Nenek tahu dan paham keadaan Sivan dari kedua mata yang memberikan kekosongan kepadanya. Maka, wanita yang tetap cantik meski di usia senja itu mencoba membela Sivan.
"Sama sekali tidak, Sayang. Nenek akan selalu mendukung apa pun cita-cita Sivan, asalkan itu baik." Sivan menerbitkan wajahnya untuk mengurai pelukan Nenek. Seluruh sudut wajah tampannya memerah dan basah terkena air matanya sendiri. Nenek melanjutkan.
"Kalau Sivan berhasil menjadi dokter nanti, Sivan bisa merawat dan menyembuhkan nenek kalau sakit, ya."
"Pasti. Pasti, Nek. Sivan janji bakal merawat nenek sampai sembuh." Senyum teduh terbit di bibir menua Nenek. Membuat Sivan segera menyadari wajah Nenek sedikit tidak berwarna.
"Nenek sakit? Wajah Nenek pucat."
"Tidak, Sayang. Nenek tidak sakit. Mungkin efek kelelahan naik turun tangga. Maklum faktor umur." Nenek menjepit hidung Sivan. Rasanya sedikit sakit, namun jepitan hidung Nenek selalu berhasil membuat senyum Sivan ikut tertarik.
"Jadi, nenek setuju, kan, Sivan menjadi dokter? Sebenarnya, dari dulu Sivan ingin menjadi dokter, Nek," ulas Sivan penuh harap. Kedua matanya tidak kelihatan mendung lagi. Sivan yakin sang nenek memberikan izin. Nenek menepuk-nepuk kedua pundak Sivan. Membuatnya sedikit tegap karena terangkat naik.
"Iy-"
"Tidak!" potong seseorang di seberang pintu. Tubuh Kakek berdiri kaku di ambang pintu. Gerakan senyap Nenek berhasil membawa Nenek kembali ke kamar Sivan. Tetapi, napas berat Nenek ketika meraih kunci di atas nakas, membuat kesadaran Kakek ikut terbangun. Ia lantas mengikuti Nenek berjalan ke kamar Sivan dan mendengar semua percakapan mereka. Sambil bersedekap, Kakek berjalan mendekati Nenek dan Sivan.
"Sampai kapanpun, kakek tidak akan pernah mengizinkan kamu menjadi dokter." Nenek mencoba berdiri untuk membela Sivan. Namun, Sivan lebih dahulu menjawab ucapan Kakek.
"Kenapa, Kek? Kenapa Kakek nggak mau mengizinkan Sivan menjadi dokter?" Sivan memberanikan diri bertanya. Pemompa darah di dalam tubuhnya mulai bereaksi atas keberaniannya. Selama ini, Sivan tidak pernah berani bertanya apa pun kepada Kakek tentang cita-citanya.
"Kamu selalu pingsan setiap melihat darah dan sejak kecil kamu tidak pernah betah berada di rumah sakit. Itu semua sudah cukup menjelaskan jika kamu tidak cocok menjadi dokter, Sivan!"
"Tapi, Kek, Sivan bisa mengikuti terapi untuk menghilangkan trauma. Sivan akan mengikuti terapinya lagi sama Dokter Retnosari secara rutin agar cepat sembuh."
"Sivan! Sejak kapan kamu mulai berani membantah ucapan kakek! Semua yang kakek katakan selalu kakek pikirkan secara matang! Menjadi prajurit negara adalah satu-satunya jalan terbaik untuk masa depan kamu! Kamu bisa menjadi kuat dan melawan semua orang jahat yang sewaktu-waktu bisa mencelakai kamu!"
"Dari dulu Sivan ingin menjadi dokter, Kek! Sivan nggak pernah ingin menjadi tentara! Pelatihan tentara itu sangat berat! Sivan sadar diri, fisik Sivan nggak akan pernah kuat!" Sivan menarik lengan baju panjangnya hingga sampai ke lengan atas.
"Kakek bisa lihat. Lihat, Kek! Lengan Sivan masih kurus-kurus saja. Tidak bertambah besar dan sama sekali tidak berotot. Latihan Kakek selama ini tidak pernah berhasil di tubuh Sivan!" Entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Sivan. Sivan benar-benar sudah lelah. Ia ingin sekali-kali memanfaatkan keegoisannya. Hanya itu senjata satu-satunya senjata yang bisa mempertahankan impiannya.
