruh Sivan pulang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Padahal jarak rumah dan sekolah dua setengah kilometer. Alasannya melatih kemampuan fisik Sivan. Untuk persiapan masuk sekolah militer.

"Hei, Sivan! Tungguin!" Terbirit-birit Juno menyusul berlari menuju parkiran untuk mengambil sepeda motornya. Sepuluh menit kemudian, Juno berhasil mengendarai sepeda motornya di samping tubuh Sivan yang masih berjalan. Langkah kaki Sivan terlihat tak seimbang meskipun pelan. Mendadak sepatu Sivan berubah menjadi berat.

"Sivan, ayo naik! Aku antar pulang." Juno masih berusaha membujuk.

"Duh, so sweet banget, sih. Khawatir sampai ngejar aku sampai di sini."

"Iya, aku khawatir banget. Kalau kamu sakit, siapa yang akan memberikan contekkan besok. Mana besok ujian mata pelajaran fisika lagi."

"Yah, nggak jadi so sweet kalau gitu ...." Sivan terhenti. Ia memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Pandangan Sivan beberapa detik mengabur. Tubuh Sivan membungkuk. Kedua tangannya menapak aspal jalan untuk berusaha tetap sadar.

"Sivan!" Juno menurunkan standar sepeda motornya. "Tuh, kan, disuruh naik malah ngeyel. Begini, kan, jadinya."

"Kalau Kakekku tahu, aku bisa disidang, No...,"

"Tenang aja, nanti aku bantu kamu buat jelasin ke Kakek. Cucu lagi sakit begini, bukannya di bawa ke rumah sakit, malah disidang."

"Kuat berdiri nggak?"

"Nggak kuat. Pusing banget ...."

"Jangan pingsan dulu! Aku bantu berdiri!" Dengan gerakan cepat namun hati-hati Juno membantu Sivan berdiri. Tidak bisa bertahan lama, tubuh Sivan kembali merosot ke bawah.

"Ada yang salah sama tubuh kamu, Siv. Tumben kamu lemas banget kayak gini."

Evan kembali menginjak rem jeep. Mengagetkan sebuah sepeda motor yang melaju cukup kencang di belakang. Pengendara itu memberikan umpatan binatang kepada Evan, namun pria itu tidak terlalu memperdulikannya. Mata elang tajamnya terkunci pada pemandangan dua siswa berseragam SMA di depan. Salah satu siswa duduk bersimpuh di atas jalan, sementara siswa lain seperti berusaha keras untuk menegakkan tubuhnya.

Pria tiga puluh enam tahun itu mengambil rompi relawannya. Mengenakannya secepat mungkin. Tidak lupa, ia juga memakai masker hitam. Evan sengaja memakai masker untuk berjaga-jaga. Ia turun sangat mulus dari jeep.

"Hai, ada apa?" tanya Evan.

"Ini teman saya sakit, Om. Dia mau pingsan kayaknya," terang Juno sambil terus membantu Sivan untuk berdiri. Sivan sudah benar-benar tidak bisa melihat lagi. Kedua matanya menutup rapat. Seluruh tubuhnya menyerah. Sivan ambruk. Ia tidak bisa merasakan dan mendengar apapun di sekelilingnya. Evan semakin penasaran dengan remaja yang sudah tergeletak tanpa kesadaran.

"Siv! Bangun! Kamu kenapa, Sivan?!" panik Juno.

"Sivan?" sahut Evan. Waktu berubah lambat. Perlahan kepala Sivan bergerak ke belakang. Jatuh dengan pelan menimpa lengan kanan Juno. Wajah pucatnya segera tertangkap kedua mata tajam Evan. Dengan menggila, Evan mengambil alih tubuh Sivan. Mendekap erat kepala Sivan di dalam dada dan merengkuh tubuh kurusnya sangat erat. Kedua telapak berototnya bergetar hebat.

"Sivan kenapa?!"

Rindu Tanpa Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang