Siang itu halaman belakang rumah Hendra dipenuhi oleh berbagai macam irama tawa. Janu penyumbang tawa paling keras. Intonasi tertawanya khas bapak-bapak yang mudah dikenali. Tawa Juno menjadi yang paling melengking di antara yang lainnya. Baru satu hari menjadi penghuni baru, bocah itu mudah sekali menyesuaikan diri. Tiga ART Hendra pun telah diajaknya mengobrol kemarin malam.
Berbeda dengan Haris yang selalu menatap sekeliling was-was, Hendra adalah tipe kakek yang akan berekspresi sesuai dengan keadaan sekitar. Ia mencoba ikut tertawa, walau kekakuan di wajahnya tak pernah dilepaskan. Dua manusia tersisa yang belum tertawa di rerumputan taman itu hanya tinggal Sivan dan Evan. Selama beberapa detik Sivan bertepuk tangan. Selama bermenit-menit Evan menahan malu. Ia berdiri di tengah-tengah pinggir kolam renang memakai kostum Gunung Merapi.
"Tertawa terus. Tidak bisa berhenti tidak akan aku panggilkan dokter!" ketus Evan mengancam Janu. Kostum lucu yang sengaja dipesan Evan secara khusus menutupi aura sangarnya. Mumpung Evan masih terkurung di dalam kostum, Janu justru meluncurkan kalimat pemancing keributan.
"Sori, Van. Sori banget. Muka kamu, kok, jadi kelihatan bulet begitu," balas Janu kemudian menjatuhkan diri dramatis dan memukul-mukul lantai. Evan ingin menendang pantat sahabatnya yang sedang terangkat saat ini juga. Namun, kostum besar yang sedang dipakainya mempersulit pergerakannya dari dalam.
"Om Evan kelihatan kaya pizza berjalan." Juno ikut memanas-manasi. Wajah tengilnya memang cocok digunakan untuk melakukan tindakan penindasan. Kurang ajar juga bocah satu ini, batin Evan. Kalau bukan karena ia sahabat baik Sivan dari kecil Evan ingin menempeleng kepalanya. Di belakang Juno, Beton batuk-batuk karena tak sengaja menelan asap rokok. Tetapi hal itu justru membangkitkan kekuatan Beton ikut mengatai Evan.
"Bos cocok jadi maskot restoran Pizza Hits! Hahaha."
"Cerewet!" umpat Evan. Sial Sivan harus mendengar jelas mulut kasarnya bekerja. Putranya membalik badan menghadap kepadanya. Berjalan tiga langkah dan berhenti tepat di depan wajah bulatnya. Dari awal Sivan tidak menertawainya. Tidak pula wajah manisnya terlihat menahan tawa. Itulah yang membuat Evan emosi sampai memendam tanya. Seharusnya yang boleh menertawainya hanyalah Sivan. Hari ini, ia menepati lagi salah satu keinginan Sivan sepuluh tahun lalu. Tapi, wajah putranya malah kelihatan murung.
"Makasih, Yah." Sivan merentangkan kedua lengan berusaha memeluk seluruh tubuh Evan di dalam kostum Gunung Merapi. Walau kedua tangan Evan tak bisa membalas, ia bisa merasakan pelukan Sivan mengandung ketulusan dan kerinduaan.
"Sivan senang, kan, sekarang?" tanya Evan.
"Seneng banget, Yah," bisik Sivan sembari mengelap kedua pipi. Semua orang berhenti tertawa. Semua mata menatap iba Sivan yang kembali memeluk pria berkostum di pinggir kolam renang. Tiba-tiba Mas Joe memecah keheningan. Ia duduk memangku gitar yang dibawanya dari pengungsian di salah satu kursi yang telah disediakan para ART. Lagu Janji Setia Tiara Andini dinyanyikannya dengan suara yang sangat menyentuh hati.
Percayalah, Kasih
Jarak dan waktu tak mampu menghapus
Janji setia menjaga hati
Hujan tutun mewakili hati
Terpa angin gambarkan resahku
Namun, kini ada pelangi
Datang menyinari kita
Evan baru saja selesai membahas sekolah SMA yang direkomendasikan Janu untuk Sivan dan Juno melanjutkan pendidikan kelas dua belas. Kaki terbungkus sandal khusus ruangannya mengerem di depan pintu kamar Sivan yang sedikit terbuka. Semenjak kepergian Sinta, Sivan memang mempunyai kebiasaan tidur tanpa menutup pintu kamar. Evan masuk saja tanpa permisi. Mendapati Sivan duduk tenang di atas tempat tidur yang sunyi. Beberapa barang yang dibawa dari Yogya belum tertata rapi. Masih tersimpan di tempatnya sendiri.