"Pak!!!" Nenek memekik keras, melihat Kakek melayangkan tangan menuju pipi Sivan. Bak adegan di dalam film. Sivan menutup mata. Berharap Kakek menghentikan perjalanan telapak tangannya menuju wajah pucatnya. Namun, ini dunia nyata. Bukan dunia sinetron televisi penuh drama yang alurnya bisa berubah begitu saja. Tamparan keras itu berhasil mendarat di pipi kanan Sivan. Tubuh Sivan terhempas ke belakang. Mendarat dengan tragis di atas ranjang.
"Pasti gara-gara kamu mengikuti kegiatan relawan PMR itu! Kamu mulai berani melawan Kakek! Mau jadi apa kamu dengan egois seperti itu! Dasar anak tidak tahu diri kamu!" Sivan tergugu di atas tempat tidur. Syok mendengar kelimat terakhir Kakek. Nenek ingin merengkuh tubuh Sivan, namun sesuatu tekanan di dalam jantung lemahnya membuatnya tidak bisa bernapas dan kesulitan bergerak. Sivan menyambar gawai yang sempat Kakek taruh di atas meja belajar. Berlari cepat meninggalkan kamar.
"Pak, kejar! Kejar Sivan, Pak! Pak ...." Nenek semakin meremas dada kirinya. Kakek menopang punggung Nenek untuk memberikan pertolongan.
Evan berulang kali mengelap pipi kanannya. Perasaannya tiba-tiba tidak tenang. Cahaya matahari hampir habis di sudut langit. Seharian putranya tidak kelihatan di barak pengungsian. Terhitung sudah lima puluh panggilan, ditambah tiga puluh pesan dari Janu dan Juno. Semuanya tidak pernah dijawab Sivan. Evan membuka masker hitam andalannya. Ia mengambil napas sejenak. Meskipun bau belerang menguasi udara, Evan sama sekali tidak keberatan. Kedua matanya terpejam membayangkan wajah Sivan.
"Om Evan! Om Evan! Om Evan!" Juno berteriak-teriak lima meter di depan Evan. Tangan kirinya melambai-lambai, sementara tangan kanannya melambai juga sembari menggengam gawai.
"Sivan telepon! Sivan meneleponku, Om!" Juno menunjukkan panggilan Sivan di layar gawainya. Evan merampas gawai Juno berniat ingin menjawab panggilan. Janu segera merampas kembali dan menaruhnya di telapak tangan Juno.
"Jawab sekarang, No!" perintah Janu. Juno mengangguk kilat.
"Hidupkan speaker-nya!" seru Evan. Juno mengangguk cepat tiga kali. Speaker berhasil dihidupkan dan terdengar suara isakan tangis di sambungan telepon. Evan meremas jari-jarinya. Suara tangisan Sivan membuatnya menahan napas. Putranya sedang tidak baik-baik saja. Dan, dia tidak ada di sana untuk melindunginya.
"Sivan! Halo, Siv? Kamu di mana? Kenapa kamu nggak berangkat ke pengungsian?"
"Kak Juno ...." rintih Sivan.
"Iya, ini aku. Kamu nggak apa-apa, kan, Siv?"
"Nggak apa-apa ...."
"Nggak apa-apa, kok, nangis?" Terdengar satu tarikan napas berat dari sambungan telepon. Sivan mencoba merendahkan suara tangisannya.
"Kak Juno ... maaf ... aku nggak bisa jadi dokter ...."
"Maksud kamu apa, Siv? Kamu ada di mana? Share lokasi kamu sekarang!"
"Aku bingung, No. Aku capek ...."
"Sivan! Jangan diputus sambungannya! Aku jemput kamu sekarang, ya. Coba kamu kasih petunjuk jalan atau toko atau rumah atau apapun di sekitar kamu!" Panik Juno.
"Boba ... Aku udah lanjut jalan, mau sampai di kedai boba favorit kita ...." Janu berlari lebih dulu menuju parkiran mobil khusus relawan untuk mengeluarkan mobil jeep dari sana. Walau napasnya mulai memburu, Evan bertahan mendengarkan suara pilu bercampur tangis Sivan di melalui gawai Juno.
"Oke! Tunggu aku di sana! Jangan ke mana-mana!" Juno mulai berjalan mengikuti instruksi Evan.
"Kamu masih di pengungsian, No ...."
"Ya!" Juno masuk ke dalam mobil jeep bersama Evan. Janu tidak bisa ikut, karena masih harus mengurus laporan penutupan para relawan PMR dari sekolah Sivan.
"Tolong sampaikan maaf ke teman-teman PMR, Om Joe, Om Beton, Om Janu, dan ..."
Evan menahan diri tidak memutar kunci mobil jeep, menunggu nama palsunya disebut.
"Om Ivan ...." Tut. Tut. Tut. Sambungan telepon terputus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...