"Kenapa belum tidur?" Suara Evan hadir mengusir sunyi.
"Ayah nggak perlu ngabulin soal kostum Gunung Merapi juga." Sivan membahas pertunjukan Evan tadi siang. Rasa malu Evan datang lagi.
"Sebenarnya, Ayah sudah memesan kostum itu satu tahun sebelum menyusul kamu ke Yogya. Kemarin, sempat ingin ayah bawa ke Yogya, tapi Janu melarangnya. Kostum itu ayah simpan di lemari dan baru hari ini ayah memakainya," cerita Evan.
"Tapi, kan, itu cuma salah satu janji anehku waktu kecil."
"Yang penting kamu senang ayah memakai kostum itu. Kalau kamu senang, ayah jauh lebih senang. Dulu waktu ayah belum menikah sama Mama, ayah pernah berjanji. Ayah akan memberikan semua hal yang bikin anak ayah bahagia."
Sivan mulai menunduk. Membayangkan Mama Sinta ikut dalam perbincangan ini. Andai Sinta benar-benar ada, amanya pasti akan salting mendengar Evan mengatakan itu semua. Punggung Sivan naik turun seperti kewalahan memikul sesuatu yang tidak terlihat.
"Kamu mau lanjut sekolah di mana? Homeschooling di rumah saja bagaimana?" Kedua mata Evan berbinar mengatakan itu. Bila Sivan bersedia melanjutkan sekolah di rumah, ia bisa lebih sering menghabiskan waktu bersama putranya. Evan ingin memulai semuanya dari awal. Ia ingin membalas dendam masa-masa sulit di mana Sivan terpisah darinya.
"Kasihan Juno sendirian di sekolah kalau aku homeschooling di rumah."
"Kalau begitu, Ayah carikan SMA swasta di sekitar sini saja."
"Baik, Ayah."
"Kamu masih mau kuliah ambil fakultas kedokteran?"
"Iya. Ayah nggak keberatan, kan?"
"Ayah dukung apa pun keputusan kamu. Ayah akan mulai carikan kampus terbaik buat kamu. Nggak usah terlalu memikirkan soal lanjutan hipnoterapi. Ayah dan Om Janu yang akan mengurus semuanya."
"Tapi, Yah, sebelum sekolah lagi di tempat baru. Aku ingin mengunjungi makam Mama dulu."
Jutaan butiran pasir masuk dan mengotori celana Evan. Ditemani kecepatan angin yang sama, air laut jernih yang indah dan langit biru lebih cerah, ia membangunkan mata yang semula memejam.
Kedua kalinya Evan terdampar di mimpi ini. Tak ada siapa-siapa di sekitar sini. Hanya ada dirinya dan bayangan wanita bergaun kuning berenda yang mengabur. Sama-samar ia bisa mendengar wanita itu melirihkan ucapan terima kasih. Lantas sebuah cahaya putih dari langit jatuh menghantam tubuh transparannya. Bayangan wanita itu seketika lenyap. Sebuah buku bersampul cokelat tidak terlalu besar muncul di tempat ia menghilang.
Evan mengambil buku itu. Membuka halaman demi halaman satu per satu. Buku itu merupakan buku jurnal Sinta yang tertinggal di rumah tragedi perampokan. Entah benar-benar masih ada di sana atau ikut terbuang bersama barang-barang Sinta. Evan sengaja membersihkan isi rumah dari semua hal tentang Sinta. Bukan bermaksud melupakan. Semua benda peninggalan sang istri justru membuatnya kesakitan. Terjerat tragedi menyakitkan yang memisahkannya dengan Sivan.
Sampai di halaman ketiga, mata Evan mendadak terpejam. Sesuatu menariknya kencang. Evan kembali merasakan kenyamanan tempat tidur. Sebelum punggungnya bersandar beberapa bantal yang menumpuk, Evan menyambar gawai di nakas. Mencari dua nomor pegawai setia yang saat ini mungkin sedang melaksanakan ronda di rumahnya bersama Sinta.
Evan mengetik cepat dua kalimat, "Tolong carikan buku bersampul cokelat di gudang. Buku apa saja yang berwarna cokelat keluarkan saja semuanya dari sana." Satu detik centang dua kelabu berubah warna menjadi biru. Joe dan Beton sama-sama menjawab iya. Mereka mungkin akan melaksanakan perintah Evan malam ini juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Tanpa Akhir
General Fiction"Ayah seperti Merapi. Tak pernah ingkar janji." Tidak seperti biasanya, malam itu, Sivan merengek kepada Evan ingin ikut pergi ke Singapura. Beberapa hari Sivan ketakutan melihat bayangan hitam dan mendengar suara aneh bersama Sinta. Malam itu, Eva...